Pendahuluan
Sejak bergulirnya reformasi di Indonesia, masalah penataan kelembagaan menjadi salah satu prioritas bagi transisi demokrasi yang tengah berjalan. Kelembagaan politik yang menjadi satu dari pilar bagi liberalisasi politik pasca kejatuhan Orde Baru membuktikan bahwa hal tersebut tidak mudah. Penataan kelembagaan politik memberikan satu garansi bagi mulusnya proses demokrasi transisional dan reformasi yang diharapkan. Permasalahan yang muncul kemudian adalah setelah delapan tahun reformasi berjalan, belum semua kelembagaan politik dan Negara tertata dan sesuai dengan nilai dan prinsip demokrasi. Salah satunya adalah komunitas intelijen, khususnya lembaga intelijen Negara dan intelijen Polri. Sampai saat ini, ruang lingkup dan batasan-batasan mengenai wilayah kerja dari masing-masing intelejen tersebut belum secara jelas diatur. Bahkan berulang kali, baik lembaga intelijen negara, dalam hal ini Badan Intilejen Negara (BIN), dan intelijen keamanan, yakni Intelkam Polri masih saling tumpang tindih, serta minim koordinasi. Salah satu permasalahan yang kemudian mengemuka adalah langkah menginteli sejumlah aggota parlemen terkait dengan impor beras dari Vietnam. Anggota Intelkam Polda Metro Jaya tersebut ditugaskan mengawasi gerak-gerik dan langkah politik terkait aktifitas para anggota DPR dari F-PDI Perjuangan dan F-PKS dalam mengusut adanya kejanggalan impor beras dari Vietnam. Tentu saja banyak persoalan lain yang kemudian menjadi landasan bagi kita untuk juga menata lembaga intelijen dan komunitas intelijen lainnya agar satu dengan yang lainnya bisa sinergis dan tidak berlawanan dengan nilai dan prinsip demokrasi.

Di samping itu, yang tidak kalah menariknya adalah carut-marutnya koordinasi antar lembaga intelijen, yang berimplikasi pada kinerja masing-masing lembaga. BIN, yang ditunjuk pemerintah sebagai lembaga intelijen yang mengkoordinatori semua lembaga dan komunitas intelijen yang ada juga tidak maksimal dalam memposisikan perannya. Bahkan terkadang karena merasa menjadi koordinator dari komunitas intelijen tersebut, kerap kali BIN bertindak superior dan mem-by pass banyak pekerjaan yang menjadi lahan bagi komunitas intelijen lainnya.

Ketidakadaan legalitas perundang-undangan menjadi penegas dari problematika yang dikemukakan di atas. Masing-masing memang mengantungi legalitas, baik berupa surat keputusan, surat penugasan, maupun yang setingkat dengan peraturan presiden, namun tidak ada legalitas yang mengikat satu dengan yang lainnya. Masalah yang muncul kemudian keberadaan legalitas dari masing-masing komunitas intelejen tersebut belum sepenuhnya memenuhi asas profesionalisme dan pengorganisassian lembaga demokratik lainnya. Yang muncul justru terjadi banyak silang cemarut pekerjaan intelijen yang menjadi kontra produktif bagi penataan kelembagaan demokratik.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka tulisan ini akan membahas mengenai BIN dan Intelkam Polri, dilihat dari sejarah pembentukannya kedua organisasi tersebut. Di samping itu, akan juga dibahas lintasan intelijen negara dan Polri dari persfektif kepemimpinan politik di Indonesia, serta bagaimana langkah-langkah yang harus dilakukan agar efektifitas lembaga intelijen dan komunitasnya tersebut dapat terkoordinasi dengan baik.

Intelijen Dalam Kilasan Sejarah
”Intelejen ada seumur dengan keberadaan manusia”. Idiom ini menjadi satu pembenaran bagi banyak lembaga intelijen untuk menegaskan keberadaannya. Intelijen tidak hanya dibutuhkan oleh negara-negara yang secara definitif sudah merdeka, tapi juga badan-badan perjuangan kemerdekaan seperti Ireland Republic Army (IRA) di Irlandia Utara, Pathani Union Liberation Organisastion (PULO) di Thailand Selatan, Macan Tamil di Srilangka, lain sebagainya. Badan-badan perjuangan kemerdekaan tersebut memiliki juga fungsi-fungsi keintelijenan untuk menopang keberhasilan perjuangannya.

Dalam konteks Indonesia, misalnya masa kerajaan nusantara ada dikenal dengan Telik Sandi, yang menjadi mata-mata kerajaan untuk mengawasi kerajaan lainnya. Pada masa penjajahan Belanda, Pemerintah Kolonial melihat bahwa potensi ancaman dari gerakan politik makin besar pasca pendirian Budi Utomo, maka fungsi intelijen masuk ke dalam Dinas Reserse Umum, yang juga baru dibentuk tahun 1920-an, terpisah dari Dinas Polisi Umum sebagai induknya. Menariknya, pembentukan Dinas Reserse Umum tersebut sangat sarat dengan kegiatan memata-matai kegiatan politik, dari pada kegiatan kriminal lainnya. Tak heran, karena pasca pembentukan Budi Utomo, lahir kemudian organisasi pergerakan bumi putera yang lebih terorganisir dan modern, serta lebih radikal. Tercatat beberapa organisasi yang lebih terorganisir dan radikal Sarekat Islam (SI), PKI, PNI, PNI Pendidikan, dan lain-lain. Bahkan proses penangannya langsung dipegang oleh para pejabat dan pelaksana di dinas tersebut, hal ini menandakan bahwa pergerakan nasional anak negeri menjadi satu target dari kerja dan fungsi intelijen ketika itu.

Ketika Jepang berkuasa di Indonesia, peran dan fungsi keintelijenan berubah. Menariknya, Pemerintah Pendudukan Jepang di Indonesia membangun fungsi keintelijenan tidak menyatu dengan Pemerintahan Militer. Pemerintahan Penjajahan Jepang mengembangkan fungsi kepolisian, yang berorientasi pada pembangunan keamanan dalam negeri (Kamdagri) yang lebih menitikberatkan pada kegiatan preventif. Hanya saja dalam pelaksanaannya pendekatan militeristik justru lebih mengemuka dari pada pendekatan khas kepolisian. Hal ini terlihat dari upaya yang sangat keras dalam pemberantasan kegiatan politik, serta anasir-anasir lainnya yang menentang pemerintahan dan kebijakannya. Pendekatan kekerasan menjadi citra Kempetai dan Tokko-koto (Bagian Spesial) , yang mengemban fungsi keintelijenan dalam struktur Pemerintahan Pendudukan Jepang. Upaya pengungkapan dan pemeriksaan di arahkan selalu pada pertanyaan upaya pergerakan politik melawan Jepang. Salah satu tokoh pergerakan nasional yang ditahan Kempetai dan Tokko-koto adalah Amir Sjarifuddin, mantan perdana menteri kedua setelah Sjahrir, dan tokoh dibalik pemberontakan PKI Madiun 1948 bersama Muso.

Satu hal yang menarik dari Kempetai dan Tokko-koto ini adalah pengembangan manajemen krisis dan perencanaan darurat (contengency plan) bagi internal kedua lembaga tersebut. Bentuk manajemen krisis dan perencanaan darurat dalam bentuk pembelajaran tekhnik keintelijenan juga menjadi satu bagian yang wajib diikuti oleh semua pegawai dan anggotanya. Pegawai dan perwira diberikan pelatihan khusus tentang taktik dan strategi provokasi, infiltrasi, sabotase, dan taktik perang bawah tanah. Karena turunan dari pelatihan tersebut, adalah semua pegawai di dua lembaga tersebut wajib menyebarkan propaganda dan mendorong agar penduduk pada masa penjahan Jepang harus ikut memberantas semua aktivitas yang merugikan Pemerintahan Pendudukan Jepang. Salah satu yang mendapatkan pelatihan tersebut adalah Zulkifli Lubis, dan R. Moch. Oemargatab, keduanya merupakan pencetus dan pemimpin pertama lembaga intelejen negara, yang ketika itu bernama Badan Istimewa, sebagai cikal bakal Badan Intelejen Negara (BIN) dan Pengawasan Aliran Masyarakat (PAM), sebagai organisasi keintelijenan polisi pertama, yang sekarang dikenal dengan Intelpam Polri.

Pada masa perjuangan kemerdekaan aktivitas keintelijenan di badan-badan perjuangan juga marak dan aktif , metode telik sandi, yang digunakan dalam proses pengintaian juga digunakan untuk mengawasi dan memata-matai aktivitas Belanda dan Jepang ketika itu. Hanya saja polanya lebih sederhana, dengan memanfaatkan masyarakat umum yang bersimpati bagi perjuangan kemerdekaan. Meski juga tak menutup kemungkinan fungsi keinteliejenan diemban oleh anggota laskar perjuangan dan tentara nasional, tapi bila ditelusuri lebih mendalam, penggunaan masyarakat umum sebagai mata dan telinga laskar perjuangan dan tentara nasional lebih efektif ketimbang dari anggota laskar atau tentara nasional itu sendiri. Hal ini terkait dengan kebutuhan informasi bagi perjuangan kemerdekaan yang masih terbatas pada numerik dan informasi ringan. Sehingga fungsi tersebut tidak sulit dilakukan oleh masyarakat umum sekalipun.

Akan tetapi kebutuhan informasi yang makin kompleks, membuat tugas-tugas keintelijenan harus pula terstruktur dan mengedepankan pola-pola kontra intelejen lainnya. Dengan memanfaatkan pendidikan dan latihan yang diberikan oleh Jepang pada organisasi Pembela Tanah Air (PETA). Apalagi pasca Jepang kalah dalam Perang Pasifik, Belanda dan tentara Sekutu berusaha kembali masuk ke Indonesia dan menguasai. Dalam situasi tersebut sebenarnya peran dari intelijen terstruktur dan modern menjadi penting. Berbekal pelatihan dan keterampilan yang didapat sewaktu di PETA dan Kempetai, Zulkifli Lubis kemudian berinisiatif membentuk Badan Istimewa (BI), pada September 1945. dengan organisasi yang sederhana, dan bekal keterampilan intelijen yang minim, BI harus memposisikan diri sebagai badan intelijen yang menopang keajegan republik, yang baru merdeka. Keterbatasan ini makin kentara ketika cakupan wilayah operasi BI hanya terbatas pada Pulau Jawa saja. Kecenderungan dan melekatnya BI sebagai intelijen tempur makin kentara ketika banyak dari jaringan intelejen yang dimiliki masih memanfaatkan jaringan tentara yang tersebar di banyak wilayah. Meski harus diakui bahwa produk intelijen yang dihasilkan terbatas pada deteksi dini dan kontra intelijen, namun telah dimanfaatkan benar oleh Perdana Menteri Sjahrir melalui Menteri Pertahanan. Artinya secara prinsip, produk yang dihasilkan relatif digunakan untuk penegas kebijakan yang akan dan telah dibuat. Meski kurang optimal, BI relatif mampu menjalankan fungsi intelejen modern. tumpang-tindih antara BI dengan kepentingan tentara pada saat itu lebih disebabkan oleh ancaman yang dihadapi oleh republik ini.

Sehingga sangat sulit membedakan mana intelijen nasional, mana intelijen tempur, karena sama-sama berasal dari unsur TNI juga. Masalah yang kemudian mengekor adalah lemahnya efektifitas kontrol dan kendali BI oleh pemerintah. Menariknya, pemberian otoritas dan semua surat-surat tugas bagi kelancaran tugas-tugas keintelijenan, Soekarno tidak memiliki kendali atas BI. Bahkan secara prinsip, keberadaan BI justru makin memperkeruh hubungan yang kurang harmonis antara Soekarno dengan Sjahrir, yang mengemuka karena alasan-alasan personal yang tidak substansi. Alhasil efektifitas kerja, dan koordinasi menjadi permasalahan bagi BI untuk dapat memposisikan diri sebagai organisasi intelijen.

BI dianggap sebagai lembaga intelijen yang kurang layak, selain masalah kinerja dan koordinasi yang buruk. BI menjadi bagian dari konflik yang membesar antara Soekarno dan Sjahrir. Sehingga perlu dilakukan perubahan bentuk, agar mampu memenuhi kebutuhan pemerintahan Perdana Menteri Sjahrir dan Presiden Soekarno-Hatta terhadap perumusan kebijakan politik yang jitu. Konflik antara Soekarno dan Sjahrir, serta ketidaksukaan tentara terhadap performa Kabinet Sjahrir, yang cenderung anti militer menjadi landasan perubahan BI menjadi Badan Rahasia Negara Indonesia (BRANI). BRANI dibentuk pada 7 Mei 1946, dan diharapkan menjadi lembaga intelijen payung yang membawahi berbagai organisasi intelijen di tingkat satuan militer. Langkah tersebut guna mengantisipasi kemungkinan Aksi Polisionil Belanda yang menguat pasca kekalahan Jepang. BRANI ini masih di bawah kendali Zulkifli Lubis, perwira didikan PETA Jepang ini masih berharap agar BRANI menjadi organisasi yang kuat, dan di bawah kontrol militer. Akan tetapi, seperti diulas di atas, keberadaan BRANI justru makin memperbesar konflik, yang bermuara pada strategi pergerakan militer, apakah memilih melawan setiap upaya Belanda dan Sekutunya yang ingin masuk ke Indonesia, atau mengupayakan diplomasi gaya Sjahrir, yang dianggap mampu meredam upaya Belanda menduduki lagi Indonesia. Besaran konflik ini juga melibatkan permasalahan pribadi antara Soekarno dan Sjahrir.

Ketidaksukaan Kabinet Sjahrir atas dominasi tentara di struktur BRANI, kemudian melahirkan dualisme lembaga intelijen. Amir Sjarifuddin, yang menjadi Menteri Pertahanan kemudian mengambil inisiatif membentuk lembaga baru yang murni sipil, guna menandingi keberadaan BRANI. Lembaga intelejen baru tersebut bernama Lembaga Pertahanan B. Menariknya, upaya memposisikan BRANI sebagai lembaga intelejen yang terbebas dari dominasi militer, adalah dengan merekrut banyak mantan laskar, serta kalangan sipil yang cakap untuk duduk di dalam lembaga intelijen tersebut. Langkah ini didukung oleh Soekarno, meski keberadaan Lembaga Pertahanan B juga merupakan antitesis dari dominasi militer di BRANI, namun bisa dikatakan terlambat. Sebab kalangan militer sudah mencium gelagat tersebut, kalangan militer masih menginginkan dominasinya pada lembaga intelijen nasional tersebut. Upaya pendekatan dan lobi yang kuat militer ke Soekarno membuahkan hasil, dengan restu politik dari Soekarno, pada akhirnya BRANI dibubarkan dan diganti dengan Bagian V, di bawah Departemen Pertahanan yang menjadi koordinator dari operasi intelijen nasional. Pendirian Bagian V ini masih belum memuaskan kalangan militer, karena masih didominasi kalangan sipil, yang mengontrol lembaga tersebut di bawah Departemen Pertahanan, yang dipimpin oleh Amir Sjarifuddin, yang merupakan salah satu elit politik dari Sayap Kiri, sebuah koalisi organisasi dan partai politik kiri, di antaranya Partai Rakyat Sosialis (Paras), Partai Sosialis Indonesia (Parsi), dan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Hal yang perlu dicatat di sini adalah sejak awal pemerintahan Perdana Menteri Sjahrir berkuasa, kalangan militer tidak menyukai gaya kepemimpinan Sjahrir yang kebarat-baratan, serta inskonstitusional, karena sistem parlementer yang dijalankan oleh Sjahrir tidak sesuai dengan UUD 1945, yang mengamanatkan sistem presidensial. Sementara kelompok Kiri, yang sejak proklamasi sudah menolak dominasi tentara, yang sebagian besar didikan Jepang, hanya sedikit perwira yang didikan Belanda, antara lain Nasution, T.B. Simatupang, dan Urip Sumohardjo. Sjahrir beranggapan bahwa para perwira didikan Jepang tersebut tidak cukup memiliki keterampilan tempur, dan cenderung fasis.

Satu dari sekian peristiwa politik yang juga menjadi batu sandungan bagi eksistensi lembaga intelijen adalah adanya konspirasi kalangan militer dan oposisi sipil yang menculik Perdana Menteri Sjahrir, yang kemudian dikenal dengan Peristiwa 3 Juli 1946. Dalam pandangan Anderson, penculikan tersebut merupakan kegagalan kabinet Sjahrir untuk mengontrol tentara di bawah kendalinya. Proses penculikan tersebut disinyalir melibatkan intelijen Bagian V, yang mengambil inisiatif dalam kebuntuan politik atas permasalahan kebangsaan ketika itu.
Konflik politik maupun proses perundingan dan pertempuran dengan Belanda menjadi sebab lembaga intelijen nasional yang ada tidak mampu mewujudkan organisasi yang efektif. Perubahan dari BI kemudian BRANI, hingga Bagian V hanya merupakan pemanis bagi perubahan struktur politik dan konflik yang mengemuka. Alhasil, keberadaan lembaga intelijen nasional ketika itu lebih banyak menjadi kepanjangan tangan dari elit politik.

Sementara lembaga intelijen di Kepolisian juga didirikan, pasca terbentuknya Djawatan Kepolisian Negara (DKN) pada 19 Agustus 1945, yang ditetapkan oleh Panitian Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Penetapan RS. Soekanto Tjokrodiatmodjo sebagai Kepala Kepolisian Nasional (KKN), yang berada di bawah kendali Departemen Dalam Negeri. Lahirnya Maklumat X tanggal 3 November 1945 yang membebaskan masyarakat untuk membentuk organisasi dan partai politik, menjadi titik awal intelejen Kepolisian berdiri. Lonjakan aspirasi dan kepentingan masyarakat diasumsikan akan membangun situasi yang tidak kondusif bagi penegakan keamanan dalam negeri, yang menjadi tugas dari DKN. Apalagi di saat yang sama lembaga dan departemen, serta kantor kementerian juga membentuk berbagai pasukan perjuangan yang melakukan penyelidikan, dan melakukan fungsi intelijen.

Hal ini sangat mengganggu pola pengamanan dan menjalankan fungsi intelijen yabg lebih sistematis dan terukur. Sehingga pada awal tahun 1946, dibentuklah kekuatan intelijen yang mampu mengatasi gangguan keamanan yang disebabkan oleh aktivitas masyarakat. Fungsi intelejen Kepolisian ini diberi nama Pengawasan Aliran Masyarakat (PAM), pimpinan R. Moch. Oemargatab. Tugas pokok dari PAM ini memang lebih spesifik pada pengawasan aktivitas masyarakat dibandingkan Badan Istimewa (BI) pimpinan Zulkifli Lubis yang lebih mengarah kepada dinamika politik dan pengembangan kontra intelijen terhadap Belanda dan Sekutunya.

Seiring dengan perjalanan waktu, DKN kemudian dikeluarkan dari lingkungan Departemen Dalam Negeri, dengan diterbitkannya Penetapan Pemerintah No. 11/S.D tahun 1946, 1 Juli 1946 dan langsung di bawah Perdana Menteri. Perubahan ini juga berimplikasi pada keberadaan PAM, sebagai satuan intelijen di Kepolisian, yang mengalami pemekaran tugas pokok dari yang sangat umum menjadi lebih khusus. Pada PAM sebelum terbitnya Penetapan Pemerintah No. 11/S.D tahun 1946, tugas pokoknya sebagai berikut:

”Mengawasi semua aliran dan memusatkan segala minatnya kepada hajat-hajat dan tujuan-tujuan dari seseorang atau golongan penduduk yang ada atau timbul di daerah Republik Indonesia atau yang datang dari luar, yang dianggap dapat membahayakan kesentausaan Negara Indonesia dan sebaliknya membantu hajat dan cita-cita seseorang atau golongan penduduk yang bermaksud menyentausakan negara dan keamanan Republik Indonesia serta tugas riset dan analisis lainnya”

Sedangkan tugas pokok PAM setelah terbitnya penetapan pemerintah, justru makin memperluas cakupan tugas pokok, dengan terbitnya Surat Kepala Kepolisian Negara (KKN) No: Pol. 68/Staf/PAM tanggal 22 September 1949, yang isinya sebagai berikut:

a. Mengawasi aliran-aliran politik, pergerakan-pergerakan buruh, wanita, pemuda, dan lain-lainnya.
b. Mengawasi aliran agama, ketahayulan, kepercayaan-kepercayaan lain dan lain sebagainya.
c. Mengawasi pendapat umum dalam pers, radio dan masyarakat (pergaulan umum dari segala lapisan masyarakat/rakyat).
d. Mengawasi kebudayaan, pertunjukan-pertunjukan bioskop dan kesusasteraan.
e. Mengawasi pergerakan sosial, yakni soal-soal kemasyarakatan yang timbul karenakurang sempurnanya susunan masyarakat, cara mengerjakan anak-anak dan perempuan, perdagangan anak, pelacuran, pemberantasan pemadatan, perdagangan minuman keras, pemilihan orang-orang terlantar lainnya. Semuanya dilihat dari politik polisionil tekhnis.
f. Mengawasi keadaan ekonomi, soal-soal yang timbul karena kurang sempurnanya susunan ekonomi.
g. Mengawasi bangsa asing, terutama yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa politik di luar negeri yang dapat mempengaruhi masyarakat/bangsa asing di Indonesia.
h. Mengawasi gerak gerik mata-mata musuh, dan pergerakan/tindakan ilegal yang menentang/membahayakan pemerintah.

Dan bila disimpulkan dari uraian tersebut, maka tugas bagian PAM adalah: Menjalankan kontra intelijen dan kontra spionase demi keamanan nasional serta melaksanakan riset dan analisis untuk kepentingan pimpinan c.q. Perdana Menteri dalam menentukan kebijakan politik polisional. Dengan gambaran proses kelahiran kedua lembaga intelijen tersebut di atas, maka sejatinya ada benang merah yang sama perihal latar belakang dan situasi serta kondisi yang dihadapi oleh lembaga intelijen negara dan Kepolisian. Adapun persamaannya terletak pada empat hal. Pertama, lembaga intelijen negara dan intelijen Kepolisian memiliki latar belakang pembentukan yang terkondisikan oleh situasi yang kurang kondusif bagi penataan bentuk organisasi intelijen yang ideal. Sehingga tampak sekali kedua lembaga tersebut mengadopsi banyak hal dari prilaku kelembagaan yang ditinggalkan oleh Belanda dan Jepang. Indikatornya adalah melakukan generalisir pada tugas pokok dari masing-masing lembaga, serta menonjolkan metode pendekatan verbal dan kekerasan dalam melakukan penyelidikan dan pengawasan.
Kedua, lembaga-lembaga tersebut merumuskan tugas pokok yang relatif umum dibandingkan dengan yang seharusnya.

Sehingga beberapa kali terjadi kesalahpahaman satu dengan yang lain ketika beroperasi di lapangan, karena ketidakadaan batasan wilayah kerja satu dengan yang lainnya. Salah satu contohnya adalah pada operasi kontra intelijen terhadap propaganda Pemberontakan PKI Madiun, 1948. di mana masing-masing melakukan upaya untuk mengambil hati masyarakat Madiun untuk memilih Soekarno-Hatta dari pada Muso-Amir Sjarifuddin. Ketiga, lembaga-lembaga tersebut dibentuk dari semangat untuk mempertahankan kemerdekaan dan republik. Sehingga ketika didirikan cenderung mengedepankan semangat dari pada keterampilan intelijen. Kondisi tersebut mengarah kepada kekurangmampuan dalam menindaklanjuti setiap permasalahan yang ada. Bahkan semangat itu pula yang menegaskan pentingnya keberadaan intelijen dalam pemerintahan republik. Keempat, karena tidak ada legalitas yang dapat dijadikan acuan perihal keberadaan lembaga intelijen dan koordinasinya, maka gambaran kerja yang dibuat banyak mengadopsi pola dan gaya dari Kempetai dan Tokko-toko, serta polisi rahasia Pemerintahan Kolonial Belanda, yang mencakup seluruh permasalahan yang mengancam eksistensi pemerintahan.

Otoritas Negara
Setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda, dan bubarnya Republik Indonesia Serikat, lembaga intelijen sudah mulai mampu melakukan akselerasi pada tugas pokok yang diembannya. Hal ini terkait dengan berbagai manuver dari elit politik yang memandang lembaga intelijen sebagai lembaga strategis bagi kekuasaan politiknya. Pada lembaga intelijen Kepolisian ada perubahan yang signifikan pada diubahnya nama Bagian PAM menjadi Bagian Dinas Pengawasan Keselamatan Negara (DPKN). Perubahan ini berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah No. Pol: 4/2/28/UM, tertanggal 13 Maret 1951, agar DPKN juga melakukan penjagaan terhadap keselamatan pribadi Presiden dan Wakil Presiden, serta pejabat tinggi negara. Di samping itu juga melakukan penjagaan terhadap tamu negara dan perwakilan asing. Sementara itu di lembaba intelejen negara juga terjadi penegasan adanya intelejen tempur, yakni dengan didirikannya lembaga intelejen dari ketentaraan yang bernama Biro Informasi Staf Angkatan Perang (BISAP), lembaga intelejen ini merupakan bentukan baru atas inisiatif T.B Simatupang yang menganggap perlunya keikutsertaan militer dalam kebijakan politik nasional. Simatupang merupakan perwira yang memimpin Kepala Staf Angkatan Perang dari garis Kadet Belanda yang bersinar bersama Nasution. Langkah ini sebenarnya mengundang permasalahan kala terjadi konflik antara Soekarno dengan militer yang melibatkan juga Zulkifli Lubis, dan sejumlah perwira senior dalam Peristiwa 17 Oktober 1952. keberadaan BISAP memang diasumsikan untuk dapat memberikan satu masukan bagi perwira dan komandan di militer perihal dinamika politik yang terjadi.

Hanya saja, BISAP secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam penggalangan massa untuk demonstrasi menentang campur tangan eksekutif dalam konflik di TNI di depan Istana, serta pengarahan meriam ke Istana. Di sinilah kemudian patut dipertanyakan efektifitas BISAP sebagai intelijen tempur. Hanya saja perdebatan campur tangan Soekarno dan kalangan sipil dalam regenerasi dan penataan kelembagaan militer terasa kental. Sehingga langkah untuk mengarahkan meriam ke Istana Negara, dan unjuk rasa yang digalang militer dan BISAP menjadi satu penegasan bahwa sebagai institusi, TNI ingin menata dirinya sendiri.
Konflik antara Soekarno dan TNI perihal ketidaknetralannya dalam konflik internal TNI menjadi catatan sejarah keberadaan intelejen militer lainnya. Setidaknya hal ini dapat terlihat pada pecahnya konsolidasi internal TNI. Selain masalah eks PETA ataupun Kadet Belanda, yang mengemuka juga adalah sentimen Jawa dan non-Jawa. Berbagai pemberontakan pasca Pemberontakan PKI Madiun 1948 silih berganti menyibukkan TNI dan BISAP untuk melakukan pemadaman, serta langkah-langkah yang strategis lainnya. Bukan hanya itu pasang surut hubungan Soekarno dan TNI juga mempengaruhi akselerasi kinerja Bagian V dan BISAP sendiri. Sebagaimana diketahui posisi Sri Sultan Hamengkubuwono IX, sebagai Menteri Pertahanan juga ikut terlibat dalam konflik tarik menarik kepentingan tersebut.

Di sisi lain, Soekarno membutuhkan lembaga intelijen yang dapat dikontrol dirinya. Selama ini bahkan kontrol atas Bagian V dan BISAP sendiri hanya berhenti di Menteri Pertahanan ataupun Perdana Menteri. Dirinya yang memposisikan Kepala Negara, menjadi sekedar simbol belaka. Sehingga upaya untuk mendorong pembentukan lembaga intelejen baru yang dapat mengkoordinasikan lembaga intelijen lainnya, dan yang benar-benar lepas dari pengaruh militer perlu dilakukan. Awalnya dibentuk Badan Koordinasi Intelijen (BKI) pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959, namun langkah tersebut menemui kegagalan. Hal ini disebabkan karena kesulitan dalam melakukan koordinasi dengan lembaga intelijen militer. Harus diakui sejak Indonesia merdeka, kontrol lembaga intelijen memang di dalam genggaman tentara, baik yang langsung, seperti BISAP, maupun yang berada di bawah Departemen Pertahanan.
Setelah percaya diri semua kekuasaan ada dalam genggamannya, maka dibentuklah Badan Pusat Intelijen (BPI) pada 10 November 1959 yang langsung bertanggung jawab kepada dirinya, dan melakukan pembelahan secara ekstrim terhadap lembaga intelijen yang telah ada, dengan mengangkat Subandrio, Menteri Luar Negeri ketika itu untuk memimpin lembaga baru tersebut. Sebagai lembaga yang mengkoordinasikan lembaga intelijen lainnya, BPI menjadi satu alat yang efektif bagi Soekarno untuk menandingi perwira TNI tersebut. Bahkan langkah yang sangat berani dilakukan Subandrio dan BPI atas restu Soekarno membangun kontak yang serius dengan PKI, yang telah menjadi organisasi besar pasca kegagalannya pada Pemberontakan PKI Madiun. Bak simbiosis mutualisme, kerekatan politik keduanya menjadi makin kuat karena Soekarno mencari lawan sepadan untuk menandingi TNI, terutama Angkatan Darat.

Sejak saat itulah dimulai konsolidasi politik antara Soekarno, Subandrio, dan Aidit untuk bersama-sama melawan hegemoni tentara, khususnya Angkatan Darat. Berbagai aksi kontra intelijen dan kontra teror, tidak hanya dilakukan di luar negeri dan yang mengancam eksistensi bangsa, tapi juga antar lembaga intelijen lainnya. Puncak ’pertempuran’ antar BPI dengan intelijen militer sebenarnya terjadi saat eskalasi konflik antara tentara dengan simpatisan, anggota dan kader PKI yang di back up BPI , baik langsung maupun tidak langsung meninggi antara tahun 1962 hingga kejatuhan Soekarno. Infiltrasi ke tubuh PKI juga dilakukan, baik oleh intelijen militer maupun BPI. Hal ini mengingatkan konflik dan persaingan antara intel berlatar belakang tentara dan intel yang berlatar belakang sipil, yang banyak berasal dari kelompok Kiri pada awal pembentukan lembaga intelijen.

Dalam perjalanan waktu, secara realitas bisa dikatakan bahwa intelijen militer lebih ampuh dibanding dengan BPI yang terkesan elitis dan menciptakan budaya Asal Bung Karno Senang (ABS). Sehingga olahan dan data intelijen yang masuk memiliki tingkat kebenaran yang kurang valid. Sementara intelijen militer memanfaatkan jaringan CIA agar didukung oleh Amerika untuk menjatuhkan Soekarno. Langkah ini digarap secara serius pasca Pemberontakan PKI Madiun, namun kemudian lebih intensif lagi pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959. salah satu indikatornya adalah garapan intelijen militer dengan merekrut mahasiswa menjadi ’dinamisator’ untuk menolak dan menandingi gerakan massa yang dikoordinir oleh Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), organisasi payung PKI, serta Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), organisasi payung PNI ASU. Salah satu mahasiswa binaan dari intelijen militer adalah Suripto, dan Nugroho Notosusanto.

Sementara itu, seiring dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden, DPKN sebagai intelijen Kepolisian juga melakukan metamorfosis dengan nama Korps Polisi Dinas Security (Korpolsec). Pergantian nama ini lebih banyak terkondisikan karena tantangan dan ancaman yang lebih konpleks, disertai ledakan jumlah penduduk yang membuat rasio polisi dan penduduk makin tidak ideal. Korpolsec dilandasi dengan terbitnya Order Menteri/Kepala Kepolisian Negara No: 37/4/1960, tertanggal 24 Juni 1960, dengan rincian pokok kerja sebagai berikut:

a. Mengatur pelaksanaan Security Intelijen.
b. Mengatur pelaksanaan pengumpulan, penyusunan, penilaian dan pengolahan bahan-bahan informasi mengenai persoalan-persoalan dalam masyarakat untuk menentukan kebijaksanaan dalam rangka kepentingan keamanan nasional.
c. Menyelesaikan masalah-masalah tentang persoalan-persoalan dalam masyarakat termasuk dalam point b di atas. Yang tidak dapat diselesaikan oleh pihak Kepolisian Komisariat atau yang meliputi lebih dari satu daerah KepolisianKomisariat.
d. Memberi pimpinan dalam penjagaan keselamatan orang-orang penting dan perwakilan kenegaraan dalam kerja sama dengan instansi-instansi yang bersangkutan, yang tidak dapat diselesaikan oleh Kepolisian Komisariat atau yang meliputi lebih dari satu daerah Kepolisian Komisariat.

Seiring dengan proses perbaikan yang terjadi di internal intelijen Kepolisian, pucuk pimpinan beralih dari R. Oemargatab ke M. Soekardjo. Pergantian ini juga bernuansa sangat politis. Pergantian tersebut sejalan dengan pergantian Kepala Kepolisian Nasional, dari RS. Soekanto Tjokrodiatmodjo ke Soekarno Djojoegoro, yang merupakan pilihan Soekarno. Soekanto diganti karena menolak gagasan Presiden Soekarno untuk mengintegrasikan Kepolisian Nasional dengan Angkatan Perang. Langkah ini juga mengganggu tingkat konsolidasi di lembaga intelijen Kepolisian. Soekarno Djojoegoro cenderung sangat politis dalam melihat hal yang ada di Kepolisian. Tak heran karena sosok Ketua Polisi Nasional kedua tersebut dekat dengan Presiden Soekarno. Langkah yang dilakukannya adalah memasukkan Soetarto menjabat ketua Intelejenan Kepolisian menggantikan M. Soekardjo, yang baru seumur jagung menggantikan Oemargatab.
Namun demikian, permasalahan yang muncul sebagai akibat dari konflik internal terus mengemuka. Pergantian Soekarno Djojoegoro dari Panglima Angkatan Kepolisian (Pangak) dan Soetarto dari jabatan Kepala Intelijen Kepolisian tidak menyelesaikan masalah. Hal ini terkait keputusan kontroversial dari pemerintah yang menunjuk Soetjipto Danukusumo menjadi pengganti Soekarno Djojoegoro. Sebagaimana diketahui bahwa kepangkatan Soetjipto baru AKBP (setingkat Letnan Kolonel), namun kemudian dinaikkan dengan cepat menjadi Inspektur Jenderal. Naiknya Soetjipto menjadi Pangak menambah riak-riak baru bagi konflik di internal Polri. Selain karena alasan kenaikan pangkat kilat, juga disebabkan karena proses naiknya Soetjipto menjadi Pangak sangat sarat bernuansa politik.

Akan tetapi secara kasat mata, proses tersebut juga memiliki implikasi bagi pembenahan internal Kepolisian, meski tidak lama menjabat, Soetjipto telah membersihkan unsur politik dari Korpolsec, dengan memindahkan Soetarto ke BPI, dan menjadi orang kedua setelah Soebandrio. Kepindahan Soetarto ke BPI memberikan angin segar bagi perbaikan kinerja Korpolsec, yang kemudian berganti lagi menjadi Korps Intelejen dan Security, dan kemudian berubah lagi menjadi Direktorat Intelijen dan Security hingga berakhirnya kekuasaan Orde Lama. Pasca Soetarto memimpin lembaga tersebut, sesungguhnya lembaga intelijen Kepolisian mulai dipimpin oleh perwira didikan PAM, sebut saja Soemartono, Poerwata, dan Soetomo. Tiga orang ini berturut-turut saling menggantikan hingga kejatuhan Presiden Soekarno dan Orde Lama-nya dari tapuk pemerintahan. Satu produk perundang-undangan terakhir di masa Presiden Soekarno, untuk menegaskan tugas pokok Direktorat Intelijen dan Security Departemen Angkatan Kepolisian adalah terbitnya Surat Keputusan No. Pol: 11/SK/MK/1964, tanggal 14 Feberuari 1964, yang berisi sebagai berikut:

1. Tugas Umum: Menciptakan ketertiban dan ketentraman lahir dan bathin untuk menuju masyarakat sosialis Indonesia, adil dan makmur, tata tentrem kerta raharja, serta mengamankan/menyelamatkan dan aktif merealisasikan Amanat Penderitaan Rakyat, sesuai dengan kerangka Tujuan Revolusi Nasional.
2. Tugas Khusus: Menjalankan tugas yang bersifat preventif dan represif dengan cara positif dan aktif di bidang intelijen dan security.

Harus diakui bahwa konflik internal di Kepolisian sangat mempengaruhi eksistensi dan kinerja dari lembaga intelijen tersebut. Bahkan dapat dikatakan konflik yang terjadi di internal Kepolisian mampu membangun kesadaran bagi para perwira Kepolisian untuk lebih mengedepankan tugas dan tanggung jawab terhadap negara dari pada perebutan jabatan dan posisi yang memberi cela bagi banyak pihak untuk melakukan penyusupan di tubuh Polri. Di sinilah sesungguhnya peran intelijen harus diperkuat untuk menolak segala bentuk campur tangan dan penyusupan, dengan kontra intelijen. Permasalahannya, dalam kasus ini intelijen Kepolisian menjadi bagian dari konflik, sebab ada satu wacana yang berkembang ketika itu untuk mengendalikan Kepolisian, salah satunya dengan menumpulkan peran intelijennya. Dan langkah tersebut terbilang sukses. Indikator yang paling mudah adalah pasca Dekrit Presiden 1959 hingga pergantian kepemimpinan nasional dari Soekarno ke Soeharto, bisa dikatakan peran intelijen Kepolisian terbilang minim.

Ketika Soekarno dan Orde Lama turun tahta, dan digantikan oleh Soeharto, dan instrumen Orde Baru-nya, maka dimulai satu fase ’Kegelapan’ bagi dunia intelijen di Indonesia, khususnya intelijen Kepolisian. Seperti dapat diduga, Soeharto melakukan konsolidasi politik ke semua lini kekuasaan agar patuh dan loyal kepadanya. Gagasan Soekarno untuk menempatkan Polri agar masuk dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dterapkan Soeharto guna mengikat Polri agar terbebas dari anasir-anasir PKI dan faksi anti pemerintah. Badan Pusat Intelijen (BPI), yang merupakan lembaga koordinasi antar lembaga intelijen buatan Soekarno segera dibubarkan,dan digantikan Komando Intelijen Negara (KIN). Rasa militeristiknya kental sekali, mulai dari penamaan dan dominasi pejabat dan anggota KIN. Hal tersebut dilakukan guna memberikan penegasan bahwa KIN harus patuh dan loyal kepada dirinya, yang selain menjadi Presiden, juga merangkap menjadi Panglima Kopkamtib. Lembaga yang terbentuk sebagai langkah untuk membersihkan negara dari kader-kader PKI dan anasir-anasirnya ini merupakan lembaga darurat, yang dibentuk untuk tugas-tugas khusus.

Harapan Soeharto agar KIN dapat bekerja lebih efektif menopang pemerintahannya makin kentara dan kuat, ketika kerja sama antara CIA dengan KIN makin terbuka. Hal ini didasar oleh upaya pengasahan keterampilan keintelijenan, dan kepentingan Amerika Serikat yang tidak menginginkan Indonesia menjadi negara komunis. KIN dipecayakan kepada orang-orang kepercayan dan terdekatnya, yakni Yoga Soegama, perwira yang sangat loyal dan salah satu pendukung utama kepemimpinan Soeharto bekerja dengan cepat, taktis, dan sesuai dengan harapan. Yoga, yang merupakan satu dari perwira intelijen terbaik yang dimiliki oleh TNI ini membangun KIN menjadi organisasi yang mampu mengefektifkan seluruh lembaga intelijen yang ada di Indonesia. Intelijen Kepolisian yang menjadi bagian dari KIN, serta anggota terbaru dari ABRI, yang meleburkan Kepolisian menjadi satu angkatan bersama tiga matra lainnya, makin sulit memposisikan diri.

Tahun 1967, KIN berubah menjadi Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN). Perubahan nama ini makin menancapkan kuku dan hegemoni BAKIN sebagai lembaga koordinasi intelijen, di samping menjadi ’mata-mata’ dan kepanjangan tangan penguasa. Berbagai lembaga ekstra yudisial, yang tidak ada dalam berbagai peraturan perundang-undangan dibentuk guna memperkuat barisan lembaga intelijen yang menjadi bagian dari kekuasaan Soeharto, seperti Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), Operasi Tertib Pusat (Optibpus), Lembaga Penelitian Khusus (Litsus), Asisten Pribadi (Aspri) Presiden, Operasi Khusus (Opsus), dan lain sebagainya. Dan semua lembaga tersebut memiliki perwakilannya di daerah-daerah, baik inheren dengan komando teritorial (Koter),dari mulai Kodam, Korem, Kodim, hingga Koramil, maupun yang secara mandiri membentuk perwakilannya seperti Laksusda, Sospolda, dan lain sebagainya.

Penegasan dominasi intelijen militer adalah keberadaan intelijen militer, dalam hal ini Pusat Intelijen Strategis (Pusintelstrat), yang kemudian berubah menjadi Badan Intelijen Strategis (BAIS) di bawah Jenderal L.B. Moerdani, salah satu perwira tinggi intelijen TNI yang sangat kampiun dan dihormati oleh komunitas intelijen, baik dalam maupun luar negeri. BAIS bahkan memiliki struktur dan jaringan yang paling lengkap, dari mulai jaringan di daerah-daerah melalui Kodam-kodam, juga perwakilan di luar negeri, termasuk atase pertahanan. Apalagi perubahan dari Kopkamtib menjadi Bakortanas juga tak lain untuk membangun pencitraan yang lebih lunak, perihal represifitas yang dilakukan lembaga tersebut di masa lalu.

Praktis, peran dan fungsi keintelijenan dilakukan oleh lembaga-lembaga yang dibentuk tersebut di atas. Berbagai kegiatan masyarakat yang mengancam eksistensi kekuasaan Soeharto langsung di cap sebagai PKI, kader PKI, disusupi PKI, dan kata-kata yang menyudutkan masyarakat. Intelijen Kepolisian, yang di masa pemerintahan Soekarno memainkan peran yang cukup signifikan, dan diberi berbagai peluang dan mengembangkan diri, pada masa Soeharto justru hanya menjadi sub ordinasi dari pemenuhan informasi dan data dari lembaga-lembaga bentukan Soeharto tersebut. Hampir tidak ada satu agregasi kinerja intelijen Polri yang benar-benar mandiri dan mencitrakan satu profesionalisme sebagaimana yang menjadi tugas dan fungsinya. Hampir semua tugas dan fungsi intelijen Polri diambil alih dan dikerjakan oleh lembaga-lembaga tersebut.

Secara sistematis bahkan marjinalisasi peran dan fungsi Intelejen Polri makin menjadi-jadi. Dan turunan dari berbagai kasus yang melibatkan intelijen Polri pun sangat kentara. Misalnya pada kasus Pembunuhan Marsinah yang melibatkan pejabat setingkat Kodim dan Koramil, yang mencoba menyeret-nyeret intelijen Polri, atau bahkan kasus pembunuhan Wartawan Bernas, Udin yang melibatkan intelijen Polri, bahkan sebagai tersangka. Hal ini menandakan bahwa intelijen Polri dalam berbagai kasus telah dilemahkan. Bahkan untuk hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan Polri dalam penanganan kasus kriminal, seperti pada kasus Penembak Misterius (Petrus). Penegasan yang perlu dikemukakan adalah bahwa selama Soeharto dan Orde Baru berkuasa, peran dan fungsi Polri menjadi sub ordinat dari kerja-kerja keintelijenan secara luas. Bahkan idiom yang mengemuka di internal Polri ketika itu, Polri sebagai ’tukang cuci piring’ dari berbagai kasus dan permasalahan yang melibatkan Polri selama kurun waktu 32 tahun Soeharto berkuasa.

Dukungan pendanaan dan SDM membuat BAIS menjadi satu organisasi yang begitu dominan, bahkan dibandingan dengan BAKIN. Masa Pemerintahan Habibie dan menjelang kejatuhan Soeharto BAIS memainkan peran yang begitu dominan. Unjuk rasa disertai aksi kerusuhan dan penembakan pada Tragedi Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II tidak lepas dari peran intelijen militer tersebut. Bahkan pada Referendum di Timor Timur, BAIS memainkan perannya untuk mempertahankan provinsi termuda tersebut memilih NKRI. Meski kalah telak, namun pemanfaatan dana tak terbatas dari ’uang asli tapi palsu/aspal’ sempat menjadi isu hangat, di luar tindakan kontra intelijen dan aksi bumi hangus di wilayah bekas jajahan Portugis tersebut.

Yang cukup menarik adalah, meski TNI dan Polri disorot banyak pihak seputar kinerja dan perannya di masa lalu, lembaga intelijen hampir luput dari perhatian. BAKIN bahkan baru melakukan perubahan ketika Megawati menjabat sebagai Presiden, dengan nama Badan Intelijen Negara (BIN), dengan landasan legalitas Instruksi Presiden No. 5 tahun 2002, dan diperkuat dengan Keputusan Presiden No. 9 tahun 2004 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintahan Non Departemen, yang memiliki tugas untuk mengkoordinasikann komunitas intelijen lainnya. Perubahan tersebut hanya penegasan dari peran dan fungsi dari BAKIN yang dianggap pencitraannya kurang baik di masa lalu.

Perubahan tersebut harus dipahami sebagai upaya untuk ’mikul duwur mendem jero’, yang mencoba menetralkan BIN sebagai lembaga intelijen negara dari dosa-dosa masa lalu pendahulunya. Meski juga disadari benar bahwa perubahan nama tersebut tidak juga mengubah karakter dan budaya kerja yang ada di BIN. BIN hanya berganti baju dari intelijen produk lama. Hal ini memang disadari betul mengingat perubahan paradigmatik di lembaga intelijen tersebut belum terjadi. Sehingga keberadaan BIN hanya menjadi pelengkap dari keberadaan lembaga-lembaga intelijen lainnya sebagai kepanjangan tangan dari kekuasaan. Apalagi A.M. Hendropriyono, yang dinilai dekat dengan Presiden Megawati makin memperkuat asumsi tersebut. Secara terbuka, bahkan Hendropriyono berulang kali mengungkapkan bahwa BIN merupakan bagian dari pemerintahan Megawati.

Di masa kepemimpinan Hendropriyono juga terjadi eksodus besar-besaran intel-intel sipil dan Polri dari BIN, karena adanya upaya mantan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tersebut melakukan militerisasi di BIN. Proses tersebut juga disebabkan karena adanya faksionis di internal BIN ketika krisis politik perihal ancaman Dekrit Presiden oleh Abdurrahman Wahid. Sehingga, ketika kalangan intel sipil dan Polri yang merasa diuntungkan dengan berbagai kebijakan Wahid cenderung mendukung kepemimpinan Wahid, dan mencegah upaya sebagian intel berlatar belakang militer melakukan manuver mendukung penjatuhan Wahid dari kursi kepresidenan. Sebenarnya, kepemimpinan yang agak menyejukkan ketika BIN masih bernama BAKIN adalah saat Z.A. Maulani memimpin. Hanya teman dekat B.J. Habibie tersebut, melakukan blunder ketika mengamini kebijakan Habibie untuk melakukan referendum di Timor Timur.

Sedangkan Intelijen Polri kemudian mengubah namanya seiring dengan reformasi kelembagaan yang harus dijalani Polri. Dengan menyandang nama Badan Intelijen Keamanan Polri (Intelkam) Polri. Titik tekannya pada intelijen keamanan, yang tertuang pada Keputusan Presiden (Perpres) No. 70 tahun 2002 tentang Organisasi Tata Kerja Kepolisian Negara RI Pasal 21, yang berbunyi:

a. Badan Intelijen Keamanan Polri, disingkat Baintelkam adalah unsur pelaksana utama pusat bidang intelijen keamanan di bawah Polri.
b. Baintelkam bertugas membina dan menyelenggarakan fungsi intelijen dalam bidang keamanan bagi kepentingan tugas operasional dan manajemen Polri maupun guna mendukung pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dalam rangka mewujudkan Keamanan Dalam Negeri (Kamdagri).

Sama seperti yang terjadi di BIN, ternyata perubahan menjadi Badan Intelkam Polri tidak juga merubah paradigmatik berpikir, dan budaya lembaga yang ada. Bahkan untuk kasus Badan Intelkam Polri, ternyata ekspektasi yang luar biasa dari internal Polri membuat setiap perubahan yang ada menjadi semacam kemenangan bagi Polri setelah lebih dari 30 tahun terbelenggu dalam format matra angkatan. Sikap defensif dan menolak berbagai upaya penataan, khususnya penataan koordinasi intelijen tidak terlalu disikapi serius oleh Polri. Bahkan ada kesan, Polri menolak upaya untuk menata kelembagaan pertahanan dan keamanan dalam berbagai sikap dan cara.

Permasalahan yang juga muncul berkaitan dengan respon Polri, khususnya Badan Intelkam terhadap krisis politik di masa Presiden Wahid terjadi juga. Dualisme kepemimpinan Polri saat S. Bimantoro dan Chaeruddin Ismail satu dengan yang lain merasa menjadi Kapolri. Ada keragu-raguan juga ketika Keluarga Besar Polri harus memilih S. Bimantoro atau Chaeruddin Ismail sebagai Kapolri. Situasi ini pada akhirnya direspon oleh delapan perwira menengah Polri dengan mendukung Chaeruddin Ismail, dan menolak kepemimpinan S. Bimantoro. Permasalahan yang kemudian muncul adalah Badan Intelkam Polri juga bermain dengan melakukan kontra intelijen dan menyebarkan informasi bahwa delapan orang ini akan melakukan kudeta, dan akan menangkap Ketua DPR, Akbar Tandjung, dan Ketua MPR, Amien Rais. Isu tersebut disebarkan agar kedelapan perwira menengah tersebut dapat di tangkap, selain alasan indisipliner

Otoritas negara dan koordinasi antar lembaga intelijen sejak bangsa ini merdeka, hingga Orde Reformasi menjadi satu permasalahan yang serius. Bukan itu saja, bahkan negara yang berperan sebagai end user ternyata juga melakukan langkah-langkah yang tidak sinergis dengan penegakan otoritas negara. pada berbagai masa kepresidenan, baik Soekarno, Soeharto, Habibie, Wahid, Megawati, hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memiliki berbagai persamaan dan perbedaan menyangkut keotoritasan negara dan koordinasi antar lembaga. Pada masa Orde Lama justru yang terjadi adalah meningkatkanya konflik antara Presiden Soekarno dengan TNI, khususnya Angkatan Darat. Konflik ini bermuara pada terbangunnya ketidakpercayaan Soekarno terhadap semua produk intelijen negara, yang kebetulan didominasi oleh militer. Sementara pada masa Orde Baru, semua produk intelijen digunakan oleh Presiden Soeharto, dan ia memposisikan dirinya pusat dari lingkaran komunitas intelijen lainnya. Bahkan dengan berbagai cara, yang salah satunya mendirikan lembaga intelijen yang ekstra yudisial, bersifat khusus, namun memiliki kekuasaan yang sangat besar dan melebihi wewenang lembaga intelijen yang ada. Pada masa Orde Reformasi, Habibie, Wahid, Megawati, dan SBY lebih hati-hati dalam menentukan kebijakan mengenai intelijen. Namun kesamaan dari empat presiden tersebut adalah mengangkat kepala badan intelijen negara dari orang terdekat.

Sementara pada masa Orde Lama dan Orde Reformasi kendali atas lembaga-lembaga intelijen bersifat longgar, maka pada masa Orde Baru justru cenderung ketat. Kelonggaran kendali dan kontrol Soekarno, terhadap berbagai lembaga intelijen disebabkan oleh terbangunnya asumsi di kepala Soekarno mengenai dominasi militer di tubuh intelijen. Sehingga akan beresiko apabila produk yang dihasilkan oleh lembaga intelijen, khususnya intelijen negara digunakan sebagai pijakan untuk perumusan kebijakan. Ketatnya kendali atas komunitas intelijen di masa Orde Baru dilakukan oleh Soeharto dengan sadar. Sebab, kendali yang efektif atas lembaga intelijen yang ada akan mengurangi distorsi informasi yang merupakan produk intelijen tersebut. Sedangkan Presiden masa Orde Reformasi disebabkan adanya satu asumsi bahwa dengan memegang pimpinan atau kepala BAKIN atau BIN sudah cukup mengontrol lembaga tersebut untuk memberikan produk dari lembaga hanya kepada mereka.

Ketika Soekarno merasa tidak lagi mampu mengendalikan dominasi militer di lembaga intelijen negara, maka ia kemudian membentuk BPI, yang diharapkan mampu menjadi lembaga koordinasi antar lembaga intelijen lainnya. Dengan sepenuhnya dapat dikontrol dan loyal kepada dirinya, BPI kemudian saling berhadap-hadapan dengan kepentingan TNI di lapangan. Langkah Soekarno tersebut menjadi satu titik balik pengkubuan konflik antara dirinya dengan militer. Bahkan pengkubuan tersebut makin membesar ketika Soekarno merangkul PKI melalui jaringan BPI, dan Subandrio. Langkah Soeharto lebih elegan, ketika konflik antar perwira intel terjadi menjelang peristiwa Malari, yang dilakukan oleh Soeharto adalah menggantinya, serta keduanya kemudian ’diistirahatkan’ dan ditempatkan di pos tidak penting. Sedangkan pada Orde Reformasi kontrol negara hanya sebatas pada kepemimpinan level puncak lembaga intelijen negara. asumsi dasarnya, ketika Kepala Bakin atau BIN merupakan loyalis ataupun orang dekat kekuasaan maka kendali atas lembaga intelijen dalam genggaman.

Keberadaan komunitas intelijen lain, pada masa Orde Lama hampir tidak diganggu, kecuali aroma persaingan antara BPI dengan intelijen militer. Indikator yang paling kelihatan adalah dinamisasi dan perkembangan intelijen Kepolisian yang dapat menjalankan berbagai tugas dan fungsinya tanpa ada intervensi dan gangguan dari Soekarno. Bahkan mantan petinggi intelijen Kepolisian menjadi orang kedua di BPI, yang dipimpin Subandrio. Berbeda pada masa Orde Baru, marjinalisasi lembaga intelijen di luar intelijen militer begitu kentara. Bahkan melakukan sub ordinasi berbagai lembaga intelijen oleh lembaga-lembaga ekstra yudisial lain yang memiliki fungsi intelijen sering dilakukan, hal tersebut terjadi pada intelijen Polri. Fungsi koordinasi pada lembaga KIN ataupun BAKIN hanya untuk mengontrol komunitas intelijen lain, agar sejalan dengan kebijakan Soeharto. Pada Orde Reformasi terjadi penyimpangan ketika penangkapan Omar Al Farouk, salah satu gembong terorisme dilakukan oleh BIN, dan langsung diserahkan ke Amerika Serikat. Penyimpangan koordinasi ini menegasikan peran intelijen Polri dalam fungsi penegakan hukum.

Dalam membangun otoritas negara atas intelijen pun masa Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi menemui kendala. Satu persamaan yang paling kelihatan pada masa pemerintahan enam presiden tersebut adalah upaya membawa komunitas intelijen menopang pemerintahan mereka. Soekarno berupaya mengembangkan BPI sebagai ujung tombak bagi pemerintahannya, dengan melakukan kontra intelijen dan kontra teror terhadap musuh Soekarno, TNI Angkatan Darat. Efektifitas kontrol terhadap lembaga-lembaga intelijen lain terganggu oleh manuver intelijen militer yang keluar dari koordinasi BPI. Sementara pada masa Orde Baru, Soeharto bisa dibilang efektif, meski jauh dari prinsip dan nilai demokrasi. Semua lembaga intelijen ada dalam genggamannya. Bahkan sangat efektif menopang pemerintahannya. Sedangkan pada Orde Reformasi mengangkat ketua dan pimpinan BAKIN, atau BIN berasal dari orang terdekat di lingkaran kekuasaan.

Penataan Koordinasi
Menyangkut koordinasi antar lembaga intelijen, hampir tidak efektif di masa Orde Lama dan Orde Baru, serta Orde Reformasi. Keefektifan koordinasi, antara lembaga intelijen negara dengan lembaga intelijen Polri menjadi permasalahan tersendiri. Tidak ada perundang-undangan yang mengikat satu dengan yang lainnya. Yang ada hanya keputusan setingkat Kepres, maupun produk hukum di bawahnya. Bahkan perumusan tugas dan fungsi terkesan sangat umum, seperti pada Intelijen Polri. Sebaliknya, inherenitas lembaga intelijen negara yang juga menjalankan fungsi koordinasi seperti pada BPI, BAKIN, atau BIN makin menyulitkan upaya koordinasi satu lembaga intelijen dengan yang lainnya. Yang muncul justru aroma persaingan dan esprit de corp yang meninggi. Bahkan dapat disimpulkan bahwa fungsi koordinasi yang melekat pada fungsi intelijen negara pada masa Soekarno dan Soeharto justru menjadi bumerang bagi efektifitas koordinasi dan kinerja lembaga tersebut. Sementara tidak berjalannya koordinasi antar lembaga intelijen di era Reformasi, disebabkan karena upaya penataan kelembagaan tersebut berjalan sangat lamban

Ada enam penegasan mengapa koordinasi antara lembaga intelijen menjadi permasalahan serius dari dahulu hingga sekarang, khususnya antara lembaga intelijen negara dan intelijen keamanan, yakni: Pertama, otoritas negara atas lembaga-lembaga intelijen cenderung rendah. Otoritas dalam hal ini diasumsikan sebagai kontrol negara atas kinerja dari lembaga intelijen yang mengemban fungsi koordinasi. Kontrol tersebut menjadi sulit dilakukan ketika ketua ataupun pimpinan dari BAKIN atau BIN, yang mengemban fungsi intelijen negara dan fungsi koordinasi merupakan orang terdekat dengan kekuasaan.

Kedua, tidak adanya aturan hukum yang mengatur batasan dan wewenang kerja antara lembaga intelijen negara dengan intelijen Kepolisian. Aturan yang ada hanya terbatas mengikat satu organisasi saja, itupun sebatas Keputusan Presiden (Kepres), Intruksi Presiden (Inpres), Keputusan Menteri, maupun Keputusan Kapolri. Ketidakadaan aturan yang mengikat koordinasi antar lembaga intelijen tersebut menyebabkan batasan wilayah dan wewenang tugas juga makin rancu dan kabur.

Ketiga, dinamika internal masing-masing lembaga yang memiliki ekspektasi yang berbeda, baik berupa esprit de corps, maupun sentimen kelembagan. Hal ini terlihat pada semangat membangun dan menjaga negara dalam kondisi dan situasi yang utuh. Indikator yang mudah dikedepankan adalah rumusan tugas dan fungsi yang secara umum dibuat mencakup keindonesiaan.

Keempat, budaya di internal lembaga intelejen belum mengedepankan semangat kebersamaan dan profesionalisme. Satu filosofis kelembagaan yang bersifat koordinatif adalah memahami posisi, peran, dan fungsinya secara sadar. Dalam pengertian keberadaan setiap lembaga intelijen harus terkait dengan peran dan fungsinya secara tegas. Di sinilah kemudian akan mampu menstimulasi profesionalitas kelembagaan.

Kelima, masih kuatnya semangat superioritas antara lembaga satu dengan lembaga lain. Superioritas tersebut tercermin dari keengganan melakukan koordinasi. Sehingga koordinasi dapat diasumsikan membuka strategi dan berujung pada wan prestasi dari masing-masing lembaga tersebut. Tak heran apabila koordinasi hanya dianggap sebagai hal yang tidak terlalu penting. Padahal dalam konteks deteksi dini dari berbagai ancaman, koordinasi mampu menutup cela kemungkinan berubahnya ancaman menjadi tragedi.

Keenam, sentimen kelembagaan yang satu dengan yang lain merasa lebih baik dari lembaga lain. Berbeda pada kasus kebanggaan pada lembaga, pada sentimen yang merasa lebih baik menjadi pemicu terjadinya keengganan dari masing-masing lembaga intelejen untuk membuka hal-hal yang menjadi kerja-kerja keseharian. Tak heran pula kerap kali terjadi bentrok kerja antara lembaga intelejen tersebut di lapangan, misalnya pada kasus penggrebekan pelaku teroris di Tangerang yang membuka kedok dan mencederai intel yang tengah melakukan covert action.

Permasalahan koordinasi antara lembaga intelijen negara dengan intelijen Kepolisian, khususnya, maupun komunitas intelijen lainnya hampir pasti tidak akan terselesaikan apabila belum ada perundang-undangan yang mengatur komunitas tersebut. Koordinasi menjadi kata kunci bagi upaya mendorong agar lembaga intelijen, serta komunitas intelijen lainnya dapat mengefektifkan kinerja dan lebih profesional. Guna mereformasi lembaga intelijen secara umum, di mana di dalamnya akan menata pula permasalahan koordinasi, yang menjadi titik krusial bagi upaya mengefektifkan kinerja komunitas intelijen sesuai dengan porsi dan wewenangnya membutuhkan delapan prasyarat yang harus terpenuhi, yaitu: Pertama, Upaya untuk menata koordinasi harus diawali dengan adanya legalitas yang mengikat seluruh komponen dan lembaga intelijen dalam satu irama yang selaras dengan tujuan berbangsa dan bernegara. Dengan memperhatikan pada jenis dan karakteristik dari masing-masing lembaga.

Sehingga penataan koordinasi intelijen tersebut dapat terukur dan mampu membagi habis kewenangan secara proporsional. Akan tetapi perundang-undangan yang ada selain masalah koordinasi antar lembaga, juga harus memuat setidaknya berbagai komunitas intelijen yang ada dengan mengeksplisitkan pada: Hakikat dan tujuan intelijen; Ruang lingkup intelijen; Tugas, fungsi, serta wewenang; Organisasi dan prinsip-prinsip pengaturan. Dan yang tidak kalah seriusnya adalah penegasan bahwa lembaga intelijen harus tunduk pada otoritas sipil, dengan mengedepankan pada penghormatan pada HAM dan nilai serta prinsip demokrasi. Sementara perundang-undangan intelijen yang secara eksplisit dan sangat jelas menguraikan koordinasi antar lembaga intelijen, khususnya lembaga intelijen negara dengan intelijen Kepolisian adalah Law on Security Services of The Federal Republic of Yugoslavia, namun sayangnya negara tersebut tidak lagi eksis, karena hanya menyisakan Republik Serbia, setelah terakhir Montenegro juga menyatakan kemerdekaannya melalui referendum.

Kedua, otoritas negara dan kontrol yang berlapis pada efektifitas kinerja dan koordinasi komunitas intelijen. Otoritas negara dalam hal ini dapat dilihat dalam pengembangan kelembagaan dan pemakai produk intelijen terakhir. Dengan mengedepankan adanya otoritas negara setidaknya lembaga intelijen yang terkoordinir melalui keapala atau pimpinan lembaga koordinasi intelijen yang dipilih secara politis oleh Presiden. Bila kepala lembaga intelijen lainnya dipilih karena bersifat karier, maka upaya membangun otoritas negara atas lembaga intelijen tercermin dari pemilihan kepala lembaga koordinasi intelijen oleh Presiden. Adapun yang harus diperhatikan oleh negara dalam mengembangkan dan mengefektifkan otoritasnya tidak melakukan politisasi, dan sentimen antar lembaga. Karena hal tersebut hanya akan membuat koordinasi dan konerja tidak akan efektif. Sedangkan pengawasan dan kontrol berlapis akan mendorong komunitas intelijen bekerja dengan efektif dan efisien, dengan memperhatikan berbagai rambu-rambu di dalam negara demokratik. Sementara khusus koordinasi antara BIN dan Baintelkam Polri, peran negara sebagai policy maker dan pemilik fungsi kontrol dan pengawasan harus lebih diuraikan secara detail dengan memperhatikan batasan-batasan wewenang antar keduanya. Dengan menegaskan efektifita kode etik lembaga intelijen, serta turunan dari tugas, dan fungsi di masing-masing lembaga, yang biasanya dikeluarkan melalui keputusan kepala masing-masing lembaga yang menaunginya.

Ketiga, pengembangan budaya kerja yang profesional dan efektif dalam menjalankan tugas dan fungsi yang telah ditetapkan. Budaya di masing-masing internal lembaga cenderung menahan diri dan mengambil jarak antar lembaga intelijen lainnya. Hal ini tidak akan menguntungkan bagi penataan lembaga intelijen, tidak hanya BIN dan Baintelkam Polri, yang banyak menangani permasalahan domestik dan dalam negeri, tapi juga lembaga intelijen lainnya. Salah satu yang harus ditegaskan mengenai budaya internal lembaga yang baik adalah, bagaimana mengembangkan cakupan kerja yang sesuai dengan batasan dan wewenangnya. Artinya bila Baintelkam Polri harus mampu mengembangkan segenap potensi untuk melakukan kerja-kerja yang berkaitan dengan ancaman keamanan dan kriminalitas.

Keempat, membangun kesadaran kepada masing-masing anggota intel perihal realitas yang dihadapi sebagai bagian dari pelaksana fungsi keintelijenan. Artinya, kebanggaan dan ekspektasi yang berlebihan tidak lagi menjadi satu kendala bagi pengembangan koordinasi. Kebanggaan semu dan ekspetasi yang berlebihan memang akan makin mencerminkan kedangkalan produk yang dihasilkan, sebab identitas dan pola akan mudah diketahui lawan, maupun masyarakat yang akhirnya enggan membagi informasinya. Citra dan intel kita memang sudah diambang kronis, contoh yang paling kentara adalah mudahnya anggota intel teridentifikasi oleh masyarakat saat melakukan covert operation. Bayangkan bagaimana mudahnya intel lawan dalam mengidentifikasi pola dan cara yang dilakukan oleh intel kita.

Kelima, terbangunnya semangat kebersamaan dan penghargaan terhadap batasan dan wewenang lembaga intelijen lainnya, serta tidak berusaha melakukan penyabotan. Semangat kebersamaan ini mungkin akan sulit diwujudkan apabila melihat trauma masa lalu yang dirasakan oleh lembaga intelijen di luar intelijen militer, seperti intelijen Polri misalnya. Artinya perlu ada alat untuk memaksa lembaga-lembaga intelijen lainnya agar duduk bersama untuk melakukan koordinasi dengan payung perundang-undangan yang mengikat semua komunitas intelijen.

Keenam, mengembangkan kerja koordinasi, baik dalam bentuk yang formal seperti pada upaya pemberantasan tindak pidana terorisme, yang payung undang-undangnya ada pada UU No. 15 Tahun 2003, maupun yang informal, seperti operasi intelijen gabungan yang bersifat insidental di perbatasan Timor Leste, yang tengah bergolak dan mengancam integritas nasional, baik bersifat politis, maupun kriminal.

Ketujuh, pemenuhan anggaran intelijen yang efektif, transparan, dan bertanggung jawab, sesuai dengan kaidah-kaidah demokrasi. Prasyarat ini menjadi bagian yang akan mempengaruhi tingkat koordinasi antar lembaga. Sekedar gambaran, BIN dan Baintelkam Polri mendapatkan kucuran anggaran yang mungkin saja berbeda satu dengan yang lain, baik asal anggaran, maupun besaran anggarannya. BIN, bila statusnya tetap setingkat kementerian seperti sekarang, jelas akan memiliki anggaran yang cukup besar dibandingkan dengan Baintelkam Polri yang berasal dari Mabes Polri. Satu kelemahan yang disebabkan kurangnya anggaran adalah prilaku menyimpang yang membuat tingkat koordinasi menjadi lemah, seperti pada kasus beking oknum intel satu lembaga intelijen terhadap perjudian dan prostitusi beberapa waktu lalu. Padahal permasalah perjudian dan prostitusi merupakan bagian dari tugas Baintelkam Polri, sehingga bentrok dan konflik tidak dapat dihindarkan, yang berujung pada tidak efektifnya kerja-kerja keintelijenan.

Kedelapan, selain adanya aturan legal formal dalam bentuk undang-undang, dibutuhkan juga satu kesepakatan dalam bentuk nota kesepahaman (MoU), ataupun keputusan bersama antara Kementerian yang membawahi BIN ataupun kepala BIN sendiri dengan Kapolri perihal batasan dan cakupan wewenang keamanan dalam negeri. Di mana BIN maupun Polri menegaskan hal tersebut, baik dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, ataupun Inpres No. 5 Tahun 2002, serta Kepres No. 103 Tahun 2001. artinya perlu ada batasan formal, antara cakupan Keamanan Dalam Negeri versi Polri, dengan batasan Keamanan Nasional dalam persfektif BIN. Masalah-masalah keamanan dalam negeri harus jelas antara keduanya, sehingga permasalahan koordinasi yang menjadi permasalahan antara kedua lembaga tersebut di masa akan datang tidak lagi terjadi.

Koordinasi antar lembaga intelijen, khususnya pada intelijen negara, yakni BIN dan intelijen Kepolisian, yang terepresentasi dalam Baintelkam Polri diharapkan akan membaik dengan terpenuhinya prasyarat-prasyarat tersebut di atas. Artinya koordinasi yang efektif akan memberikan satu produk intelijen yang komprehensif bagi pemerintah, sebagai end user. BIN harus menegaskan dirinya sebagai intelijen yang menjalankan fungsi intelijen keamanan dalam negeri, yang bertanggung jawab untuk mengatasi masalah-masalah keamanan dalam negeri, yang terkait dengan pembentukan sistem peringatan dini serta sistem analisis informasi strategis guna menghadapi ancaman terhadap keamanan nasional. Sebaliknya, di Baintelkam Polri harus menyadari bahwa tugas dan wewenangnya hanya terbatas pada intelijen keamanan, yang lebih khusus pada intelijen kriminal, sebagaimana yang tertuang dalam Kepres No. 70 Tahun 2002. Sehingga, keinginan untuk menjadi semacam Special Branch dalam Scotland Yard harus dikubur dalam-dalam, dengan lebih mengedepankan efektifitas dan penguatan tugas dan fungsi yang ada sekarang.

Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa koordinasi antara lembaga intelijen negara dan intelijen keamanan menjadi sesuatu yang mendesak. Selain masalah pembatasan ’wilayah’, juga terkait dengan efektifitas kedua lembaga intelijen untuk mewujudkan keamanan dalam negeri, juga terkait dengan pembangunan dan penataan kelembagaan intelijen yang efektif, profesionalisme, dan sesuai dengan nilai dan prinsip demokrasi. Kedua hal tersebut terkait dengan transisi demokrasi yang tengah berjalan. Bahwa lembaga intelijen terkesan terlambat dalam penataan tersebut, dikarenakan pembangunan dan penataan kelembagaan yang bertindak sebagai policy maker menjadi satu agenda terlebih dahulu dilakukan. Menyangkut soal koordinasi kedua lembaga intelijen tersebut, khususnya dan lembaga intelijen memiliki tingkat urgenitas yang tinggi. Urgenitas tersebut terletak pada upaya untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang berorientasi pada pembentukan sistem deteksi dini bagi upaya untuk mengancam keamanan dalam negeri. Polri di satu sisi mengemban tugas yang berat untuk mewujudkan Kamdagri dalam bentuk tanggung jawab mewujudkan keamanan dalam negeri, dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya. Sementara BIN, tidak lagi harus memiliki dualisme fungsi, sebagai intelijen yang bertanggung jawab pada masalah-masalah keamanan nasional, di luar yang dikerjakan Polri. Dualisme fungsi, sebagaimana diurai di atas, menjadi titik permasalahan tersendiri.

Sehingga membutuhkan satu penegasan agar BIN dan Baintelkam Polri mampu memerankan perannya secara sinergis, komprehensif, serta berlandas pada prinsip dan nilai demokrasi. Penyimpangan dan gesekan kepentingan masing-masing lembaga pada operasional dapat diminimalisir dengan mempertegas aturan main, berupa perundang-undangan, dan berbagai kesepakatan antar keduanya. Sebab, menghilangkan sama sekali citra lembaga intelijen dalam berbagai peristiwa yang melanggar HAM, menunjukkan saling sikut dan mengorbankan lembaga lain demi menjaga citra dan nama baik di masyarakat pernah terjadi di masa lalu. Intelijen memang bukan lembaga normal biasa dalam praktik operasionalnya, sehingga pengetatan aturan main, dan kode etik operasionalnya menjadi penegas bagi keberadaan BIN, sebagai lembaga intelijen negara, dan Baintelkam Polri, sebagai intelijen Kepolisian untuk membangun koordinasi yang baik. Dan indikator yang paling kentara adalah terbangunnya koordinasi yang baik adalah efektifitas operasional masing-masing lembaga dengan tetap memperhatikan penegakkan HAM, dan nilai serta prinsip demokrasi.