Ada satu pertanyaan yang belum terjawab seputar keberhasilan Polri dalam melumpuhkan gembong teroris, Dr. Azahari, adalah apakah proses penangkapan, dan pada akhirnya menewaskan orang yang paling dicari di Indonesia tersebut merupakan bagian dari efektifnya pemolisian masyarakat (community policing)? Pertanyaan tersebut bisa jadi sangat sederhana, mengingat pemolisian masyarakat dalam konteks profesionalisme di kepolisian menjadi satu barometer. Pelibatan masyarakat dalam konteks pengamanan lingkungan merupakan komitmen pengembangan profesionalisme Polri. Hal ini perlu ditegaskan, meski dalam banyak kasus, Polri masih terjebak dalam paradigma lama. Langkah dan kinerja Polri yang banyak disorot masyarakat seputar reformasi internal Polri juga menjadi sebuah catatan tersendiri bagi Polri, mengingat di masa lalu Polri dianggap sebagai salah satu institusi terkorup. Langkah untuk mereformasi diri sejalan dengan perbaikan kinerja, baik yang menyangkut pada pencegahan dan pemberantasan terorisme, ataupun pada kerja-kerja pengayoman masyarakat. Komitmen Polri terhadap perbaikan kinerja dan pembersihan diri adalah dilakukannya penahan sejumlah perwira tinggi yang terkait kasus pidana korupsi dan penyuapan di Lingkungan Mabes Polri. Penangkapan tersebut menjadi satu titik pijak yang kokoh bagi kelanjutan kerja-kerja Polri yang lain. Sehingga dalam kasus pencegahan dan pemberantasan terorisme, Polri mampu memikat dan mempesona hati masyarakat. Hal ini tercermin dari turunan penangkapan dan tewasnya Dr. Azahari, dengan terbongkarnya sejumlah kasus teror lainnya, yang terkait dengan jaringan terorisme, baik yang terkait langsung dengan jaringan Dr. Azahari dan Nordin M. Top, maupun yang tidak.

Masalah yang kemudian dipertanyakan adalah apakah proses dan perbaikan kinerja Polri tersebut, khususnya yang menyangkut pencegahan dan pemberantasan terorisme melibatkan masyarakat? Secara sederhana community policing diartikan sebagai model pemolisian yang berdasarkan konsensus dan berorientasi pada masyarakat. Ada dua asumsi dasar yang menegaskan bahwa keberhasilan Polri dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Pertama, keberhasilan pengepungan tempat persembunyian Dr. Azahari, dan sejumlah jaringan terorisme lainnya di Indonesia adalah semata-mata karena meningkatnya kualitas SDM di Polri. Peningkatan kualitas SDM Polri ini merupakan ekses positif dari penataan dan reformasi internal Polri dalam merespon tuntutan dari tantangan ancaman kejahatan yang makin kompleks.

Kedua, keberhasilan tersebut merupakan satu kebetulan semata, bukan merupakan bagian dari persiapan yang matang. Pengertian kebetulan ini terkait dengan sindiran kepada Polri sebagai institusi yang tidak terlalu peka terhadap dinamika dan perkembangan di masyarakat. Sehingga banyak menganggap bahwa drama pengepungan terhadap persembunyian Dr. Azahari merupakan bagian dari skenario intelejen, di mana Polri hanya menjadi salah satu aktor saja.

Dari dua asumsi tersebut dapat dilihat bagaimana faktor masyarakat dalam kasus pencegahan dan pemberantasan terorisme menjadi faktor yang berdiri sendiri dan tidak terlibat. Hal ini ditegaskan dengan ada nya prinsip-prinsip dasar pemolisian masyarakat, yakni: (1). Tidak menekankan pada tanggapan atas permintaan dan pelayanan. (2). Tidak menekankan pada usaha memerangi atau melawan kejahatan. (3). Berkonsentrasi pada ketertiban di lingkungan pemukiman. (4). Mengembangkan ikatan-ikatan yang lebih erat dengan warga masyarakat. (5). Mengembangkan ikatan-ikatan yang lebih ketat dengan unsur-unsur pemerintah lainnya yang memiliki tanggung jawab terhadap masalah-masalah masyarakat. (6). Mendefinisikan kembali peran polisi dalam hal pemecahan masalah dan pengorganisasian masyarakat.

Di samping itu, perlu disadari bahwa pemolisian masyarakat dalam banyak kasus masih terbatas pada wacana saja, implementasi dari pemolisian masyarakat hanya terbatas pada pemahaman perwira-perwira Polri saja, sementara implementasinya masih terasa gagap, dan tergerus oleh eksistensi dan implementasi pola lama dari kerja-kerja Polri. Sehingga penerimaan masyarakat terhadap implementasi pemolisian masyarakat tersebut juga bersifat oportunis, sejauh menguntungkan masyarakat dalam hal pengamanan dan keamananan diri dan lingkungannya, maka hal tersebut diterima sebagai ’barter keuntungan’ antara masyarakat dengan Polri. Hal ini menyangkut soal rendahnya penerimaan masyarakat terhadap implementasi pemolisian masyarakat, khususnya yang menyangkut pencegahan dan pemberantasan terorisme, ada empat alasan yang mengemuka, yakni: Pertama, rendahnya Pengetahuan masyarakat atas jaringan terorisme dan upaya Pencegahannya. Hal ini dipertegas dengan kuatnya budaya penerimaan terhadap masyarakat pendatang, hal ini terkait dengan budaya yang hidup di masyarakat. Tak heran apabila Dr. Azahari dan jaringan teroris lainnya dapat dengan mudah berpindah tempat dan menyewa rumah, karena berkembangnya budaya tersebut.
Kedua, Persepsi masyarakat akan Kinerja Polri. Persepsi ini berkaitan dengan prilaku dan keseriusan Polri dalam mereformasi diri. Hal ini menjadi satu indikator bahwa keberadaan Polri di tengah masyarakat berkaitan dengan kinerja akan mampu meningkatkan akseptabilitas masyarakat. Ujung-ujungnya akan terbangun persepsi positif masyarakat terhadap Polri, dan akan mampu membangun keterikatan satu dengan yang lain. Khususnya yang berkaitan dengan perkembangan Community Policing.

Ketiga, Kurangnya SDM Polri yang Mampu Menggerakkan Masyarakat. Satu sinyalemen yang paling mungkin untuk dimunculkan adalah, seberapa tangguh dan siapkah Polri membangun SDM-nya bagi suksesnya Pemolisian Masyarakat? Dalam Skep Kapolri No. Pol: Skep/737/X/2005 tentang Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri ditegaskan bahwa dalam tiga tahun ke depan, Polri harus siap dengan SDM yang memahami dan mengerti, baik substantif, maupun operasional Community Policing. Meski terkesan mengawang-awang, namun turunnya Skep Kapolri ini menegaskan akan komitmen dari Polri untuk mengembangkan Community Policing dalam implementasi operasional dan substantif. Meski dalam implementasinya masih belum dapat dipraktikkan secara simultan.
Keempat, sentiment Keagamaan yang cukup kuat di masyarakat. Meski tidak terlalu memunculkan satu penegasan ulang, alasan keempat ini sejatinya terkait pula dengan isu yang berkembang di luar negeri seperti pada kasus Palestina, atau kasus pelecehan Nabi Muhammad dalam bentuk kartun yang dimuat di sejumlah surat kabar di Eropa dan Amerika. Artinya bahwa sentimen keagamaan tersebut bukan menjadi faktor yang berdiri sendiri, melainkan turunan dari sikap dan solidaritas yang terbangun. Sebab bila dikaji lebih dalam, sentimen keagamaan di Indonesia masih berada di wilayah inklusif, dan tidak fantik. Jauh berbeda dengan yang ada di Timur Tengah ataupun Asia selatan, semisal Pakistan ataupun Afganistan.

Community Policing dan Terorisme
Perbedaan pandangan antara kalangan akademis dengan Polri soal definisi Community Policing sejatinya tidak menjadi masalah, apakah Pemolisian Masyarakat sebagaimana penulis dan kalangan akademis memahaminya, dengan Perpolisian Masyarakat (Polmas) sebagaimana yang ada di atur dalam Skep Kapolri. Hal yang paling penting untuk ditegaskan adalah pada implementasi operasionalnya. Meski ada skeptisme dari Awaluddin Djamin, Mantan Kapolri perihal implementasi dari Skep Kapolri tersebut, namun ada optimisme yang diharapkan akan membangun Polri yang efektif dan efesien, serta profesional. Akan tetapi harus juga ditegaskan bahwa rasa tidak yakin akan kemungkinan implementasi yang baik ini bukan pada konseptualnya, melainkan kepada kesiapan dari anggota dan SDM Polri. Sekedar ilustrasi saja, misalnya Amerika Serikat yang menerapkan Community Policing pada tahun 1980-an saja masih belum secara penuh mengimplementasikannya, bandingkan dengan Indonesia yang dalam tahun 2009, praktik dan operasional Community Policing diterapkan secara keseluruhan di wilayah Indonesia. Artinya masih terlihat cela besar, antara konseptualisasi Community Policing, dengan implementasinya.

Terlepas dari masalah tersebut di atas, keberadaan Community Policing harus dapat dijadikan ujung tombak bagi upaya pencegahan dan pemberantasan terorisme. Sehingga dibutuhkan prasyarat-prasyarat bagi penguatan konsep Community Policing menjadi lebih implementatif, khususnya pada upaya pembinaan masyarakat, yang termaktub dalam Pasal 14 UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Polri. Adapun syarat-syarat tersebut adalah: Pertama, Polri harus menyiapkan SDM dan anggota yang memahami secara konseptual dan implementatif perihal penerapan Community Policing. Penerapan SDM dan anggota Polri yang handal akan mempengaruhi seberapa efektif tingkat keberhasilan pelaksanaan Pemolisian Masyarakat. Penyiapan SDM dan anggota Polri terkait dengan penerapan kurikulum berbasis masyarakat dalam pendidikan di Polri secara berjenjang. Penerapan kurikulum yang secara substantif mengenai Pemolisian Masyarakat tidak hanya akan merubah paradigma Polri yang masih berbau militerisme, tapi juga mempertegas jalan bagi Polri untuk menjadi Polisi Sipil.

Kedua, khusus untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan terorisme. Dibutuhkan secara prinsip pemahaman mengenai anatomi dan pola teror yang ada, khususnya di Indonesia. Artinya bahwa, keberadaan Community Policing Officer (CPO) tidak sekedar menjadi ’palang pintu’ bagi kehadiran orang asing di wilayahnya, tapi memahami benar pola dan prilaku berdasarkan kepada peran dan tugas dari CPO secara luas, yakni melakukan pembinaan masyarakat.

Ketiga, karena Pemolisian Masyarakat akan berbasis di Kepolisian Sektor (Polsek), maka harus diupayakan pemenuhan dana operasional dari CPO tersebut, bukan hanya sekedar menerapkan aturan tapi juga memenuhi kebutuhan operasional dari CPO. Sebab, sebagaimana diketahui dari hasil penelitian LPEM UI mengenai sebaran anggaran Polri tahun 2004 dari APBN, diketahui bahwa hampir 70 % terserap bagi operasional di Mabes Polri. Sisanya terbagi habis ke Polda dan Polwil (Polres dan Polsek). Artinya, jika penerapan Pemolisian Masyarakat dilakukan, maka hampir dipastikan Kepala Polsek setempat akan memanfaatkan dana Partisipasi Masyarakat (Parman), dan Partisipasi Kriminal (Parmin), yang ujung-ujungnya akan mengkoreksi kinerja Polri karena alasan ’balas budi’ kepada pemberi dana. Hal ini akan membuat lengah CPO, karena harus menutupi kebutuhan operasionalnya sendiri. Di samping itu, upaya memesona hati masyarakat juga akan terkoreksi, karena adanya kerja-kerja yang mencoreng semangat profesionalisme Polri.

Keempat, CPO harus memiliki wawasan yang luas dan interaksi yang bersifat bottom up, bukan top down. Artinya bahwa pemilahan permasalahan, dalam konteks pencegahan dan pemberantasan terorisme harus merupakan berbasis kepada masyarakat, bukan dihasilkan dari sekedar masukan elit masyarakat yang tergabung dalam forum Pemolisian Masyarakat.

Terakhir, kelima, kerja sama lintas sektoral dan lembaga, baik yang telah inheren dalam forum Pemolisian masyarakat, maupun di luar yang ada. Hal ini penting agar upaya untuk mengantisipasi permasalahan dan ancaman terorisme tidak berjalan sendiri-sendiri, semisal pada kasus penanganan dan penangkapan kaki tangan Dr. Azahari yang dilakukan oleh Polri, namun sempat bentrok dengan intel dari BIN yang melakukan upaya dan langkah yang sama. Kerja sama lintas sektoral ini juga untuk melatih CPO untuk dapat mendeteksi sejak dini kemungkinanberbagai ancaman, khususnya yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan terorisme.

Dari kelima prasyarat tersebut akan memberikan dan melapangkan jalan bagi pengembangan dan penerapan Pemolisian Masyarakat dalam konteks operasional. Artinya, tanpa lima prasyarat tersebut di atas, maka upaya untuk menerapkan, mengembangkan, dan menguji efektifitas dari Pemolisian Masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan terorisme hanya akan berada di ruang lingkup wacana.