Setelah tujuh tahun berpisah dari TNI, dan menjadi lembaga mandiri, ternyata Polri sebagai institusi di usianya yang ke-60 tahun belum beranjak menjadi alat Negara yang sepenuhnya profesional. Berbagai kendala yang dihadapi menjadi penghalang bagi Polri untuk mewujudkan harapan agar Polri sepenuhnya menjadi polisi sipil; menjunjung tinggi HAM, sepenuhnya di bawah otoritas pemerintahan sipil demokratis, mandiri, serta menjalankan peran dan fungsinya secara profesional. Hal tersebut terkait dengan tali-temali permasalahan yang saling berkait satu dengan yang lain. Reformasi Polri yang dicanangkan tujuh tahun lalu, dan terumus dalam Blue Paper yang berjudul Reformasi Menuju Polri yang profesional belum mampu diejahwantakan dalam operasional Polri. Permasalahan yang dihadapi Polri sejatinya tidak semata-mata berasal dari kebijakan politik yang kurang mendukung, melainkan juga perubahan paradigmatik di internal Polri tidak berjalan dengan baik. Ada enam permasalahan yang hingga kini belum terpecahkan yang menghadang gerak Polri dalam melakukan pembenahan internal. Pertama, paradigma dan budaya militeristik di lingkungan Polri. Setelah lebih dari 30 tahun menjadi bagian dari TNI, watak dan paradigma militer belum sepenuhnya hilang dari Polri. Hal ini tentu saja mempengaruhi kinerja Polri, yang pada akhirnya membangun pencitraan yang kurang baik bagi Polri sendiri.

Kedua, belum tuntasnya internalisasi nilai dan prinsip demokrasi di lingkungan Polri. Sebagai institusi sipil dan berhubungan langsung dengan masyarakat, maka internalisasi nilai dan prinsip demokrasi bagi anggota Polri menjadi suatu hal yang wajib hukumnya. Bahkan penegasan bahwa anggota Polri harus memahami dan menginternalisasi nilai dan prinsip demokrasi termakhtub dalam UU No. 2 tahun 2002, Tentang Polri, khususnya Pasal 4.

Ketiga, kebijakan politik pemerintahan yang belum maksimal. Dalam pengertian bahwa upaya membangun Polri yang mandiri dan profesional membutuhkan dukungan anggaran yang memadai. Dengan anggaran dari APBN tahun 2006 sebesar Rp. 16 Trilyun, tentu belum mencukupi semua aktifitas Polri, baik anggaran rutin, operasional, pemeliharaan alat komunikasi, dan fasilitas pendukung lainnya. Kondisi tersebut mengandung dilema, di satu sisi pemerintah berharap agar Polri mampu menampilkan jati diri dan pencitraan lembaga penegak hukum yang baik, di sisi lain pemerintah masih terbatas pada pemenuhan anggaran.

Keempat, Polri sebagai kepolisian nasional. Format ini mengandung konsekuensi pada pemenuhan segala kebutuhan dan operasional Polri ditanggung oleh pemerintah pusat. Hanya saja, di era desentralisasi dalam bentuk otonomi daerah, format tersebut kurang tepat, karena ketergantungan anggaran pada pemerintah pusat menyebabkan panjangnya birokrasi dan tali komando (chains of command) yang harus dilalui.

Kelima, posisi Polri yang masih di bawah presiden. Memilih berada langsung di bawah presiden, mengandung resiko dan kerawanan politik kepentingan, sebagaimana yang terjadi pada masa Presiden Wahid. Akan tetapi keinginan untuk langsung di bawah presiden menjadikan Polri akan terus ’terganggu’ dengan dinamika kekuasaan politik yang mengiringi perjalanan bangsa ini.

Keenam, rasio perbandingan antara jumlah anggota Polri dengan jumlah penduduk. Saat ini rasio anggota Polri dengan masyarakat masih berkisar antara 1:750 hingga 1: 1000. sedangkan idealnya 1:350. rasio perbandingan yang tidak merata ini menyulitkan Polri dalam menjalankan tugas, khususnya pada implementasi Perpolisian Masyarakat (Community Policing) dan Babinkamtibmas.

Buruk Muka Cermin Dibelah
Salah satu indikasi bahwa penataan kelembagaan di Polri berjalan adalah pembenahan pada berbagai perangkat organisasi agar lebih efektif dan efisien. Namun demikian, harus diakui bahwa penataan organisasi Polri ternyata tidak diikuti oleh peningkatan kapasitas dan manajemen keanggotaan Polri. Situasi ini nampak mencolok saat berbagai langkah dan kebijakan negara untuk menata koordinasi dan efektifitas kerja sama antar perangkat pertahanan dan keamanan dalam bentuk pembahasan RUU Keamanan Nasional, yang melibatkan Departemen Pertahanan, dan Mabes TNI, Polri memilih diam seribu bahasa. Diamnya Polri ini diasumsikan sebagai penolakan bagi upaya membangun format keamanan nasional yang komprehensif. Ada trauma masa lalu yang membayangi internal Polri perihal kemungkinan diterapkannya kembali subordinasi TNI atas Polri dalam bentuk Dewan Keamanan Nasional (DKN). Akan tetapi sikap tersebut menjadi cerminan bahwa Polri belum mampu membangun dan mengembangan diri. Agar dapat menerima berbagai masukan dan usulan penataan kelembagaan pertahanan dan keamanan, di mana Polri menjadi salah satu instrumennya.

Kenyataan ini makin menegaskan adanya kegamangan dalam proses reformasi di internal Polri sendiri. Artinya reformasi Polri yang telah berjalan selama tujuh tahun belum memberikan satu pondasi dan landasan bagi pengembangan Polri yang profesional dalam menjalankan peran dan fungsinya. Ada empat alasan mengapa reformasi Polri belum memberikan pondasi bagi pengembangan dan perbaikan kinerja Polri, yakni: Pertama, pembangunan sentimen kelembagaan yang berlebihan di internal Polri, yang menyebabkan setiap upaya luar yang berkontribusi, baik yang berkaitan langsung dengan Polri maupun tidak langsung kerap dianggap sebagai langkah untuk menjerumuskan Polri ke dalam permasalahan.

Kedua, penegasan harga mati posisi Polri sebagai polisi nasional membuat usulan agar memberikan wewenang manajemen operasional ke daerah-daerah dalam bentuk desentralisasi manajemen tidak direspon positif. Padahal bila hal tersebut disambut baik Polri, setidaknya akan mengurangi beban anggaran pemerintah pusat, karena akan ada bantuan secara formal dari APBD setempat.

Ketiga, Trauma masa lalu Polri. Berkaitan dengan trauma masa lalu Polri yang membayangi langkah Polri dalam menata kelembagaannya, menyebabkan Polri sangat sulit sekali menerima berbagai tawaran yang berkaitan dengan TNI, dan Departemen Pertahanan. Hal ini sebagai langkah protektif agar Polri lebih mandiri.

Keempat, masih adanya perasaan inferioritas di tubuh Polri berkaitan dengan interaksi dengan berbagai perangkat pertahanan dan keamanan, khususnya TNI. Sifat inferioritas ini bahkan menjadi permasalahan tersendiri ketika Polri harus bersama-sama bertugas, seperti pengamanan wilayah konflik di Poso ataupun Aceh.

Penolakan Polri terhadap berbagai upaya menata dan mempercepat proses reformasi di Polri membuat institusi tersebut tidak dalam performa yang diharapkan. Dalam pengertian setiap langkah yang diambil Polri harus dipahami merupakan langkah untuk menata dan memperbaiki kinerja. Di samping itu, kenyataan yang tidak dapat ditolak oleh Polri adalah bahwa penataan kelembagaan di Polri harus sinergis dengan lembaga negara yang lainnya. Dengan kata lain, keterlibatan Polri dalam berbagai upaya untuk mensinergiskan koordinasi dan penempatan pengamanan di wilayah NKRI harus pula menjadi prioritas utama Polri. Apakah dalam bentuk RUU Keamanan Nasional, Dewan Keamanan Nasional, ataupun forum-forum informal lainnya.

Ada lima hal yang mesti dilakukan oleh Polri agar reformasi dan penataan kelembagaan Polri bersinergis dengan dinamika politik kenegaraan, yakni: Pertama, cepat atau lambat Polri merupakan institusi sipil yang dipersenjatai, tapi bukan combatant dan sama sekali berbeda dengan militer. Artinya budaya dan paradigma militer harus benar-benar dihilangkan dari Polri, karena Polri akan banyak bersentuhan dengan masyarakat, dengan karakteristik sipil, dan cenderung persuasif. Sebab indikator keberhasilan tugas Polri adalah meningkatnya citra baik Polri di masyarakat.

Kedua, pemahaman demokrasi dan HAM harus menjadi prioritas utama dalam berbagai bentuk pendidikan maupun pelatihan yang dilakukan oleh Polri. Modal dasar berinteraksi dengan masyarakat sipil demokratis adalah implementasi nilai dan prinsip demokrasi dan HAM dalam setiap pelaksanaan tugas. Jika Polri mampu mengimplementasikan keduanya, maka hampir dipastikan Polri telah menjelma menjadi Polisi Sipil yang didamba masyarakat.

Ketiga, Polri perlu mempertimbangkan pendelegasian wewenangnya ke daerah dalam bentuk desentralisasi manajemen. Hal ini terkait dengan pengefektifan tali komando, dan manajemen operasional, serta dukungan anggaran bagi Polri. Bila selama ini anggaran yang kurang memadai dibantu dari adanya anggaran ’siluman’, baik dari Partisipasi Teman (Parman), Partisipasi Kriminal (Parmin), maupun Partisipasi Masyarakat (Parmas), maka dengan adanya desentralisasi manajemen, Polri di tingkat Polda, Polwil, maupun Polres mendapatkan anggaran yang resmi dari APBD setempat. Hal ini dimungkinkan karena kepala daerah memiliki garis koordinasi dan manajemen kepada Polri di daerahnya, sehingga Surat Edaran Menteri Dalam Negeri mengenai larangan pemberian bantuan APBD untuk lembaga lain tidak berlaku untuk Polri. Langkah ini juga untuk mengantisipasi masih belum memadainya anggaran Polri yang berasal dari APBN.

Keempat, Polri harus mengkaji secara serius perihal posisi Polri di bawah presiden langsung. Di masa yang akan datang posisi tersebut tidak baik pengaruhnya bagi Polri. Posisi yang ideal bagi Polri adalah memiliki departemen tersendiri, yang akan mempetegas kemandirian Polri. Dengan berada di dalam departemen sendiri, intervensi presiden dapat tersaring, sehingga tidak akan mengganggu konsolidasi internal Polri.

Kelima, Polri seyogyanya membangun rasionalitas keanggotaan agar mampu mengantisipasi ancaman terhadap keamanan dalam negeri (Kamdagri) dalam bentuk pengefektifan Babinkamtibmas dan Perpolisian Masyarakat. Bila mengacu pada konseptualisasi Babinkamtibmas dan Perpolisian Masyarakat, idealnya ada satu anggota Polri di setiap kelurahan, dan terbentuknya Kelompok Sadar Kamtibmas (Pokdarkamtibmas) di tiap kelurahan dan desa.

Lima langkah yang mesti dilakukan oleh Polri diatas akan makin menegaskan pencitraan positif Polri di masyarakat. Terlepas dari dinamika politik yang terjadi, Polri harus segera mempercepat jalan bagi penataan dan reformasi internalnya, jika tidak, Polri akan masuk dalam lingkaran institusi negara yang tidak responsif dengan tuntutan dan harapan masyarakat. Ini berarti akan makin menjauhkan Polri dari masyarakat dan realitas. Dan momentum HUT Bhayangkara ke-60 dapat dijadikan refleksi dan perenungan: Quo Vadis Reformasi Polri?