Sebagai respon positif kemudian lahir Tap MPR/VI/2000 dan Tap MPR/VII/2000 tentang pemisahan dan peran kedua lembaga tersebut dengan menempatkan TNI di bawah Departemen Pertahanan, khusus Polri berada langsung di bawah Presiden. Tindak lanjut dari keluarnya kedua Tap MPR tersebut adalah dikeluarkannya UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan UU No. 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara, yang berkaitan juga dengan peran dan posisi TNI dalam peran perbantuannya pada Polri. Penataan kelembagaan Polri sebagai bagian dari pemisahan dan diberikannnya kembali kemandirian dan otonomi pada operasional dan pembinaan menjadi satu tantangan serius bagi Polri. Berbagai permasalahan yang mengikuti perubahan besar tersebut, bentrokan antara anggota Polri dengan anggota TNI juga marak. Hal ini terkait pada pengembalian kepercayaan diri Polri, tidak lagi menjadi bayang-bayang TNI, sebagaimana yang terjadi di masa lalu.
Penanganan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat tidak lagi dilakukan dengan pendekatan militeristik, tapi lebih persuasif. Dengan mengedepankan pendekatan personal yang lebih manusiawi, membuat Polri perlahan tapi pasti menjadi bagian dari masyarakat sipil. akan tetapi, harus diakui bahwa meski telah berpisah dari TNI, namun watak militerisme masih menjadi suatu permasalahan yang serius. Dengan berbagai situasi dan kondisi, Polri terus melakukan perubahan yang signifikan dengan mengedepankan penghargaan pada hak asasi manusia (HAM), sebagaimana yang termakhtub dalam UU No. 2 Tahun 2002.
Kasus kekerasan fisik yang terjadi di Akademi Kepolisian (Akpol) Semarang menjadi satu penegas bahwa budaya militerisme masih menjadi bagian dari pedidikan di lingkungan Polri. Bisa jadi hal tersebut merupakan satu penyimpangan dari implementasi pendidikan Polri yang sudah menitikberatkan pada demokrasi dan HAM setelah memisahkan diri dari TNI. Penyimpangan tersebut dapat dipahami, mengingat setelah lebih dari 30 tahun tersubordinat TNI. Namun demikian masih menjadi pertanyaan besar apabila melihat lebih dari enam tahun terpisah dari TNI, seharusnya Polri mampu mengimplementasikan pendekatan sipil yang menjadi pencitraan Polri pasca pemisahan tersebut.
Tulisan ini akan membahas tentang upaya untuk mereduksi budaya militerisme dalam pendidikan Polri. Hal ini diasumsikan sebagai bagian untuk mencegah sedini mungkin prilaku menyimpang dari anggota Polri untuk mempraktikkan budaya militerisme dalam tugas operasional keseharian. Sehingga Polri yang profesional, dan memiliki pencitraan yang baik sebagaimana yang kita damba akan terwujud.
Prilaku Menyimpang dan Pencitraan Polri
Hubungan antara polisi dan masyarakat di negara berkembang dalam banyak kasus ternyata memberikan satu persfektif baru bagi penataan kepolisian di Indonesia. Yang menarik, terlepas dari hal tersebut, ternyata hubungan antara masyarakat dengan polisi di negara berkembang selalu berkaitan denagn berlatar belakang sistem politik dan pemerintahan. Keberadaan kepolisian di banyak negara, khususnya negara berkembang masih dilingkupi oleh semangat militeristik.
Dalam perspektif Satjipto Rahardjo, esensi dari kepolisian adalah bagian dari sipil dan menjalankan fungsi-fungsi penegakkan hukum, sebagai bagian dari fungsi kepolisian. Dalam pengertian sesungguhnya bahwa keterkaitan antara peran dan fungsi kepolisian dengan masyarakatnya khususnya di negara berkembang dikaitkan pula dengan sistem politik dan pemerintahan suatu negara. Di Malaysia misalnya, karena tata kelola administrasi dan manajemen kepolisiannya baik, maka hampir tidak ditemukan kendala yang serius keterkaitan hubungan antara kepolisian dengan masyarakat. Sementara di Filipina, proses yang sama seperti di Indonesia juga terjadi, di mana budaya militeristik dari kepolisian tersebut memaksa perubahan format dari kepolisian daerah/otonom menjadi kepolisian nasional. Yang menarik, meski pola hubungan antara masyarakat dengan kepolisian berjalan baik, di Filipina masyarakatnya dapat mengontrol kinerja kepolisian mereka melalui komisi kepolisian yang dibentuk sebagai lembaga pengawas dari kinerja kepolisian negara tersebut.
Sementara Eric Fromm mengatakan bahwa faktor masyarakat akan mampu membuat individual yang ada di dalamnya terbawa ataupun hanyut dalam pilihan-pilihan yang tidak umum dengan kesenangan dan insting pribadi yang membuat anggota polisi berprilaku menyimpang, Ini terjadi karena secara umum kondisi lingkungan di sekitarnya tidak sesuai dengan harapan yang diinginkan anggota polisi tersebut. Dalam banyak kesempatan Fromm menyatakan bahwa kondisi tersebut disebabkan karena individual, dalam hal ini anggota polisi relative terasingkan dari masyarakat sekitar akibat dari pilihan-pilihan hidupnya.
Fogelson melihat bahwa perasaan merasa lebih rendah dan menganalogikan diri menjadi bagian dari kasta terendah dalam strata masyarakat, karena anggota polisibekerja membersihkan hal-hal yang kotor di dalam masyarakat menumbuhkan semangat yang pada akhirnya mendorong anggota Polri bertindak dan berprilaku menyimpang dari norma-norma sosial yang ada. Ia menyebutkan bahwa efek dari perasaan menjadi bagian yang terendah dalam masyarakat (Paria Kompleks) karena melakukan hampir segala hal yang kotor yang ada di masyarakat mengarah kepada tiga hal. Pertama, perasaan tersebut mampu menstimulasi psikologis anggota polisi untuk menerima situasi dan kondisi yang dihadapi, dan menjadikan situasi tersebut sebagai cerminan untuk menjalankan fungsi-fungsi kepolisian. Kedua, perasaan paria kompleks tersebut mendorong ketidakpuasaan yang akut di anggota, sehingga mengarah kepada tuntutan kompensasi, baik politik, maupun ekonomi agar secara institusi maupun perorangan anggota polisi dapat sejajar di mata masyarakat. ketiga, perasaan paria kompleks juga mendorong anggota kepolisian untuk bertindak anarkis sebagai bentuk pelampiasan karena beban kerja yang tidak menyenangkan. Bentuk pelampiasan tersebut biasanya mengarah kepada tindakan melawan hukum, apakah melakukan pembekingan terhadap perjudian, ataupun yang lainnya.
David L. Carter mengungkapkan bahwa penyimpangan polisi, dengan menyalahgunakan wewenang yang dimiliki akan mendorong terjadinya pemudaran wibawa polisi. Memudarnya wibawa polisi akan mengarah kepada suatu instabilitas keamanan, yang bukan tidak mungkin akan mendorong tindakan anarkis. Memudarnya wibawa polisi ini sama artinya menyeret kembali Polri kembali ke dalam situasi yang tidak menguntungkan.
Dalam konteks kekinian memudarnya pencitraan dan wibawa Polri salah satunya disebabkan oleh prilaku militeristik dalam menjalankan tugas. Hal ini terkait dengan masih bercokolnya budaya militeristik dalam ’rahim’ pendidikan di Polri, bisa jadi pada pendidikan tingkat lanjut seperti PTIK, Lemdiklat, SESPIM POLRI, ataupun SESPATI POLRI hal tersebut kecil sekali ditemukan. Namun bila dikaji lebih dalam, khususnya pada pendidikan tingkat dasar seperti pada Sekolah Polisi Negara (SPN), dan Akedemi Kepolisian (Akpol) maka watak dasar militeristik dalam pendidikan tersebut akan sangat kentara. Penyimpangan prilaku anggota Polri bukan saja disebabkan karena keterbatasan materi dan kurangnya kesejahteraan anggota, melainkan lebih dari itu, penanaman watak dan budaya militeristik pada pendidikan dasar menjadi satu sumber dari prilaku menyimpang anggota Polri, khususnya pada tindakan kekerasan yang melawan prinsip dasar demokrasi dan HAM.
Bila dikaji lebih dalam ada tujuh prilaku menyimpang Polri, baik yang terkait dengan tindak kriminalitas maupun yang bertentangan dengan prinsip dan nilai demokrasi dan HAM. Pertama, sikap dan prilaku anggota Polri di masyarakat yang menampilkan kesan ’sok jago’ dan melakukan tindakan penekanan agar masyarakat takut dan oknum anggota Polri tersebut mengambil keuntungan pribadi.
Kedua, oknum anggota Polri melakukan pemerasan, dalam bentuk pembodohan penjeratan pasal-pasal terhadap masyarakat pada berbagai kasus kriminalitas, agar masyarakat memberikan materi dalam bentuk uang ataupun dalam bentuk lainnya.
Ketiga, pembekingan perjudian dan tindakan melawan hukum lainnya. Hal ini dilakukan oknum anggota Polri untuk memperkaya diri sendiri, dengan asumsi membiarkan perjudian berkembang, namun sesekali melakukan razia atau penggrebekan untuk mengelabui atasannya dan membangun posisi tawar oknum tersebut pada pengelola tempat perjudian ataupun prostitusi lainnya.
Keempat, oknum anggota Polri melakukan tindakan melawan hukum berat seperti perampokan, dan pembunuhan. Penyimpangan prilaku ini sangat berat, karena oknum anggota Polri tersebut telah memosisikan dirinya sebagai pelanggar hukum, dan melawan hukum, yang seharusnya ditegakkan.
Kelima, penyimpangan terhadap visi dan misi serta doktrin Polri seperti pada tindakan kekerasan terhadap tahanan, pengunjuk rasa, serta aktivitas kekerasan lain yang dipraktikkan dalam operasional lapangan. Dalam kasus ini sesungguhnya Polri telah menyusun berbagai protap yang memagari agar Polri tidak lagi menggunakan pendekatan kekerasan dalam menjalankan tugasnya. Sehingga dalam konteks ini dapat dilihat bahwa penyimpangan pada prosedur yang telah ada menjadi penegas sejatinya budaya militerisme tersebut belum benar-benar hilang.
Keenam, berupaya mempraktikkan pola dan langkah yang seharusnya ditinggalkan oleh Polri ketika memutuskan berpisah dengan TNI, yakni melakukan pengintelan terhadap anggota DPR, terkait dengan isu yang berkembang saat itu tentang impor beras dari Vietnam, di mana anggota DPR dari PDI Perjuangan dan PKS, serta berbagai pola yang sama sekali bertentangan dengan esensi Polri sebagai polisi profesional.
Dan ketujuh, terlibat atau dilibatkan dalam politik praktis. Meski dalam kasus ini Polri cenderung pasif, tapi dalam berbagai kasus sejak Polri berdiri upaya untuk membangun posisi tawar dengan terlibat dalam politik praktik juga terjadi. Kasus terakhir misalnya keterlibatan Polri dalam konflik antara Abdurrahman Wahid, yang ketika itu sebagai presiden dengan DPR.
Ketujuh prilaku menyimpang tersebut sejatinya tidak perlu terjadi apabila implementasi dari esensi Polri sebagai polisi sipil yang profesional dalam menjalankan tugasnya. Penyimpangan prilaku ini pula yang membuat pencitraan Polri di mata masyarakat tidak kunjung membaik. Berbagai permasalahan dan tantangan yang seharusnya direspon dengan baik oleh Polri justru menjadi bumerang bagi Polri sendiri. Pencitraan yang kurang baik ini pulalah yang mendorong berbagai upaya dari Polri untuk menegakkan aturan dan hukum. Berbagai sangsi agar ada efek jera bagi oknum anggota Polri yang berprilaku menyimpang mulai dari teguran lisan, teguran tertulis, sanksi adiminstratif, hukuman badan, hingga pemecatan. Akan tetapi apa yang dilakukan oleh Polri belum sepenuhnya berhasil, hal ini terkait pada esensi pendidikan awal Polri yang masih belum bebas dari budaya militerisme. Sehingga diperlukan kebijakan yang strategis untuk mereduksi, dan pada akhirnya menghilangkan sama sekali budaya militerisme dalam pendidikan Polri disemua tingkatan.
Internalisasi Demokrasi dan HAM dalam Pendidikan Polri
Mengacu pada UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, khususnya pada Pasal 4 yang menegaskan bahwa tugas Polri harus menjunjung tinggi HAM, serta esensi dari nilai dan prinsip demokrasi. Kesadaran yang dibangun oleh anggota Polri baru terbatas pada semangat eforia terpisah dari TNI, belum pada pengembangan sikap dan watak polisi sipil, yang menjunjung tinggi HAM, dan mempraktikkan esensi nilai dan prinsip demokrasi. Hal ini perlu dipertegas agar pencitraan Polri makin baik di mata masyarakat, dengan begitu akan makin memudahkan kinerja Polri dalam tataran yang lebih strategis.
Pemahaman anggota Polri terhadap demokrasi dan HAM sendiri masih harus dipertegas dalam bentuk contoh prilaku berlapis, dari mulai atasan yang paling tinggi hingga yang paling rendah. Secara prinsip hal ini relatif efektif ketimbang menggembar-gemborkan pentingnya demokrasi dan HAM dalam bentuk tertulis ataupun lisan. Akan tetapi bukan berarti pemberian materi tentang demokrasi dan HAM tidak ada, namun harus dikombinasikan dalam praktik keseharian di lapangan, apakah dalam bentuk kesetaraan di dalam kelas ketika memberikan materi, hingga kebebasan dalam mendebatkan berbagai materi yang disampaikan antara peserta didik dengan pengajar. Sebab tanpa contoh-contoh yang bersifat konkret, maka esensi nilai dan prinsip demokrasi serta HAM hanya akan menguap seiring selesainya pendidikan dari peserta.
Ada lima upaya yang harus dilakukan oleh Polri agar mampu mereduksi budaya militerisme dan mengedepankan budaya sipil yang sarat dengan nilai dan prinsip demokrasi serta HAM dalam pendidikannya, yakni: pertama, esensi nilai dan prinsip demokrasi dan HAM telah diterapkan dalam kurikulum berbagai jenjang pendidikan di Polri, hanya yang perlu ditegaskan dalam pelaksanaan pendidikan tersebut adalah mengedepankan atmosfir akademik yang lebih memudahkan proses belajar-mengajar. Khusus untuk pendidikan dasar seperti di Akpol, dan SPN, dibutuhkan pendekatan pengajaran yang lebih menetralkan asumsi dasar awal siswa Akpol dan SPN tentang Polri yang sama dengan TNI.
Kedua, mengembangkan budaya sipil dalam pendidikan di Polri. Budaya sipil yang diasumsikan di masa lalu yang tidak teratur, tidak disiplin, dan lain sebagainya harus pula direduksi. Sebab, dengan mengedepankan budaya sipil yang sesungguhnya, maka Polri telah mempelajari lebih mendalam artikulasi pendidikan yang mengedepankan nilai dan prinsip demokrasi serta HAM.
Ketiga, mengefektifkan komisi etika dan disiplin di tiap tingkatan pendidikan Polri. Komisi etika dan disiplin ini, tidak hanya mengurusi soal kedisplinan siswa di tiap pendidikan Polri, tapi juga memonitor sejauhmana perubahan prilaku siswa selama menjadi peserta didik. Sehingga Polri sebagai institusi dapat terus memonitor anggotanya ketika bertugas di lapangan. Artinya rekam jejak yang dimiliki Polri dapat menjadi satu acuan bagi kontrol dan pengawasan terhadap kemungkinan penyimpangan prilaku yang terjadi.
Keempat, mengedepankan fungsi kontrol dari Mabes Polri, serta Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dalam pelaksanaan pendidikan Polri di setiap jenjang. Hal ini terkait dengan hierarkis adminstratif, yang memosisikan lembaga-lembaga pendidikan di lingkungan Polri langsung berada di bawah Mabes Polri. Mabes Polri memiliki Dewan Pendidikan dan Latihan (Wandiklat) yang bertanggung jawab menentukan dan memformulasikan kebijakan-kebijakan berkaitan dengan pendidikan dan pelatihan kepolisian harus mampu membangun pengawasan dan kontrol yang lebih efektif. Sementara Kompolnas yang merepresentasikan kontrol masyarakat, juga harus lebih pro aktif melakukan pengawasan terhadap konerja Polri, termasuk pelaksanaan pendikan Polri.
Kelima, bekerja sama dengan lembaga-lembaga pendidikan dan kajian yang konsern terhadap demokrasi dan HAM, dalam bentuk supervisi ataupun terlibat langsung dalam pemberian materi dan praktik tentang demokrasi dan HAM. Biasanya lembaga-lembaga kajian dan pendidikan akan lebih inovatif dalam memberikan pendidikan dan pengajaran, tidak sekedar text by the book, tapi membangun satu kelas interaktif yang dapat memblejeti esensi demokrasi dan HAM serta praktiknya.
Penutup
Polri yang profesional tanpa budaya militerisme merupakan dambaan masyarakat. Sebab mengedepankan pendekatan sipil menjadi satu upaya yang belum maksimal dilakukan oleh Polri. Konsep Perpolisian Masyarakat (Community Policing) secara harfiah juga belum mampu dijadikan ’produk unggulan’ bagi Polri untuk membangun citranya di masyarakat. Sehingga menata SDM Polri yang mampu menanggalkan budaya militerisme menjadi pilihan agar sedari dini SDM Polri telah terbebas dari budaya militerisme yang mengganggu esensi reformasi Polri.
Dan penataan agar lembaga pendidikan di Polri tidak memproduksi aktor-aktor pelanggeng militerisme di Polri yang tengah membangun pencitraan lembaganya sebagai polisi sipil menjadi satu keharusan bagi Polri agar tujuan awal dari reformasi Polri, dan alasan pemisahan Polri dari TNI menjadi makin kuat dan kentara.
DAFTAR PUSTAKA
Bachtiar, Harsya W. 1994. Ilmu Kepolisian. Jakarta:Grasindo.
Baldwin, Robert and Richard Konsey. 1982. Police Power and Politics. Disadur
oleh Kunarto. Kewenangan Polisi dan Politik. Jakarta: Cipta Manunggal.
Colombijn, Freek, and J. Thomas Linblad (eds). 2002. Roots of Violance in
Indonesia. Singapore: Institute of Asian Studies
Djamin, Awaloedin (et al.)1995. Manajemen Sumber Daya Manusia: Kontribusi
Teoretis Dalam Pembinaan dan Pengembangan Personel di Lingkungan Polri. Lembang: Sanyata Sumanasa Wira
——–, Administrasi Kepolisian RI: Kenyataan dan Harapan. Lembang: Sanyata
Sumanasa Wira
——–, 2000. Menuju Polri Mandiri yang Profesional: Pengayom, Pelindung, dan
Pelayan Masyarakat. Jakarta: Yayasan Tenaga Kerja Indonesia.
——–, 2005. Masalah dan Issue Manajemen Kepolisian Negara RI Dalam Era
Reformasi. Jakarta: Yayasan Brata Bhakti
Dahl, Robert. A. 2001. Perihal Demokrasi: Menjelajahi Teori dan Praktek
Demokrasi Secara Singkat. Jakarta: YOI
Ismawan, F. 1993. Menejemen Kepolisian di Indonesia. Lembang:Sanyata
Sumanasa Wira Sespim Polri
Langton, C (ed). The Military Balance: 2005-2006. London: IISS.
Kunarto. 1996. Merenungi Kritik Terhadap Polri. Jakarta: Cipta Manunggal
Mabes Polri. 1999. Reformasi Menuju Polri yang Profesional. Jakarta: Mabes
Polri
——–, 2004. Kajian Grand Strategi Polri Menuju 2025. Jakarta: Mabes Polri
Marpaung, Rusdi. et al. (ed). 2005. Dinamika Reformasi Sektor Keamanan.
Jakarta: Pro Patria
Meliala, Adrianus. 2002. Problematika Reformasi Polri. Jakarta: Trio Repro
——–,(ed). 2004. Evaluasi Peran Polri Dalam Pemilu 2004.Jakarta: Partnership
Mabes Polri. 1999. Sejarah Kepolisian di Indonesia. Jakarta: Mabes Polri.
Nimpoeno, S, Jhon. 1995. Merenungkan Kembali Posisi Strategis Polri.
Lembang: Sanyata Sumanasa Wira Sespim Polri
——–, 2006. Psikologi dan Fenomen Massa. Bandung: Psikologi Unpad
Oudang, M. 1952. Perkembangan Kepolisian di Indonesia. Jakarta: Mahabrata
Rahardjo, Satjipto. 2002. Polisi Sipil Dalam Perubahan Sosial di Indonesia.
Jakarta: Kompas
Soedarsono, Teguh. 2006. Community Policing dalam Bingkai Homeland
Security Merupakan Kemampuan yang Perlu Diwujudkan Guna Memerangi Aksi Terorisme dan Kejahatan Lainnya. Lembang: Sespim
Polri
Sukma, Rizal. Et al. 2003. Security Sector Reform in Indonesia: The Military and
The Police. The Neterlands: Netherland Institute of International ‘Clingendael’
Sarlito, W Sarwono. 1987. Polisi dan Masyarakat. Makalah Orasi Ilmiah. Jakarta:
PTIK
Stanley (ed). 2000. Indonesia di Tengah Transisi. Jakarta: Propatria
Sibarani, Santhy M. et al. 2001. Antara Kekuasaan dan Profesionalisme Menuju
Kemandirian Polri. Jakarta: PT. Dharmapena Multimedia
Sitompul, DPM. 2005. Perkembangan Hukum Kepolisian di Indonesia Tahun
1945-2004. Jakarta: Divisi Pembinaan Hukum Polri
——–,(ed). 1993. Beberapa Profesor Berbicara Tentang Polisi. Lembang:
Sespim Polri
——–,1997.Tugas Polri dan Hukum Pidana Internasional. Lembang: Sespim
Polri.
Tabah, Anton.2005. Melalui Scientific Crime Investigation Jenderal Da’i Bachtiar
Menangani Kasus-kasus Bom di Indonesia. Jakarta: Cintya Press
Yunanto, Sri. Et al. 2005. Evaluasi Kolekstif Reformasi Sektor Keamanan di Indonesia: TNI dan Polri. Jakarta: The RIDEP Institute-FES
B. Media Massa, Jurnal, Majalah, Paper Tidak Diterbitkan
Bulettin Polisi Sipil. Edisi September 2005 dan Januari 2006. Terbitan The RIDEP
Institute. Jakarta.
Indonesian Police Reform. Edisi Mei dan Juli 2005. Terbitan The
RIDEP Institute. Jakarta
Pratikno. ”Kultur Polri Berorientasi Publik”. 23 September 1999
Widoyoko, Danang. ”Catatan Atas Kinerja Kepolisian Dalam Pemberantasan
Korupsi”. Tanpa tahun.
Widodo Umar, Bambang. ”Analisis Terhadap Penerapan UU No. 2 Tahun 2002
Tentang Polri”. Tanpa Tahun.
——–, ”Polisi Dalam Konteks Perubahan Sosial” 26 Maret 2005.
28 comments
Comments feed for this article
December 17, 2007 at 6:10 am
espri
Tulisan ini menjiplak dari pengarangnya di website Ikapraya , Ikatan Keluarga Besar Alumni Pratisaryawirya, alumni Akpol tahun 1992, harusnya dicantumkan dong siapa pengarangnya..
December 31, 2007 at 1:55 am
muradi
Buat espri: wah itu tuduhan berat tuh. ini tulisan saya murni dan orisinal yang pernah dimuat di dalam Jurnal Sespim Polri edisi September 2006. aku mau kok dikonfrontir dengan penulis yang anda maksudkan. bahwa ini memang hasil karya saya. perlu juga diketahui bahwa tulisan yang ada di blog ini semuanya pernah dimuat di jurnal, majalah, medua massa serta beberapa seminar baik dalam dan luar negeri. perlu anda ketahui bahwa banyak dari tulisan ini dikutip oleh blog-blog angkatan di Polri maupun TNI, jadi bisa jadi sebaliknya. saya tunggu kabarnya.
March 22, 2008 at 7:46 am
philip
benarkah ini semua apakah ini hanya permaini oknum dalam saja dan apakah
menjadi bukti yang benar2
dan apa bila terjadi pengakuan2 yg seperti itu saya aka menindak lanjuti semua
March 24, 2008 at 6:08 am
muradi
Buat Philip: Nggak Ngerti maksudnya????????
April 10, 2008 at 1:26 am
asri
menurut saya jarang polisi yang bisa nulis, jadi kemungkinan persamaan maksud isi makalah , mungkin justru polisi yang njiplak. coba menulis untuk perubahan polri sendiri, tidak seperti para jendral yang nulis kala sudah pensiun, gak ada pengaruhnya. kalo nulis saat berkuasa terapkan gagasan yang baik itu , jangan hanya mencari kekayaan saja.
April 10, 2008 at 4:32 am
muradi
Buat Asri: sebenarnya tidak juga. aku banyak kok korespondensi dengan perwira polisi yang bagus tulisannya. hanya saja permasalahannya bukan bisa nulis atau tidak tapi tuduhan dan property right saya digugat. yah jadi saya dengan senang hati untuk ngajak espri ketemu dan membuktikannya; apakah tuduhan tersebut benar atau tidak. karena saya punya bukti hardcopy-nya dari jurnal Sespim edisi September 2006,tinggal diujimaterikan saja. sayangnya sampe sekarang espri nggak ada respon. btw, terima kasih sudah memberikan dukungannya.
salam kenal.
July 9, 2008 at 1:29 am
trunoyudo
banyak tulisan yang saya baca seluruhnya tentang pengharapan profesionalisme kepolisian, berarti semakin banyak kritik dan harapan tentu Polri masih diidam idamkan kearah yg lebih baik, faktor2 yang mempengaruhi penegakan hukum banyak juga seperti yang saya pernah baca 1. Undang-undang atau peraturan itu sendiri, 2. aparat penegak hukum, 3. sosial budaya, 4. masyarakatnya sendiri dan 5. sarana dan prasarana, nah dari semua yang saya dapati kita ketahui pelayanan sdh lbh baik namun masih kurang di perlindungan dan pengayoman, saya juga mencoba mencari responden ttg tulisan pengawasan, semua konsep bagus namun pelaksanaan tanpa pengawasan susah juga.
July 9, 2008 at 9:11 am
muradi
Buat Trunoyudo: yah ada dua fakta yang harus ditegaskan, yakni: pertama, kritik dan masukan dari masyarakat terhadap kinerja polisi karena mereka sayang dan mendamba polisi yang mampu melindungi mereka dari segala ancaman.kedua, kritik dan saran tersebut belum sepenuhnya diartikulasikan oleh internal polri sebagai bagian dari skema membangun polri profesional.
anyway, thank masukannya. salam kenal.
mrdc
August 10, 2008 at 8:53 am
ARMAN
mas…..ini jiplak tulisan Dr.Chrisnanda ya?
August 19, 2008 at 11:16 pm
muradi
Buat Arman: wah ini tuduhan berat, tulisan ini sudah dipublikasikan di Jurnal Sespim Bandung, september 2006, masa saya mau jiplak tulisan pak crisnanda, yang saya kenal. kalo perlu saya mau kok dikonfrontasi dengan pak crisnanda soal tulisan ini beserta bukti2nya. dengan anda sebagai saksinya.
salam kenal,
muradi
August 20, 2008 at 1:23 pm
sansay
buat saya doktrin polisi adalah istilah yang sangat klasik jika ingin dijadikan sebuah alasan perubahan, kenyataanya tidak ada perubahan. Kompolnas di ciptakan hanya sebagai penetralisir penyimpangan kepolisian atau oknumnya di hadapan publik saja, kenapa, didalamnya berisikan mantan petinggi polri, dan kakitangan Polri di masa lalu sebagai layaknya masyarakat umum yg peduli thd perubahan Polri, cengkaraman Polri ke arah penguasaan Opini Publik mulai tercipta demi memperbaiki Citra, tetapi apalah arti itu semua jika tdk diiringi dengan perubahan sesungguhnya, karena selama ini hanya sebagai pengalihan permaslahan, pencegahan penyebaran aib, tidak mengedepankan perubahan paradigma dan gaya Polisi Demokrasi yang diharapkan masyarakat, penyelesainnya Polri harus berada di bawah departemen. dan perlu kita tahu selama ini Polri memanfaatkan “Money Politik” dalam menyukseskan kepentingannya termasuk di DPR. karena Polri mampu dan mendapat dukungan yang tak terbatas dari Luar negeri. Kemampuan Polri mencari dana di luar APBN perlu di ancungi jempol, sehingga bisa bergerak sesukanya.
August 26, 2008 at 11:22 pm
muradi
Buat sansay: salut dengan komentar anda bung!!!!
salam
September 7, 2008 at 5:17 pm
toniy
tulisannya bagus …
ada satu hal yang sangat mengganggu saya tentang pola didik dan pola rekrumen Polri yaitu masih berpedomannya dengan sistem kasta yang identik dengan militer ada akpol dan ada caba, kenapa tidak 1 pintu dengan kriteria diatas standar lebih baik tidak ada akpol menurut saya, yang saya lihat lebih menonjol ekslusifitasnya daripada kualitasnya kemudian pola pembinaan dan perawatan karier yang bukan berasas pada kebutuhan dan profesionalisme tetapi pada kedekatan dan ketenarannya saja, dan terakhir kesadaran para perwira dari angkatan tertentu/ eklusif dengan menonjolkan diri baik melalui kendaraan pribadi ataupun kemewahan lainnya bagaimana mereka mau menjadi contoh dimasyarakat kalau menjadi contoh bagi anak buahnya saja tidak bisa,
salam
September 7, 2008 at 5:27 pm
toniy
reformasi seutuhnya bagi polri adalah keluar dari kubangan militerisme dan melakukan perubahan radikal dengan orientasi hasil pada masyarakat sehingga ” to protect and to serve ” dapat terwujud dengan sempurna, hal tersebut dimulai dari pola rekrutmen dan pendidikannya lalu dilanjutkan perawatan yang menyangkut karir sehingga setiap anggota bisa menduduki jabatan apa saja kalau mereka memang mampu dan profesional, bagaimana mau menimba ilmu kepolisian dan tidak banyak pelanggaran baik prosedural ataupun HAM kalau pelatihan yang mereka dapat belum tentu 5 tahun sekali.
September 10, 2008 at 2:55 am
muradi
Buat Toniy: apa yang anda ungkapkan sebenarnya menjadikeprihatinan umum kita semua. sehingga harapan ke depan Polri akan menjadi institusi yang mampu menjadi garda terdepan dari penegakan hukum di Indonesia.
salam kenal
November 29, 2008 at 12:10 pm
champs
saya sangat bangga dengan intitusi polri dimana dalam pelakasanaan tugas siang dan malam jarang mendapatkan pujian….. buat para komentator perlu diingat namanya proses perubahan itu perlu tahapan gak semudah menggoreng kerupuk,.. apalagi merubah kultur yang bukan perseorangan tp institusi … maju terus polri pantang mundur…ingat org berjalan lihat kedepan jgn lihat keblkng nanti kecelakaan…berantas judi…berantas teroris..berantas koruptor…serta layani dan ayomi masyarakat.
December 16, 2008 at 12:12 am
muradi
Buat Champs: saya setuju bung dengan proses yang tengah berlangsung di internal Polri. hanya yang perlu diingat adalah bagaimana proses internal tersebut dapat berlangsung dengan baik. para komentator dan kolumnis ini hanya mengupayakan bagaiamana proses tersebut dapat berlangsung dengan efektif dan terarah.
salam,
December 16, 2008 at 2:29 pm
hari
Tidak lain dan dan tidak bukan…
Polisi baiknya berada di bawah departemen strategis tertentu yang akan merumuskan pola kultur Polisi kedepan…agar menjadi lebih fokus dan profesional.
Ada pelajaran menarik untuk kasus yang hampir serupa…dalam upaya membuat lebih profesional, bisnis2 TNI mulai dari identifikasi, audit, kemudian diambil alih oleh negara telah diatur oleh tim dari dephan, sebagai departemen strategis…pengadaan persenjataan saat ini diajukan melalui satu pintu yakni dephan, TNI bisa mengusulkan sesuai spesifikasi yang dibutuhkan. begitu juga masalah peradilan militer yang saat ini masih di bahas, juga dilakukan oleh dephan…
Jadi TNI hanya bertugas : bagaimana berlatih meningkatkan diri menjadi tentara professional…menguasai taktik perang (baik konvensional maupun non konvensional), menguasai persenjataan, penghancuran musuh, pertahanan.
Saya konsep yang sama harus diterapkan untuk kepolisian…ada departemen yang merumuskan dan membuat kebijakan strategis, proyeksi kebutuhan anggaran, bagaimana membentuk postur Polisi ideal, bagaimana merumuskan Polisi yang mampu menghadapi tantangan jaman : penyelidikan, penyidikan…bagaimana membuat kurikulumnya, membuat kebijakan modernisasi peralatan agar kita kalau ada uji barangbukti&identifikasi : uji balistik, uji kejahatan elektronik, forensik (dalam kasus tertentu) tidak perlu lagi mengirimnya ke luar negeri.
Dan tugas Polisi sebagai lembaga operasional, tentu saja berlatih, meyiapkan dan meningkatkan SDM handal, meningkatkan kualitas penyidikan (agar jangan ada kasus salah tangkap lagi), meningkatkan kualitas BAP (agar jangan ada BAP yang ditolak oleh kejaksaan dan persidangan), kerjasama teknis dengan Polisi LN, dan profesional sebagai pelindung dan pelayan masyarakat.
Hanya saja pertanyaannya, beranikah negara dalam hal ini pemerintah berbuat demikian?
December 22, 2008 at 12:52 am
CYBERLINGLUNG
Polri, sebuah institusi/ kelompok yang lahir dari kelompok yang besar ( negara/ daerah). Mereka yang ada dalam institusi tersebut sangat terpengaruh oleh daerah dari mana mereka berasal. Militer, apa itu meliter. Bila dijawab identik dengan kekerasan, maaf. Sangat naiflah bila militer itu identik dengan kekerasan. Yang diperlukan disini adalah perbaikan sistem secara nasional. Mulai dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat. Jujur, masalah pendidikan, ekonomi, sosial, budaya dan masih banyak lagi yang oerlu diperbaiki. Lahirnya seorang anggota Polri tidak terlepas dari hal tersebut diatas. Bagaimana sewaktu dirumah, sewaktu disekolah dan sewaktu ia berinteraksi di lingkungannya.
Pilihlah mereka dari latar belakang ( keluarga, sekolah dan lingkungan) yang baik dan benar. Didiklah ia oleh orang-orang yang baik dan benar pula. Perlihatkan ia akan hal-hal yang baik dan benar. Saya yakin institusi Polr akan kuat dan disayangi oleh rakyat Indonesia dimanapun ia berada.
Untuk Mr. Muradi terima kasih.
January 21, 2009 at 6:10 am
h.amink bz
setuju sekali bung muradi atas komentarnya tentang Polri, untuk merepormasi Polri kedepan memang diperlukan fungsi pengawasan yang melekat,tapi tidak pandang bulu, bukannya melekat malah berjamaah dalam setiap hasl pelanggaran ataupun lahgun, buat ASRI mengenai kata-katanya “”menurut saya jarang polisi yang bisa nulis, jadi kemungkinan persamaan maksud isi makalah , mungkin justru polisi yang njiplak. coba menulis untuk perubahan polri sendiri, tidak seperti para jendral yang nulis kala sudah pensiun, gak ada pengaruhnya. kalo nulis saat berkuasa terapkan gagasan yang baik itu , jangan hanya mencari kekayaan saja.””saya kurang setuju dengan pendapat ini, yang ada saudar/ri hanya mengedepankan emosi semata tanpa melihat kedepan,polisi ada istilah jasa tak terhimpun dosa tak terampun, nahhh mungkin sdr/ri adalah salah satu yang sakit hati oleh istilah dosa tak terhimpun heheh trimss.salam kenal.
February 12, 2009 at 9:53 pm
muradi
buat hari, Cyberlinglung, dan Amink: terima kasih komentarnya, sangat mencerahkan dan membuat saya makin yakin bahwa kita semua menginginkan Polri sebagai institusi profesional!
salam kenal bung
February 27, 2009 at 2:58 am
arri
Reformasi polisi hanya sekadar slogan aja, tidak ada niatan dr para pimpinan Polri baik di pusat maupun daerah untuk membuat organisasi Polri semakin baik. Memang betul karya tulis ttg polisi banyak yg ditulis oleh pr pejabat yg telah pensiun krn saat menjabat tetap mewarisi tradisi lama, penasehat Polri pun kadang tdk didengar nasihatnya, sehingga reformasi hanya setengah hati. Coba cek aja deh di daerah, apa sudah ada transparansi pasca seleksi pendidikan? pasti tidak ada. Sudahkah pejabat di daerah tidak menjadikan Satlantas sbg dapur organisasi? pasti belum..Jadi dimana reformasinya?
March 3, 2009 at 10:30 pm
muradi
bisa jadi ada benarnya, hanya apa yang dilakukan oleh Polri jangan dianggap tidak ada. secara pelembagaan mereka sudah lebihbaikdibandingkan10tahun yang lalu. bahwa kemudian masih ada yang kurang yah itu semua dalam proses. anyway terima kasih atas komentarnya….
salam
November 2, 2009 at 11:21 pm
Satyo
secara kelembagaan mereka lebih baik dari 10 thn lalu??
dalam pandangan mereka mungkin iya…
1. lebih independen, tak ada yang kontrol, bebas pungut sana dan sini
2. dapat bantuan dari AS
kewenangan yang berlebihan akan cenderung korup.
merasa diri paling benar dalam menafsirkan hukum dan mengimplementasikan…
February 27, 2010 at 12:06 am
rizma
pak,,kalau untuk pendidikan polri saat ini bagaimana?kan sudah banyak perbaikan.
saya sedang mencari referensi untuk skripsi.mohon bantuan apabila bpk tau buku ataupun tulisan yang berkaitan dengan itu. terimakasih
May 2, 2010 at 12:02 am
arri
mas mur, pendidikan Polri kalo mnrt sy tergantung euforia pejabat yg diserahi tgs utk menindaklanjuti dinamika perkembangan Polri. Polri lbh suka mengutak-atik persyaratan masuk pendidikan itu sendiri ketimbang memanfaatkan hasil didiknya, coba liat saja berapa banyak intelektual Polri yg disia-siakan? Yg “beruntung” malah mendptkan kedudukan yg cukup strategis ketimbang yg “intelek”….jd wajarlah kalo smua konsep hanya bagus di tulisan, tapi pd pelaksanaannya sama aja…kalo yg konsisten, pendidikan mulai dari dasar (Akpol, PPSS) sampe pengembangan (PTIK, Selapa, Sespim, Sespati, Lemhanas) smua peserta didik yg berkualitas dipantau terus (kan SDM punya CV-nya), diberi jbtn dan kontrak integritas yg sesuai dgn kualitasnya, mgkn Polri akan lbh profesional gak abal-abal, memang susah sih mengelola SDM kalo tidak ada 3K (Komitmen, Konsisten, Konsekuen)….ini sekedar opini lho mas…
May 3, 2010 at 9:59 am
muradi
saya setuju, makanya keberadaan pendidikan itu pintu gerbang menuju perbaikan yang hakiki.masalahnya emang kembali pada yang anda sebut sebagai 3 K, itu. semua masih dalam labirin permasalahan yang sama setelah hampir sebelas tahun berpisah dari militer. semoga ini menjadi koreksi yang serius bagi pimpinan Polri.
anyway, thanks komentarnya!
August 14, 2011 at 3:39 am
x-men
Sebenarnya mengenai pola didik dan kepangkatan Polri..saya setuju dengan model Jepang dan US. Di sana pangkat Polisi tidaklah sekompleks militer dan Jenderalnya pun itu sedikit (apalagi PNS-nya)…Kenaikan pangkat anggota polisi dikarenakan ybs punya prestasi, bkn hanya reguler (dg nilai kesemaptaan yang bisa diperjual belikan spt skr). Pangkat Polisi diluar itu hanya agen polisi, kopral, sersan, letnan, kapten dan komisaris serta komisioner (setingkat Pati). Namun tidak rinci spt tentara.
Skr pun sistem ini merambah kepada militernya namun lebih mengarah kepada kecabangan anggota (spesialisasi). Di US dan Inggris, seorang tamtama senior dan bintara (mulai sertu) harus punya spesialisasi dan tidak dapat naik pangkat kalau tidak benar2 menguasai bidangnya. Kl di sini khususnya Polantas…….kl buku tilang sehari bisa abis 2 buku….djamin cepat naik pangkatnya……….hahahahaahhaa