I.Pendahuluan

Saat krisis ekonomi melanda Indonesia di pertengahan 1997, di dalam tubuh TNI sendiri bahkan sudah memperkirakan akan adanya gelombang kebebasan yang salah satunya akan menggusur pemerintahan Soeharto baru dan Orde Baru. Kegelisahaan ini nyatanya tidak ditangkap secara utuh oleh pimpinan TNI waktu itu, sebab TNI sangat tergantung pada kekuatan politik Soeharto yang dalam hierarki sebagai Panglima Tertinggi ketiga angkatan dan Polri dengan lima bintang. Hal itu ditambah dengan langkah beberapa pimpinan TNI waktu itu yang sangat rapat dengan keluarga Cendana serta pernyataan yang seolah TNI menjadi mesin politik Golkar dan anjing penjaga penguasa Orde Baru.

Sebelum pergantian kepemimpinan di TNI AD dari R. Hartono ke Wiranto sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad), sikap politik TNI yang ketika dipimpin oleh R. Hartono sangat kentara sekali menyokong dan sangat rapat dengan keluarga Cendana serta Golkar. Bahkan pada suatu kesempatan R. Hartono melontarkan pernyataan bahwa anggota TNI merupakan kader Golkar, di mana saat itu ia masih menjabat sebagai Kasad. Tentu saja pernyataan ini mengundang tanda tanya besar tentang proses netralitas TNI yang dimulai oleh Soemitro dan L.B. Moerdani terhadap kekuasaan dan penguasa.

Feisal Tanjung, Panglima TNI ketika itu melihat bahwa krisis ekonomi yang telah mempengaruhi kehidupan social politik masih dapat terkontrol dan belum menyentuh titik rawan yang dapat mengganggu stabilitas nasional. Bahkan TNI menjadi corong dan public relation yang baik bagi pemerintah dengan menyatakan bahwa justru keberhasilan pembangunan ekonomi yang telah meningkatkan harapan dan tuntutan masyarakat, sehingga menimbulkan ketidakpuasaan. Kecaman TNI terhadap unjuk rasa dan isu yang berkembang di saat krisis ekonomi diungkapkan oleh Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI waktu itu, A. Wahab Mokodongan. Menurutnya, aksi unjuk rasa dan berkembangnya isu dan rumor yang menyudutkan pemerintah hanyalah upaya untuk melakukan delegitimasi terhadap pemerintahan yang sah, serta membuat lari para investor.
Uniknya lagi, TNI di lain waktu justru melakukan kritik yang seolah-olah membuat posisi TNI terlihat netral, sebagaimana diungkap oleh Kepala Staf Sosial Politik (Kasospol) TNI, Yunus Yosfiah:

Melihat masalah kesenjangan merupakan salah satu komitmen yang harus segera dilaksanakan untuk memperlihatkan keberpihakan Orde Baru kepada rakyat pendukungnya. Meski diakui bahwa Orde baru cukup berhasil, terutama dalam pembangunan mensejahterakan masyarakat, namun kesenjangan ekonomi, social, dan politik masih cukup menonjol.

Sementara itu juga, menjelang Sidang Umum MPR 1998, TNI secara halus menyatakan bahwa krisis ekonomi dan politik yang melanda ini tidak ditentukan apakah wakil presidennya dari TNI. Ada dua interpretasi dalam melihat sikap TNI untuk menolak TNI seolah-olah menjadi ‘pemadam kebakaran’ dari krisis tersebut. Pertama, pernyataan tersebut diperuntukkan agar B.J. Habibie, yang memang diinginkan Soeharto untuk menjadi Wakil Presiden dapat berjalan mulus. Kedua, pernyataan tersebut dapat diartikan sebagai pembacaan TNI bahwa Soeharto dan Orde Baru berada diambang kehancuran. Sehingga akan lebih aman apabila TNI berada tidak terlalu dekat, dengan kata lain menjaga jarak terhadap penguasa.
Pergeseran posisi ABRI juga terjadi dalam melihat realitas politik yang terjadi. ABRI menyatakan bahwa perubahan politik adalah sebuah keniscayaan, sehingga ABRI berupaya pula untuk mendorong dan mewujudkannya, namun dalam kerangka konstitusional dan gradual:

“Reformasi ataupun perubahan hendaknya tidak diartikan secara total, tetapi secara gradual. Yang salah ataupun yang rusak dari sistem yang sedang berjalan itulah yang mesti diperbaiki, bukan harus dirombak seluruhnya. Mengenai tuntutan masyarakat mengenai perlunya transparansi, demokratisasi, dan good government, ABRI justru mendorongnya, namun tetap dalam kerangka konstitusional”

Pernyataan Yunus Yosfiah seolah mengulang pernyataan dari Menteri/ PANGAD, Soeharto saat menjelang kejatuhan Soekarno terhadap aksi-aksi mahasiswa dan kesatuan aksi lainnya, yang memandang bahwa aksi dan tuntutan mahasiswa ketika itu adalah sebuah realitas yang mesti disikapi dengan bijak. Namun, sejatinya sikap politik TNI saat Soeharto masih berkuasa tidak berubah, tetap menjadi kepanjangan tangan dari pemerintah, sebagaimana yang disampaikan oleh Panglima ABRI, Feisal Tanjung dalam Rapat Pimpinan (Rapim) ABRI tahun 1998, bahwa meningkatnya suhu politik menjelang Sidang Umum MPR , bukan saja sebagai akibat dari manuver politik yang dilakukan oleh golongan kepentingan, tetapi juga disebabkan oleh ulah golongan yang menyusup atau bahkan menunggangi dengan cara mememperkeruh suasana dan kondisi. Hal ini lebih ditujukan kepada usaha untuk merongrong eksistensi pemerintahan yang sah. Bahkan mengarah untuk memecah-belah bangsa. Sementara kebijakan Soeharto sebagai Presiden yang menginginkan agar proses politik yang terjadi mesti konstitusional, meski sama dengan sikap ABRI terhadap proses politik yang terjadi, akan tetapi perintah Soeharto untuk melaksanakan peranan ABRI yang setepat-tepatnya di wilayah social-politik merupakan upaya agar ABRI selalu diposisikan untuk menjadi penjaga dari rejim yang dipimpinnya.

Penegasan sikap politik ABRI terhadap upaya untuk melakukan perubahan sebagaimana yang dituntut oleh masyarakat dikatakan oleh Feisal Tanjung bahwa ABRI selalu menegaskan untuk tetap memegang teguh sikap politiknya guna mempertahankan tegaknya persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, berlangsungnya pembangunan nasional serta terpeliharanya stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Namun, sebagaimana uraian di atas, sejatinya ABRI masih dalam kontrol Soeharto, di mana setiap perintah dan kebijakannya selalu harus dijalankan, meski Soeharto mengatasnamakan negara, seperti saat ia memerintahkan agar ABRI mengamankan Sidang Umum MPR. Adapun perintah tersebut, pertama, meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan yang tinggi, peka dan cepat tanggap terhadap setiap kemungkinan perkembangan negatif yang timbul di masyarakat. Kedua, tindak tegas siapapun yang melanggar dan melaksanakan tindakan inskonstitusional, khususnya aksi-aksi yang mengarah pada disintegrasi bangsa. Ketiga, laksanakan peranan ABRI yang setepat-tepatnya di bidang social politik dengan penuh kearifan. Keempat, mendukung sepenuhnya program-program pemulihan ekonomi yang sedang diusahakan pemerintah. Kelima, ciptakanlah perasaan dan situasi aman bagi masyarakat dan para wakil rakyat yang akan bermusyawarah dalam SU-MPR. Keenam, perkukuh keutuhan ABRI dan jangan mudah terpancing oleh desas-desus.

Sementara itu, disela-sela dinamika politik yang kian memanas, Feisal Tanjung, memasuki masa pensiun dan digantikan oleh oleh Wiranto, yang saat itu menjadi Kasad. Pergantian ini mensiratkan bahwa Soeharto membutuhkan dukungan tentara guna menopang pemerintahannya yang kian hari makin rapuh saja. Harapan Soeharto sangat jelas, selain karena Wiranto merupakan mantan ajudannya, juga karir Wiranto yang cemerlang sejak di Akademi Militer Nasional (AMN). Agaknya harapan Soeharto tidak meleset, hal ini dapat dilihat bagaimana Wiranto langsung melakukan konsolidasi untuk mengamankan proses politik lima tahunan, SU-MPR dan menyatakan bahwa akan ada tindakan tegas bagi gerakan inskonstitusional, sebagaimana yang dikatakan oleh Soeharto di awal:

“Terlalu besar resiko bangsa ini apabila membiarkan pihak-pihak tertentu yang ingin memanfaatkan situasi keprihatinan bangsa ini dengan suatu tindakan yang kurang terpuji yang membahayakan stabilitas nasional. Sebab stabilitas nasional perlu kita tegakkan pada saat atau kapan saja, tapi terutama pada saat bangsa kita menghadapi keprihatinan seperti sekarang ini.”

Di tengah kesibukan ABRI untuk mengamankan agenda politik nasional, Sidang Umum MPR 1998 dari usaha penggagalan, ABRI lebih memilih untuk melanjutkan kebijakan panglima pendahulunya, Feisal Tandjung tentang calon Wakil Presiden yang akan diusulkan oleh Fraksi ABRI pada Sidang Umum MPR 1998. adapun calon Wakil Presiden usulan ABRI sama dengan yang diinginkan oleh Soeharto untuk mengisi jabatan wakil Presiden, yakni BJ. Habibie. Ini artinya juga mensiratkan bahwa Wiranto yang menjadi ‘nahkoda’ baru dari ABRI harus mengamankan keinginan Soeharto untuk mendukung B.J. Habibie sebagai Wakil Presiden.

Dengan demikian secara resmi pula ABRI telah mengumumkan sikap dan pandangan politik ABRI dengan menyampaikan usulan tentang pencalonan presiden periode 1998-2003 adalah HM. Soeharto dan wakil presiden, Prof. B.J. Habibie.
Dalam rangka mengamankan agenda nasional, kebijakan dan langkah ABRI dalam menyikapi ketidakpuasan mahasiswa serta tuntutan yang menginginkan pergantian kepemimpinan nasional berubah. Perubahan ini dapat dilihat pada tawaran ABRI untuk melakukan dialog bagi satu solusi dan menemukan konsep pemikiran yang baik untuk membantu pemerintah memecahkan masalah kebangsaan. Wiranto menandaskan bahwa ABRI harus bersikap pro aktif menggalang ekstra kesabaran dan mendapatkan kembali kepercayaan masyarakat. Wiranto juga menandaskan bahwa ada tiga tujuan dari Dialog Nasional, pertama, dialog ini sebagai wahana guna mencairkan kebekuan komunikasi antara pemerintah dan masyarakatnya. Kedua, sebagai forum curah pendapat secara jujur, terbuka, dan tanpa tekanan serta ketakutan, sehingga diperoleh informasi yang benar tanpa manipulasi. Ketiga, sebagai bagian dari metode untuk bersama-sama seluruh komponen bangsa melakukan analisis guna mendapatkan solusi terbaik agar bangsa ini segera dapat mengatasi krisis.

Upaya yang dilakukan oleh ABRI untuk menampung aspirasi masyarakat dan tuntutan pergantian nasional dengan menyelenggarakan Dialog Nasional antara mahasiswa dan ABRI tidak berjalan sesuai dengan harapan. Keinginan agar dialog dilakukan antara mahasiswa dengan Soeharto sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Soeharto di awal pemerintahannya menurut ABRI sangat tidak realistis. Apalagi langkah yang diambil ABRI merupakan jembatan pula bagi mahasiswa agar aspirasinya dapat ditampung dan kemudian diberikan ke Soeharto. Tak heran apabila dialog yang dilakukan tersebut hanya didatangi oleh aktivis mahasiswa formal yang tidak cukup memiliki tradisi unjuk rasa dan kekritisan sebagaimana yang disuarakan oleh mahasiswa ketika itu. Kepala Sosial Politik (Kasospol) ABRI, Letnan Jenderal TNI. Susilo Bambang Yudhoyono yang ditugasnya menjadi pemimpin tim dialog dari ABRI mendapatkan tantangan yang hebat. Usaha ini dipandang oleh kalangan kampus dan mahasiswa sebagai sebuah usaha yang romantisme, sebab pada tahun 1970, dialog antara mahasiswa dan pemerintah pernah terjadi. Banyak dari kalangan akademisi yang kritis dan mahasiswa melihat langkah yang diambil ABRI sebagai upaya sistematis untuk menyelamatkan pemerintahan Soeharto dan Orde baru dari hujatan dan kemungkinan diturunkan. Susilo Bambang Yudhoyono sendiri mengelak tuduhan kalangan kampus dan mahasiswa tersebut. Ia menyatakan:

“Ada orang yang berpendapat bahwa mendorong ABRI untuk menyelamatkan langkah-langkah atau tindakan yang mereka sebut dengan tindakan yang berani. Perlu saya sampaikan bahwa ABRI itu bertindak sesuai dengan peran, fungsi, dan tugas pokoknya. ABRI bergerak dan bertindak dalam sistem yang dilandasi oleh Saptamarga dan sumpah prajurit.”

Akan tetapi, harus diakui pula bahwa ABRI di bawah kepemimpinan Wiranto banyak melakukan pengkritisan wacana terhadap perkembangan politik. Meski kerap kali Wiranto mengecam berbagai aksi unjuk rasa dan aksi keprihatinan mahasiswa dan masyarakat sebagai tindakan yang mengarah pada aksi inskonstitusional. Akan tetapi sikap politik ABRI dalam Sidang Paripurna SU-MPR 1998 pada penyampaian pendapat akhir oleh Fraksi ABRI, yang melihat bahwa reformasi dan perubahan merupakan kebutuhan dan sesuatu yang tidak dapat terelakkan adalah bentuk dari dukungan ABRI terhadap aspirasi mahasiswa dan masyarakat secara terbuka. Meski begitu, apa yang disuarakan oleh ABRI pada SU-MPR 1998 tersebut setidaknya mensiratkan kegamangan ABRI terhadap proses politik. Di satu sisi, ABRI merasa memiliki hubungan historis dengan Soeharto dan Orde Baru. Sebab ABRI pula yang membangun dan menjadi pondasi pengokoh bagi Orde Baru dan kekuasaan Soeharto. Di sisi yang lain, tuntutan dari masyarakat agar terjadi pergantian kepemimpinan nasional menjadi semacam realitas yang tidak dapat dielakkan oleh bangsa Indonesia, sehingga upaya untuk tetap menjaga posisi ABRI adalah dengan melempar pernyataan yang satu dengan yang lainnya saling menutupi, sebagaimana yang terjadi di dalam parlemen saat Sidang Umum MPR 1998.

Aksi unjuk rasa dan demonstrasi mahasiswa dan masyarakat telah ditunggangi oleh kepentingan yang berbeda dengan aspirasi mahasiswa dan masyarakat selama ini. Unjuk rasa yang telah mengarah pada tindakan anarkis dan kerusuhan di beberapa kota memberikan sinyalemen bahwa tuntutan mahasiswa dan masyarakat mengenai pergantian nasional telah menjadi fatsun umum bagi sejarah bangsa Indonesia. Wiranto sendiri menyadari bahwa semua yang terjadi merupakan tanggung jawabnya, sebab selain Panglima ABRI, ia juga menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan, sehingga pilihan apapun untuk meredakan unjuk rasa dan tindakan anarkis akan mengundang dilema. Sebab posisi ABRI yang dilematis digambarkan oleh Wiranto sebagai posisi di tengah antara pemerintah di satu sisi, dan masyarakat di sisi lainnya. Pergulatan kepentingan antara membela masyarakat ataukah pemerintah terus berkecamuk di dalam tubuh ABRI, meski akhirnya ABRI mendukung kepemimpinan Soeharto dengan alasan konstitusional. Namun sejatinya tetap terjadi ketidakpuasan yang mendalam di internal ABRI terhadap sikap yang dikeluarkan oleh pimpinan ABRI mengenai kepemimpinan nasional

Kerusuhan secara sistematis menjalar mendekati Jakarta, setelah Medan, Ujung Pandang, Surakarta, Yogyakarta, serta kota-kota lainnya. Stigmatisasi terhadap pola yang terjadi mirip sekali dengan strategi desa mengepung kota-nya Mao Zedong, yang pernah dikuatirkan oleh Soeharto dan ABRI kembali terjadi. Akan tetapi masyarakat tidak lagi takut terhadap tuduhan komunis dan sebagainya, sehingga Jakarta akhirnya terjadi kerusuhan, penjarahan, dan aksi rasialis terhadap masyarakat Tionghoa. Kerusuhan yang pemicunya adalah penembakan terhadap mahasiswa Trisakti tanggal 12 Mei 1999 ini berlangsung secara sistematis di hampir semua titik sentral ibu kota. Ketidakpuasan terhadap sikap ABRI mengenai kepemimpinan nasional di tubuh ABRI disinyalir disalurkan dengan melakukan percepatan keadaan genting di ibu kota, sebab berdasarkan laporan Komnas HAM mengenai aksi kerusuhan di Jakarta dilakukan oleh anggota ABRI yang dikirim ke pusat-pusat perbelanjaan dengan truk-truk, berpakain hitam-hitam, lalu melakukan provokasi kepada masyarakat untuk membakar dan menjarah. Selain itu, indicator lainnya adalah tidak tampaknya aparat keamanan di titik-titik sentral bisnis dan keramaian.

Percepatan politik telah pula membuat pimpinan DPR/MPR menyikapi perkembangan politik tersebut dengan gamblang, pada tanggal 18 Mei 1998 Harmoko yang didampingi oleh wakil-wakil ketua DPR/MPR menyatakan agar Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya. Pernyataan ini tak lain juga dipengaruhi oleh pendudukan gedung wakil rakyat tersebut oleh puluhan ribu mahasiswa. Namun ABRI tidak menangkap peluang untuk memposisikan sebagai bagian dari gerakan reformasi yang diusung mahasiswa dan masyarakat. ABRI justru beranggapan bahwa pernyataan tersebut merupakan sikap dan pendapat pribadi, meski pernyataan tersebut disampaikan secara kolektif.

ABRI masih berpendapat bahwa tugas dan kewajiban mendesak pemerintah yang menjadi tanggung jawab presiden adalah melaksanakan reshuffle kabinet, melaksanakan reformasi secara menyeluruh, dan mengatasi krisis. Ini penting dilakukan agar bangsa Indonesia segera dapat keluar dari masa krisis ini. Di samping itu, ABRI menyarankan agar dibentuk Dewan Reformasi yang beranggotakan unsur pemerintah dan masyarakat, terutama kampus dan tokoh-tokoh kritis.

Sikap politik ABRI yang masih mendukung kepemimpinan Soeharto dan orde Baru dipandang sebagai upaya untuk mengikis isu bahwa ABRI akan mengambil alih kepemimpinan nasional. Isu tersebut dibantah oleh Wiranto yang menolak untuk menerima wewenang dan tanggung jawab sabagaimana yang dilakukan Soeharto saat menerima Supersemar. Penolakan Wiranto untuk memimpin lembaga semacam Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dengan dasar hukum Tap MPR No. V/1998, tentang pemberian wewenang khusus kepada Presiden Mandataris MPR untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka kesinambungan pembangunan nasional karena tidak jelas struktur komandonya. Sehingga akan terlihat janggal dan cenderung mengganggu rantai komando yang sudah ada di ABRI. Oleh sebab itu, Wiranto melakukan rapat dengan perwira staf di Mabes ABRI , guna menyusun suatu usulan pemikiran kepada Presiden Soeharto serta menyikapi ‘Supersemar’ tersebut. Adapun usulan tersebut antara lain. Pertama, makin menyebarnya dan meluasnya aksi unjuk rasa mahasiswa, dengan dipicu oleh Insiden Trisakti 12 Mei 1998, kemudian diikuti oleh berbagai aksi kerusuhan massal. Kedua, tidak terkontrolnya situasi oleh Satuan Pengamanan ABRI, sehingga apabila dilakukan tindakan represif akan menambah jumlah korban dari rakyat sipil, juga mengundang tekanan dari komunitas internasional. Ketiga, meluasnya tuntutan dari mahasiswa menjadi tuntutan masyarakat secara keseluruhan, seperti akademisi, tokoh masyarakat, purnawirawan ABRI, dan ulama, dengan makin mendorong tuntutan agar Presiden Soeharto mundur dari jabatan; MPR segera melaksanakan Sidang Istimewa untuk mengambil keputusan-keputusan penting; adanya reshuffle kabinet. Keempat, perubahan apa pun yang dapat terjadi hendaknya dilaksanakan secara konstitusional dan damai. Kelima, meminta kepada dunia internasional agar permasalah yang ada di Indonesia diselesaikan oleh bangsa Indonesia sendiri.

Usulan tersebut bila dibaca secara implicit mengandung penolakan terhadap ‘Supersemar’ yang disodorkan oleh Soeharto agar ABRI mengambil alih kondisi tersebut. Soeharto kemudian menerbitkan Inpres setelah ABRI memberikan usulan-usulan mengenai situasi politik yang berkembang, ia mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No.16/1998 yang mengangkat Menhankam/Panglima ABRI sebagai Panglima Komando Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional, serta wakilnya Subagyo HS, Kepala Staf Angkatan Darat. Inpres tersebut merupakan implementasi dari Tap MPR RI No.V/MPR/1998. Ada kejadian aneh saat Inpres tersebut diserahterimakan dari Soeharto ke Wiranto, Soeharto mengatakan bahwa surat tersebut dapat digunakan atau tidak terserah Wiranto. Sikap Soeharto ini mengagetkan Wiranto, sebab tidak biasanya Soeharto bersikap seperti itu, apalagi menyangkut kehidupan berbangsa dan negara. Namun apa yang diperlihatkan oleh Soeharto merupakan buah dari kekecewaan dari loyalitas pembantu-pembantunya, dari Harmoko menyatakan agar Soeharto mundur dari kursi kepresidenan, hingga penolakan Ginanjar Kartasasmita bersama ketigabelas menteri lainnya untuk duduk dalam Kabinet hasil reshuffle.

Namun langkah ABRI seperti diulas di awal tidak dalam irama yang sama. Setelah Wiranto menyampaikan usulan tersebut kepada Soeharto, Wiranto mendengar Panglima Kostrad, Letnan Jenderal Prabowo Subiakto berjalan tanpa komandonya dengan bertemu Wakil Presiden, Amien Rais, Abdurrahman Wahid, dan tokoh politik lainnnya tanpa sepengetahuannya. Sebagai bawahan, Prabowo seharusnya berjalan dengan sepengetahuan pimpinan ABRI, apalagi Prabowo tidak melaporkan hasilnya kepada atasan. Fait a comply Prabowo dengan mengatakan bahwa Wiranto telah berkhianat kepada Soeharto dan pemerintah perihal pernyataan pers pertemuan Wiranto dengan Abdurrahman Wahid yang diinterpretasikan bahwa Wiranto bersana Nahdlatul Ulama pimpinan Gus Dur mendukung Soeharto lengser keprabon, ketika anak dari Soemitro Joyohadikusumo ini bertemu dengan Soeharto. Meski Prabowo akhirnya meminta maaf atas kesalahan ini, namun sesungguhnya api rivalitas dan konflik di antara keduanya tetrap berlangsung hingga mundurnya Soeharto dari kursi kepresidenan dan masa pemerintahan Habibie.

Wiranto sangat menyadari perubahan sikap Soeharto tersebut apalagi realitasnya dukungan terhadap kepemimpinan Soeharto makin melemah. Soeharto tinggal menyandarkan dukungan kepada ABRI, yang secara konstitusional memang menyokong kepemimpinan yang sah, karena mendapatkan mandat dari MPR. Bukan tak mungkin ABRI dapat mengambil kesempatan dari situasi tersebut. Sekali lagi ABRI, dalam hal ini Wiranto menyingkirkan akternatif untuk merngambil alih kekuasaan. Sehingga dalam benaknya hanya ada dua kemungkinan akan terjadi dan dilakukan oleh ABRI. Pertama, mempertahankan pemerintahan yang sah, lalu mengumunkan darurat militer, dan lakukan tindakan represif total. Langkah ini bisa jadi akan mampu mempertahankan Soeharto dan Orde Baru dari kejatuhannya, akan tetapi resiko politik yang akan terjadi justru menjadi pertimbangan ABRI, karena akan memakan korban rakyat yang tidak sedikit.

Kedua, penyelesaian secara konstitusional. Hal ini berarti akan masuk pada proses pergantian kepemimpinan nasional dengan cara-cara damai berdasarkan hukum dan undang-undang yang berlaku. Langkah ini terbilang lebih aman mengingat akan mampu mengurangi jumlah korban.

ABRI sendiri melihat kecenderungan yang kedua, mengingat Soeharto sendiri berulang kali menyatakan siap mundur dari kursi kepresidenan. Tekanan dan penarikan dukungan dari kawan politik dan pembantunya saat lebih dari 30 tahun berkuasa ternyata belum cukup mampu membangun ikatan politik yang langgeng antara Soeharto dan para pendukung pemerintahannya. Sementara ABRI yang diharapkan akan menjadi alternatif terakhir dari kebuntuan politik dengan memberikan wewenang dan tanggung jawab melalui Tap MPR No. V/MPR/ 1998 dan Inpres No. 16/1998 ternyata tidak disambut sebagaimana harapan Soeharto. Rupanya Soeharto masih melihat bahwa ABRI dapat dikendalikan dan terbuai oleh kekuasaan sebagaimana yang ia rasakan pada lebih dari 30 tahun yang lalu. Padahal jaman telah berubah, dan ABRI mengambil sikap bijak untuk membiarkan proses politik secara konstitusional berlangsung.

II. Gerakan Reformasi dan Perubahan di Internal TNI

Isu yang beredar bahwa adanya faksionalisasi di tubuh ABRI oleh banyak pihak telah berperan dalam proses turunnya Soeharto dari kursi kepresidenannya. Adanya ABRI Hijau dan ABRI Merah Putih dalam tubuh ABRI memberikan sinyalemen bahwa perdebatan antara mempertahankan Soeharto dengan mengambil alih kekuasaan atau setidaknya membiarkan proses politik secara konstitusional berlangsung. Sikap politik ABRI yang membiarkan proses politik secara konstitusional berlangsung membawa konsekuensi sendiri. Di satu sisi, Prabowo, yang masuk dalam jaringan ABRI Hijau bersama Fahrul Razi, Zacky Anwar Makarim, Sjafrie Syamsudin, Kivlan Zein, dan yang lainnya berpendapat agar massa dibiarkan , tapi symbol kenegaraan mesti dijaga. Di sisi yang lain, Wiranto dianggap terlalu hati-hati dan bermain didua kaki, satu kaki tetap berada di dekat kekuasaan Soeharto, kaki yang lainnya mengusulkan melalui mulut orang lain agar Soeharto turun dari kekuasaan. Sehingga sikap Wiranto dalam mengambil keputusan juga nampak tercermin dengan menolak usulan Prabowo tentang penjagaan symbol kenegaraan dan membiarkan massa beraksi.

Usulan Prabowo ini juga yang membuat posisinya tersudutkan, sebab Prabowo dianggap terlalu lunak dengan membiarkan mahasiswa terus-menerus menduduki Gedung DPR/MPR. Prabowo juga mendukung turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan, karena realitas politik yang tidak menginginkan masyarakat tidak lagi menginginkan Soeharto. Hubungan yang akrab dalam dua bulan terakhir dengan Habibie telah membuat luka yang cukup besar di hati Soeharto melihat sepak terjang menantunya yang justru menginginkan dirinya turun dari jabatannya. Kedekatan Prabowo dan Habibie telah dirintis sejak lama, karena Prabowo yang teridentifikasikan sebagai ABRI Hijau relatif dekat dengan Habibie yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI).

Meski Soeharto akhirnya turun dari gelanggang politik yang pernah ia kuasai lebih dari 30 tahun, namun perseteruan antara Prabowo dan Wiranto yang masing-masing mewakili kelompok yang ada di ABRI ini tetap berlangsung. Upaya Wiranto yang menginginkan agar proses politik terjadi secara konstitusional dan damai makin menegaskan bahwa Wiranto tengah membangun bargaining politik terhadap kekuasaan yang baru, sambil tetap menjaga agar mantan Presiden Soeharto dan keluarganya dilindungi.
Pertama, memahami situasi yang berkembang dan menghormati aspirasi masyarakat, ABRI mendukung dan menyambut baik permintaan berhenti Bapak Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia serta berdasarkan konstitusi mendukung Wakil Presiden B.J Habibie sebagai pegganti Presiden RI. Kedua, ABRI yang tetap kompak dan satu berharap dan mengajak seluruh rakyat Indonesia menerima kehendak pribadi Presiden Soeharto tersebut yang telah sesuai dengan konstitusi, yaitu Pasal 8 UUD 1945. Ketiga, dalam hal ini ABRI akan terap berperan aktif guna mencegah penyimpangan dan hal-hal lain yang dapat mengancam keutuhan bangsa. Keempat, menjunjung tinggi nilai luhur bangsa, ABRI akan tetap menjaga kehormatan dan keselamatan para mantan presiden mandataris MPR termasuk Bapak Soeharto beserta keluarga. Kelima, ABRI mengajak semua pihak agar bersikap tenang, mencegah terjadinya kerusuhan dan tindak kekerasan yang akhirnya hanya akan merugikan masyarakat sendiri

Langkah taktis Wiranto ini telah mempesona Habibie yang membutuhkan dukungan politik dari ABRI. Kedekatan Prabowo dengan Habibie sebelum Soeharto turun dari kursi kepresidenannya mendadak mengalami kebekuan. Habibie kian merapat ke Wiranto yang memiliki legitimasi dan kekuatan dibandingkan Prabowo. Apalagi diisukan bahwa Prabowo dan pasukannya bersiaga di depan Istana Negara sebagai usaha untuk mengkudeta kepemimpinan Habibie. Kontan berita ini sampai ke Habibie yang akhirnya tidak jadi pulang ke Patra Kuningan, dan menginap di Wisma Negara. Wiranto yang sudah mengantungi restu dari Soeharto sebelum lengser untuk menjauhkan Prabowo dari pasukannnya menyampaikannya ke Habibie. Satu hari setelah Habibie diangkat menjadi Presiden, yakni tanggal 22 Mei 1998, Prabowo mendatangi Habibie guna menanyakan perihal penarikan bendera Kostrad dari sekitar Istana. Prabowo merasa bahwa penjelasan dari Subagyo tidak memuaskan dirinya. Habibie lantas membenarkan bahwa hal tersebut dilakukan untuk mencopot Prabowo dari Pangkostrad, dan itu merupakan keinginan Soeharto.

Pencopotan Prabowo dari jabatan Pangkostrad telah memuluskan konsolidasi ABRI setelah sempat tercerai berai dengan adanya patron dan sistem komando yang ‘tidak reguler’, ‘tidak lazim’, dan ‘mengganggu’ bagi organisasi ABRI. Adanya pengkubuan di dalam ABRI sendiri tak otomatis netral setelah Prabowo dipecat dari jabatannya. Wiranto harus melakukan konsolidasi di dalam internal ABRI sendiri setelah melalui saat-saat kritis dan titik terendah faksionalisasi di tubuh ABRI setelah lebih dari 30 tahun. Perseteruan antara Prabowo dengan Wiranto itu dapat dikatakan sebagai perseteruan antara dua kelompok yang ada di ABRI; ABRI Merah Putih dan ABRI Hijau, dan dalam kasus di atas, ABRI Merah Putih memenangkan perseteruan tersebut. Sebab sejak pencopotan Prabowo dari Pangkostrad, secara sistematis kelompok di ABRI yang diidentifikasikan sebagai ABRI Hijau satu persatu dicopot dari jabatannya dan menjadi perwira di Mabes ABRI tanpa memiliki jabatan. Meski dengan dalih untuk mengembalikan rantai komando yang sempat terputus, namun sejatinya upaya peminggiran kelompok Prabowo dan ABRI Hijau terus berlangsung hingga pergantian Panglima ABRI dari Wiranto ke Widodo AS.

Naiknya Habibie ke kursi kekuasaan pasca Soeharto lengser di satu sisi telah memperkuat konsolidasi ABRI dari kemungkinan perpecahan dan timbulnya faksi-faksi, di sisi lain hal tersebut telah memecah kalangan yang menuntut Soeharto turun, dari kursi kepresidenannya. Kalangan yang berasal dari mahasiswa, akademisi, aktivis pro demokrasi, dan LSM melihat Habibie setali tiga uang dengan Soeharto. Hal tersebut tidak dapat dipungkiri oleh Habibie, karena ia mengakui bahwa Soeharto adalah bapak sekaligus guru politiknya. Sementara itu ada sebagian kalangan Islam yang mendukung naiknya Habibie dengan harapan akan bangkitnya kelompok Islam seperti Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), dalam percaturan politik nasional. Seperti banyak diketahui, kelompok Islam relatif tidak menonjol dalam pentas elit nasional kecuali orang perorang.

Wiranto yang telah mendapatkan posisi tawar yang kuat setelah pencopotan Prabowo lantas meneruskan kebijakannya dengan mengganti beberapa perwira yang diidentifikasikan dekat dengan Prabowo dan ABRI Hijau. Adapun perwira-perwira tersebut antara lain. Letnan Jenderal TNI. Fachrul Razi, Kepala Staf Umum ABRI, Letnan Jenderal TNI. Zaky Anwar Makarim, Kepala Badan Intelejen ABRI (BIA), Mayor Jenderal TNI. Kivlan Zein, Mayor Jenderal TNI. Safrie Sjamsudin, Pangdam Jaya. Khusus Mayor Jenderal Kivlan Zein, yang diserahi tugas sebagai Koordinator Staf Ahli Kasad, sementara yang lainnya hanya menjadi Perwira Tinggi di Mabes ABRI. Langkah deprabowoisasi dan dehijauisasi ini berlangsung seiring dengan makin kuatnya posisi ABRI di pemerintahan Habibie. Hartono Mardjono, seorang politikus kawakan yang dekat dengan Prabowo memandang bahwa pertikaian di tubuh ABRI bukan hanya antara Wiranto dan Prabowo semata, tapi merupakan konflik antara ABRI Hijau yang menginginkan sebuah tatanan proposional agar perwira-perwira muslim memimpin di ABRI dengan yang memiliki paham sekulerisme . Pengertian muslim, dalam pemahaman Hartono Mardjono adalah bahwa karena Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya muslim maka sudah seharusnya pimpinannya harus berorientasi dan memahami Islam. Pernyataan Hartono Mardjono diakui kebenarannya oleh Egi Sudjana, peneliti di CIDES waktu itu bahwa upaya meminimalisir peran ABRI Hijau terjadi secara sistematis. Sementara Prabowo menginginkan sebuah kondisi yang proposional di ABRI, agar tidak tercipta lagi tirani minoritas di ABRI, sebagaimana LB. Moerdani dulu memimpin ABRI. .

Meski sejak awal peralihan kekuasaan dari Soeharto ke Habibie ABRI telah mempertegas dukungannya ke Habibie, namun ada perbedaan dalam melihat agenda politik yang akan dijalankan oleh ABRI dengan Habibie. ABRI menginginkan agar Sidang Istimewa (SI) MPR dapat dipercepat dari jadwal pemerintah yang sedianya dilaksanakan pada Desember 1998 menjadi Oktober. Usulan ABRI ini terkait dengan realitas politik dan ekonomi semakin lama pelaksanaan Sidang Istimewa hanya akan membuat perekonomian dan politik di Indonesia makin memburuk. ABRI berpendapat bahwa akan lebih baik apabila SI MPR dilaksanakan lebih cepat dari jadwal yang diusulkan pemerintah, agar Habibie mendapatkan legitimasi guna mengawal pemerintahan transisi untuk pelaksanaan Pemilu 1999. Bahkan kelompok para jenderal purnawirawan meminta pelaksanaan SI MPR diadakan pada Bulan Juni 1998. Melalui SI MPR inilah akan dibentuk care taker atau presidium yang beranggotakan tokoh-tokoh yang mewakili masyarakat. Menurut Kemal Idris, yang memimpin para purnawirawan ini mengatakan bahwa pembentukan care taker atau presidium karena Habibie tidak memiliki legitimasi politik.

Di samping itu juga, ABRI melalui Wiranto meminta penyatuan jabatan Menhankam dan Pangab tetap satu, sementara Habibie dan pendukungnya ingin memisahkan kedua jabatan tersebut. Akan tetapi upaya Wiranto ini akhirnya dikabulkan, sebab Habibie juga membutuhkan dukungan politik dari ABRI di tengah krisis legitimasi dari masyarakat terhadap pemerintahannya. Meski kemudian secara diplomatis Kasospol ketika itu, SB Yudhoyono menyatakan bahwa usulan ABRI tersebut telah dikoordinasikan dengan Departemen Dalam Negeri, dan telah terjadi pemahanan bersama. Di sinilah sesungguhnya keragu-raguan ABRI dalam melihat dinamika politik yang tengah terjadi. Kepemimpinan Wiranto di ABRI sejatinya membuat institusi tersebut gamang dalam bergerak, kadang-kadang rambu konstitusional dipakai sebagai upaya untuk menutupi kegamangan tersebut. Simak pernyataan Wiranto yang terlihat gamang dan tidak eksplisit bersikap.

“ABRI mendukung kepemimpinan Presiden BJ, Habibie dan mendukung Kabinet Reformasi Pembangunan—yang mengemban tugas berat untuk mengatasi krisis dan memimpin langkah-langkah reformasi. Sejak semula pula ABRI mendukung pemerintahan sah dan konstitusional yang diakui rakyatnya.”

Pernyataan sikap tersebut diikuti pula dengan pujian kepada Mantan Presiden Soeharto oleh Keluarga Besar ABRI (KBA), yakni Persatuan Purnawirawan ABRI (Pepabri) yang dipimpin oleh Mantan Wakil Presiden, Tri Soetrisno. Menurut Tri Soetrisno, Soeharto merupakan negarawan sejati yang berhenti dari jabatannya demi keselamatan Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Meski sekedar pernyataan pujian, namun efek politik dari pernyataan tersebut telah mengarah ke ABRI bahwa institusi tersebut masih menjadi bagian dari Orde Baru. Penegasan arah sikap ABRI tersebut tercermin dari pernyataan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menkopolkam), Feisal Tandjung, yang persis diucapkan pula pada awal tahun 1998 menjelang Rapat Kerja ABRI tahun 1998, seusai melapor ke Soeharto.

Saat ini sudah tampak gejala bahwa sekelompok masyarakat telah melakukan manuver-manuver politik yang mengarah kepada upaya inskonstitusional untuk mengembalikan suasana kepada pola pikir atau paradigma lama. Bahkan kepada upaya mengembalikan pemerintahan lama bernuansa anti reformasi.

Di lain waktu, pujian tersebut berubah menjadi kecaman terhadap Soeharto yang dianggap sebagai orang yang membuat ABRI terlalu berorientasi kepada pemupukan kekuasaan. Menurut Sayidiman Suryohadiprodjo dan Bambang Triantoro, sesepuh ABRI mengatakan bahwa Implementasi dari dwi fungsi ABRI menyimpang jauh dari apa yang diharapkan oleh ABRI ketika itu.
Kecaman ini juga pada akhirnya mempertanyakan legitimasi pemerintahan Habibie, satu hal yang membuat Wiranto dan perwira aktif yang mempercayai pada perubahan secara konstitusional tidak nyaman. Kecaman yang dikeluarkan tersebut menjadi ultimatum kepada Habibie untuk meletakkan jabatannya karena tidak didukung oleh rakyat. Bambang Triantoro dan Kemal Idris, yang tergabung di dalam Barisan Nasional , menyatakan bahwa Barisan Nasional tidak mengakui Habibie sebagai presiden. Karena itu Barisan Nasional Meminta agar Habibie pada Sidang Istimewa MPR segera meletakkan jabatan, dan digantikan oleh Presidium Nasional.

Kondisi yang tidak diharapkan oleh Habibie dan Pemerintahannya perlahan muncul, permasalahan utama sebagaimana yang diungkap oleh Barisan Nasional adalah legitimasi Habibie yang tidak didukung oleh rakyat. Menurut Hasnan Habib, hal ini disebabkan karena masih kontroversialnya konstitusionalitas Pemerintahan Habibie. Aksi penolakan kepemimpinan Habibie berlanjut dengan jumlah ribuan massa, baik di Jakarta maupun daerah lainnya. Demonstrasi ini juga diikuti oleh tuntutan pencabutan Dwi Fungsi ABRI yang sebelumnya lamat-lamat terdengar makin keras disuarakan oleh mahasiswa. ABRI yang memposisikan diri sebagai instrumen dari pemerintahan Habibie nampak tidak siap dengan aksi-aksi tersebut. Isu komunisme dan kelompok kiri kembali dilempar oleh ABRI , akan tetapi isu tersebut tidak serta-merta diterima masyarakat. Dalam kesempatan lain ABRI kembali melempar isu mengenai adanya kekuatan lain yang hendak menggagalkan Sidang Istimewa MPR.
ABRI sendiri melihat bahwa Instruksi Habibie kepada ABRI diterjemahkan sebagai legitimasi untuk melakukan tindakan tegas terhadap kelompok ataupun organisasi yang menolak pelaksanaan agenda-agenda nasional seperti Sidang Istimewa MPR dan Pemilu 1999. Langkah yang dilakukan oleh ABRI justru makin menurunkan citra dan kepercayaan masyarakat terhadap ABRI, sebagaimana Jajak Pendapat yang dilakukan oleh Center for Study of Development and Democracy (CESDA) dan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) , yang menyebutkan bahwa ABRI akan lebih baik hanya sebagai alat pertahanan saja, tidak usah terlibat dalam kegiatan politik praktis. Menurut jajak pendapat tersebut disebutkan bahwa masyarakat kecewa dengan langkah ABRI yang masih terlibat dalam kegiatan politik praktis, hal ini dapat dilihat dengan ABRI yang mendukung Habibie.

ABRI membuktikan dukungannya kepada Habibie dengan mengamankan perhelatan Sidang Istimewa MPR 1998. Bahkan ABRI pula yang melakukan perekrutan masyarakat untuk menjadi anggota Pam Swakarsa, yang pada akhirnya makin memperuncing ketegangan antara Pemerintahan Habibie dan ABRI di satu sisi, dengan mahasiswa dan masyarakat yang menolak pelaksanaan Sidang Istimewa dan pencabutan dwi fungsi ABRI di sisi yang lain.

Pendekatan keamanan pola lama makin memperburuk citra ABRI di mata masyarakat. Tercatat belasan orang tewas dari mahasiswa dan masyarakat, serta ratusan lainnya luka-luka. Peristiwa yang dikenal dengan Tragedi Semanggi I ini menjadi pembenar bahwa ABRI masih menjadi bagian dari Orde Baru. Kegigihan ABRI dalam mengamankan Sidang Istimewa MPR tersebut mengundang banyak tanya. Selain alasan pengamanan agenda nasional dan pemerintahan yang konstitusional, ABRI disinyalir memiliki misi terselubung misi itu antara lain ingin tetap dilibatkannya ABRI dalam permasalahan kebangsaan. Hal ini tercermin pada pelegitimasian keberadaan ABRI di DPR dari undang-undang menjadi sebuah ketetapan MPR, yang berarti naik satu tingkat secara tata perundang-undangan. Ini artinya ABRI tetap memiliki kursi yang kelegalannya makin kuat sebagai bagian dari kiprahnya di wilayah social dan politik. Permasalahan mendasar adalah politisi sipil masih menginginkan agar ABRI tetap berkiprah di parlemen, sebagaimana yang diungkap oleh Marzuki Darusman, Wakil Ketua Badan Pekerja (BP) MPR.

“ABRI masih memiliki territorial, sospol, dan intelejen. Peran itu ada di gubernur, bupati, pangdam, dan lain-lain. Jika mereka ada di DPR tak sulit bagi kita untuk meminta pertanggungjawaban atas fungsi social dan politiknya.”

Meski mendapatkan kecaman dari banyak pihak, Wiranto tetap kukuh di kursi Panglima ABRI. Pasca Tragedi Semanggi I ini banyak tuntutan agar Wiranto mundur atau dipecat dari jabatannya. Sementara perdebatan tentang keabsahaan Habibie sebagai presiden masih terus terjadi. Demonstrasi, meski dengan skala yang tidak terlalu besar sebagaimana unjuk rasa saat Sidang Istimewa MPR 1998 tanggal 12 November 1998 tetap marak. Isu pencabutan dwi fungsi ABRI makin merata dijadikan sebagai isu bersama hampir semua elemen mahasiswa dan masyarakat. Apalagi elit politik sipil (non-parlemen) hampir pada saat bersamaan menggelar pertemuan pada tanggal 10 Novembet 1998, yang kemudian menghasilkan Deklarasi Ciganjur, yang salah satu pointnya menuntut penghapusan dwi fungsi ABRI secara bertahap. Ini berarti bahwa sikap terhadap dwi fungsi ABRI di masyarakat hampir sama melihat dwi fungsi ABRI mesti dihapuskan, meski ada perbedaan pada proses penahapan penghapusannya.

Setelah mampu mengamankan Sidang Istimewa MPR 1998, ABRI melakukan mutasi besar-besaran. Langkah ini menurut Wiranto dilakukan guna mengantisipasi permasalahan keamanan menjelang Pemilu 1999 dan Sidang Umum MPR 1999. Mutasi yang melibatkan sekitar 100 perwira ini menurut Mochtar Pabotinggi dan Abdurahman Wahid merupakan usaha penguatan rezim Soeharto yang hingga kini belum benar-benar tumbang.
Ini adalah kekalahan Reformasi. Naiknya Sugiono—yang kalau tidak salah adalah mantan ajudan Soeharto—ke dalam posisi strategis jelas merupakan usaha memperkuat rezim Soeharto. Dan itu semakin memperkuat dugaan saya bahwa rejim Soeharto memang belum tumbang. Apalagi hingga saat ini Soeharto masih menguasai tiga pilar penting negara, yaitu, DPR, ABRI, dan birokrasi serta perangkat hukum. Mutasi ini semakin menguatkan dugaan bahwa Soeharto masih menguasai militer atau ABRI.

Eep Saefullah Fatah justru melihat bahwa mutasi besar-besaran di ABRI ini adalah usaha konsolidasi Wiranto-Soeharto guna memuluskan langkah Wiranto untuk mengontrol ABRI dalam satu komando, Pernyataan-pernyataan tersebut dibantah oleh Subagyo HS, Kasad, dan Wiranto sendiri. Menurut kedua petinggi ABRI tersebut pernyataan itu terlalu dangkal dan sulit dicerna akal sehat, Wiranto menegaskan bahwa pergantian tersebut murni untuk tour of duty.

Mutasi besar-besaran ini sejatinya juga akan memberikan efek positif bagi Pemerintahan Habibie yakni berupa dukungan ABRI terhadap pemerintahannya. Namun, dukungan ABRI kepada Habibie memasuki tahun 1999 terganggu bukan oleh mutasi tersebut, melainkan adanya Opsi yang dikeluarkan oleh Habibie pada tanggal 27 Januari 1999 bahwa apabila rakyat Timor-Timur menolak tawaran Daerah Otonomi Khusus Timor-Timur, maka pemerintah Republik Indonesia akan mengusulkan kepada Sidang Umum MPR yang akan dipilih pada Pemilu 1999, agar Timor-Timur dapat berpisah dari pangkuan Republik Indonesia secara baik, terhormat, tertib, dan konstitusional.
Walaupun Wiranto ikut memutuskan kebijakan yang dibuat pada Sidang Paripurna Bidang Polkam tanggal 27 Januari 1999, namun Wiranto tak kuasa menolak keputusan yang disetujui oleh anggota kabinet lainnya. Ia hanya memberi catatan, “kalau Jajak Pendapat (jadi-pen) dilakukan, kami mohon keputusan integrasi Timur-Timur ke Indonesia di masa lalu, jangan dianggap suatu keputusan politik yang salah.” Catatan tersebut akhirnya diterima oleh peserta sidang dan akan dipertahankan sampai kapanpun.

Wiranto melukiskan bahwa pertemuan tersebut membuat dirinya terus risau dan memikirkan implikasi dari keputusan tersebut. Ada dua hal yang membuatnya terus menerus risau.

Pertama, resikonya adalah kita mendorong kembali kedua belah pihak yang bertikai, yakni antara yang satu setuju dan yang satunya lagi ingin merdeka sendiri. Padahal pertikaian di antara mereka sudah berlangsung selama 23 tahun dan sudah memakan korban ratusan bahkan mungkin ribuan nyawa utuk mempertahankan prinsip mereka. Bayangkan, tiba-tiba kedua pihak ini dalam waktu singkat harus didamaikan dan dirukunkan. Kedua, dengan sebagian masyarakat memiliki tingkat intelektual yang relatif terbatas, mereka akan memilih sesuatu yang saya katakan masih imajiner.

Kerisauan Wiranto ini pula yang dirasakan oleh ABRI dan Keluarga Besarnya, mengingat lebih dari 3.500 prajurit ABRI gugur untuk membela integrasi, belum lagi lebih dari 2.000 prajurit cacat, serta ribuan janda yang ditinggal gugur oleh para prajurit yang gugur tersebut. Namun Agum Gumelar, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas) justru membantah kerisauan Wiranto dan berkurangnya dukungan ABRI terhadap Habibie.
ABRI tidak keberatan bila wilayah Timor-Timur dilepas dari RI karena ABRI telah banyak mengorbankan prajuritnya dalam proses penggabungan Timor-Timur dengan RI pada 1976 silam. Pengorbanan prajurit yang gugur saat bertugas di daerah itu tidak sia-sia. Mereka tetap kita anggap sebagai pahlawan karena gugur saat bertugas menjalankan tugas pemerintah.

Akan tetapi harus diakui bahwa pemberian Opsi II ini merupakan pukulan telak bagi Keluarga Besar ABRI, meski hal tersebut kemudian tidak muncul sebagai opini utama di media, karena kalah dengan isu tentang pencabutan dwi fungsi ABRI, keabsahan Habibie, serta dinamika internal di ABRI sendiri. Akan tetapi hal tersebut akan diakumulasikan dalam pertamggungjawaban Habibie pada Sidang Umum MPR 1999 nanti, apalagi kenyataan bahwa referendum tersebut tidak dimenangkan oleh pro integrasi.

Kondisi negara terus mengarah pada instabilitas, kerusuhan, pengeboman, dan konflik antar etnis terjadi secara sistematis. ABRI menurut Wiranto tengah diuji kredibilitasnya dalam menangani setiap gejolak yang timbul, tak heran apabila posisi ABRI menjadi sorotan banyak orang karena dinilai tidak mampu menangani kerusuhan tersebut. Meskipun Habibie telah berulangkali menegaskan tidak akan mengganti dirinya hingga Sidang Umum 1999 selesai, Wiranto merasa bahwa tuntutan agar ABRI kembali ke barak, serta hujatan yang memintanya mundur makin menyudutkan posisi ABRI. Apalagi adanya rumor bahwa pecahnya konflik dan pengeboman tersebut dilakukan oleh ABRI sebagai bargaining ABRI kepada pemerintahan sipil untuk tetap dilibatkan dalam permasalahan kebangsaan. Meski tidak terbukti benar, nyatanya ABRI memang mengalami kesulitan dalam meredam kerusuhan, dan mengamankan wilayah konflik.

Pergantian nama dari ABRI kembali menjadi TNI belum mampu membangun citra TNI di mata masyarakat. Pola pendekatan dan penyelesaiaan keamanan yang dilakukan oleh TNI masih menggunakan pola lama. Tak heran apabila komitmen ABRI untuk mengamankan Pemilu 1999 pun diragukan karena faktanya kerusuhan dan konflik etnis tersebut masih membara. Berulangkali S B. Yhudoyono, Kepala Staf Teritorial (Kaster) TNI menegaskan akan mengambil langkah apapun—berdasarkan konstitusi dan aturan hukum yang berlaku—untuk mencegah penggagalan Pemilu 1999. Bahkan Wiranto kembali menegaskan tentang ketidakbenaran isu bahwa TNI akan memanfaatkan momentum Pemilu 1999 untuk mengambil alih kekuasaan.

Menariknya, TNI yang banyak dinilai sebagai bagian dari kepanjangan tangan Pemerintahan Habibie, menjelang Pemilu 1999 menampilkan sosok institusi yang netral, sebagaimana yang dikatakan Wiranto.
TNI/Polri bersikap netral dan mengambil jarak yang sama dengan semua partai politik yang ada, termasuk telah memutuskan hubungan organisatoris dengan Partai Golkar. TNI/Polri tidak mempunyai kewajiban untuk melakukan upaya-upaya guna memenangkan salah satu parpol peserta pemilu, dan akan memberikan perlakukan yang sama secara adil dan proporsional kepada seluruh parpol peserta pemilu.

Penegasan TNI tentang hal tersebut merupakan upaya untuk menampilkan wajah TNI yang baru, tanpa embel-embel prilaku dan pola masa lalu yang terlibat aktif dalam politik praktis. Dukungan TNI terhadap kepemimpinan Habibie, sebagaimana diuraikan di atas terus mengalami degradasi, bahkan cenderung akan sama sekali tidak mendukung Habibie. Hal ini terlihat pada rencana naiknya Habibie sebagai calon presiden pada Sidang Umum MPR 1999 nanti yang didukung oleh Partai Golkar dan sejumlah partai Islam. Menurut Ikrar Nusa Bhakti, dukungan TNI tentang pencalonan Habibie menjadi presiden pada Sidang Umum MPR 1999 hanya setengah hati. Di mata TNI, Habibie dinilai boros ketika melakukan pembelian 39 kapal perang eks Jerman Timur.

Sementara, aksi unjuk rasa masih terus berlangsung, menjelang pelaksanaan Sidang Umum MPR 1999, masyarakat, mahasiswa, dan kalangan LSM menolak diberlakukannya Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan bahaya (RUU PKB) memakan korban jiwa, lima orang tewas, yang kemudian dikenal dengan Peristiwa Semanggi II. Tuntutan mahasiswa dan kalangan pro demokrasi tidak hanya menunda UU PKB, tapi tidak mengesahkannya. Kalangan mahasiwa dan pro demokrasi melihat UU PKB tersebut merupakan legitimasi yang diinginkan oleh TNI untuk bertindak represif. Meski Wiranto membantah, justru ia mensinyalir aksi unjuk rasa tersebut memiliki misi lain.
Mereka bergabung dalam suatu misi, misi itu tidak jelas, sebetulnya apa. Dengan menggunakan tameng UU PKB, mereka ingin menunjukkan punya kekuatan masa besar yang mampu menekan semua kebijakan pemerintah. Bahkan bukan hanya pemerintah, melainkan juga DPR sekarang. Tentu, tujuan mereka adalah masuk ke dalam gedung MPR, menguasai, dan akhirnya menghancurkan rambu-rambu konstitusi.

Moment Sidang Umum MPR di depan mata, benturan sebagai akibat dari perbedaan kepentingan antara pemerintah dan mahasiswa terus berlangsung hingga Sidang Umum MPR 1999 berlangsung, sementara tawaran dari Habibie kepada Wiranto untuk berduet masuk ke gelanggang politik untuk bertarung sepertinya tidak disambut oleh TNI, ada kecenderungan TNI ingin menampilkan figure dari internal sendiri, apalagi beberapa partai gurem seperti Partai Serikat Pekerja Indonesia (PSPI), dan Masyumi Baru telah mencalonkan Wiranto, baik sebagai presiden, maupun wakil presiden. Agum Gumelar dan SB Yudhoyono mengatakan bahwa jika masyarakat memilih pemimpinnya dari kalangan TNI, merupakan sebuah realitas politik yang tidak boleh diingkari. TNI sebagai institusi hanya mendorong saja. Dari pernyataan ini terlihat bahwa ada kekuatiran dari TNI ketika PDI Perjuangan memenangkan Pemilu 1999 dengan suara yang cukup signifikan. Kekuatiran TNI beralasan, sebab PDI Perjuangan dipandang oleh TNI sebagai partai politik yang menampung suara bekas anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), selain Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang diindikasikan sebagai partai yang dibina eks anggota PKI. Meski SB Yudhoyono selalu mensyaratkan bahwa pemimpin nasional adalah yang sanggup memimpin kita semua dalam melaksanakan tugas nasional, namun perasaan kuatir akan bangkitnya gerakan komunis yang mendompleng PDI Perjuangan telah membuat TNI meski bersikap lebih tegas dalam Sidang Umum MPR nanti. TNI menginstruksikan kepada Fraksi TNI/Polri di parlemen agar pada Sidang Umum MPR berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, sebab hal tersebut sebagai upaya penyelamatan negara.

Upaya untuk tetap netral pada akhirnya mengundang dilematis bagi TNI, di satu sisi TNI menginginkan sebuah tatanan yang lebih demokratis dan berjalan di jalur yang disepakati oleh TNI, yakni tetap mempertahankan Negara Kesatuan RI, dan UUD 1945. di sisi lain, justru PDI Perjuangan yang diharapkan akan dijadikan mitra bagi TNI setelah Partai Golkar disinyalir merekrut dan menampung suara eks PKI, sesuatu yang paling tidak di sukai TNI. Di sini dibutuhkan kepemimpinan alternatif di luar PDI Perjuangan dengan Megawati Soekarnoputra dan Partai Golkar dengan Habibie sebagai calon presidennya.
Sementara langkah cepat Partai Golkar untuk kembali menghimpun suara TNI di pihaknya berjalan sistematis. Habibie sebagai calon presiden dari Partai Golkar menginstruksikan Akbar Tanjung untuk menduetkan dirinya dengan Wiranto, Menhankam./Panglima TNI. Instruksi ini sulit ditolak mengingat Habibie berkilah bahwa suara TNI yang 38 tersebut harus diselamatkan untuk memdukung Partai Golkar dan pencalonannya sebagai presiden. Tetapi Wiranto memiliki kalkulasi politik sendiri, selain karena TNI sudah mengikrarkan untuk netral, dan Partai Golkar bukan pemenang pertama Pemilu 1999, juga karena Wiranto masih menghitung benar, tentang kemungkinannya menjadi wakil presiden. Dengan kata lain, Wiranto menolak pencalonan tersebut.
Penolakan Wiranto juga berdampak pada proses pembusukan politik terhadap Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang di awal Pemilu getol mendukung Habibie, perlahan bergeser ikut dalam gerbong Poros Tengah untuk mendukung Abdurrahman Wahid. Dukungan Poros Tengah yang dimotori oleh Amien Rais kepada Wahid menjawab pertanyaan TNI tentang calon alternatif diluar Habibie dan Megawati Soekarnoputri. Sementara itu peserta Sidang Umum MPR menolak pertanggungjawaban Habibie dengan suara 355 menolak, sedangkan 322 menerima. Meski Fraksi TNI/Polri memilih abstain dalam voting tersebut, namun sejatinya bandul politik TNI menjauh dari Habibie. Penguatan dukungan justru bukan ke Megawati, tapi ke Wahid yang banyak kalangan dinilai mampu mengobati luka para pendukung Habibie karena ditolaknya pertanggungjawaban Habibie. Dapat dipahami suara para pendukung Habibie yang banyak berasal dari partai Islam dan kalangan Islam, tidak akan memberikan suaranya ke Megawati, sebab selain karena perempuan juga dinilai kurang dekat dengan kalangan Islam.

III. Reformasi Internal TNI Sebagai Pra-Kondisi Bagi Reformasi Politik

TNI sadar bahwa sebagai institusi yang menyokong kepemimpinan Soeharto, hal yang sangat mungkin apabila TNI akan dipertanyakan sikapnya mengenai tuntutan perubahan yang berkembang di masyarakat. Sebelum Soeharto mengundurkan diri, Wiranto melihat bahwa kekuasaan yang telah berdiri selama lebih dari 30 tahun tersebut telah limbung. Tak heran kemudian Wiranto menegaskan sikap TNI dalam melihat tuntutan reformasi yang disuarakan mahasiswa dan eleman masyarakat lainnya.
Kami mencoba menyerap berbagai pemikiran yang muncul dan saya kira ini menampilkan pemikiran-pemikiran ABRI (TNI-pen) sendiri mengenai reformasi. Dengan demikian maka tuduhan dan dakwaan bahwa ABRI ingin selalu mempertahankan kemapanan dengan kekuatan hankamnya itu jelas tidak tepat. Sebab ABRI dengan cepat akan siap mempelopori adanya reformasi ini dengan catatan secara gradual dan konstitusional.

Pernyataan tersebut telah menandaskan bahwa sejak awal TNI telah menegaskan sikapnya terhadap proses politik yang tengah berjalan, akan tetapi apa yang dikatakan oleh Wiranto tidak sepenuhnya dapat dijadikan pegangan bahwa TNI sebagai institusi yang menjadi bagian dari instrumen penguasa mau melakukan perubahan internal bila pemimpinnya waktu itu; Soeharto dan kemudian Habibie tidak memiliki kebijakan tersebut.
Rumusan pokok-pokok pikiran mengenai reformasi yang dibuat TNI dengan judul: ABRI dan Reformasi, Pokok-pokok Pikiran ABRI Tentang Reformasi Menuju Pencapaian Nasional yang kemudian diserahkan ke Habibie dinilai oleh Arief Budiman sebagai pembenaran dari TNI agar seolah-oleh ada perubahan di tubuh TNI.
Hasil rumusan reformasi itu intinya sama saja dengan sikap sebelumnya. Masih ada dwifungsi dan pegawai negeri tidak boleh ikut partai politik. Karena buku itu disusun saat ABRI (TNI-pen) sendiri belum matang, maka menurut saya pemikiran ABRI masih berada di jaman lama. Semangatnya masih semangat lama, ini membuktikan bahwa ABRI belum mau melakukan reformasi.

Arief Budiman tidak salah, sebab Syamsul Ma’arif, yang ketika itu menjadi kapuspen Hankam/ABRI justru menegaskan bahwa reformasi di ABRI, khususnya tentang dwi fungsi TNI pada hakikatnya tidak menjadi masalah. masalahnya ada pada implementasi di lapangan, karenanya TNI berusaha melakukan penyesuaian agar peran social politik TNI sesuai dengan perubahan yang diinginkan. Pernyataan lebih ekstrem dikemukakan oleh Hari Sabarno, yang ketika itu menjabat sebagai Ketua Fraksi ABRI di DPR/MPR, bahwa implementasi dari dwifungsi pada hakekatnya untuk mengontrol kekuasaan yang sedang berjalan.

Adapun tuntutan mahasiswa dan masyarakat terhadap TNI antara lain. Pertama, pencabutan dwi fungsi TNI, yang terbagi ke dalam beberapa isu, yakni: 1) Tidak memberikan kursi gratis ke TNI di parlemen. 2) Pembubarkan Lembaga Ekstra territorial seperti Kodam, Kodim, Koramil. 3) Pemutusan hubungan dengan Partai Golkar dan intervensi TNI ke dalam politik praktis. 4) Penghapusan kekaryaan TNI, dan sebagainya. Kedua, pengadilan atas pelanggaran HAM di masa lalu hingga sekarang seperti kasus Penembakan mahasiswa di Trisakti dan Peristiwa Semanggi.

Dua tuntutan tersebut disikapi berbeda oleh TNI maupun elit sipil sendiri, Hari Sabarno menjelaskan bahwa dwifungsi adalah implementasi semangat dan jiwa pengabdian kepada bangsa dan negara. Penegasan bahwa tuntutan dwifungsi tidak direspon adalah adanya pernyataan SB. Yudhoyono, Kasospol ABRI (TNI-pen) bahwa TNI ingin tetap berada di MPR dan DPR. Yudhoyono berkilah agar TNI jangan ditinggal, sebab TNI juga ingin berpartisipasi dalam pembangunan bangsa.
Sebaliknya Sayidiman Suryohadiprodjo, yang mantan Gubernur Lemhannas ini lebih maju dalam melihat tuntutan pencabutan dwifungsi, ia menawarkan tiga alternatif implementasi dari dwifungsi. Pertama, MPR menyatakan bahwa TNI, ABRI minus Polri tidak lagi mempunyai dwifungsi secara formal, ini berarti TNI hanya merupakan kekuatan pertahanan dan keamanan. Dengan sendirinya juga tidak ada lagi fungsi kekaryaan ABRI, sehingga tidak ada lagi anggota ABRI di lembaga eksekutif maupun yudikatif kecuali mengundurkan diri terlebih dahulu.

Kedua, melanjutkan cara yang dipraktekkan saat ini dengan penyempurnaan fungsi sospol yang disesuaikan dengan perkembangan jaman. Dengan konsekuensi harus ada pengurangan dalam fungsi kekaryaan, agar tidak menimbulkan peran berlebihan anggota TNI di wilayah sipil. Ketiga, pengakuan terhadap dwifungsi TNI dengan fungsi social dan politiknya, tetapi tanpa fungsi kekaryaan kecuali untuk keanggotaan DPR dan MPR dengan maksimal keanggotaan 50 orang, serta tidak ada anggota TNI di dalam DPRD tingkat I dan DPRD tingkat II.

Sementara dari kalangan sipil sendiri tetap melihat apa yang terimplementasikan dalam dwifungsi tersebut bersifat sangat destruktif dan distorsif, sebab hal tersebut bertentangan dengan profesionalitas militer, demikian Mochtar Pabotinggi mengatakan. Sedangkan Amien Rais lebih ringan menanggapi tuntutan mengenai pencabutan dwifungsi, baginya selama fungsi pertahanan keamanan dengan fungsi social politik seimbang tak menjadi masalah. Marzuki Darusman, Wakil Ketua Komnas HAM ketika itu mengatakan bahwa dwifungsi telah merampas hak sipil untuk berpolitik.

Stabilitas politik itu diciptakan oleh kekuatan social politik dan bukan ditunjang oleh sesuatu kekuatan sospol seperti yang dilakukan oleh ABRI selama ini. Peranan stabilitas politik ABRI sebaiknya diarahkan pada yang lebih spesifik yakni stabilitas pada fungsi pengamanan Pancasila. Sebab konsep dwifungsi dan kekaryaan ABRI dianggap sudah saatnya ditinjau ulang sesuai dengan tuntutan era reformasi.

Kenyataannya petinggi di TNI maupun Keluarga Besar TNI tidak sepenuhnya melihat tuntutan tersebut sebagai upaya konstruktif dalam mendorong percepatan profesionalisme di tubuh TNI, justru sebaliknya mengundang kecurigaan dan terkesan tidak ingin melihat realitas social politik yang menginginkan TNI melakukan perubahan internal agar mampu selaras dengan tuntutan jaman. Sebagaimana yang dikatakan oleh Agum Gumelar yang memandang penghapusan dwifungsi terlalu dipaksakan. Pernyataan yang mengandung kecurigaan disuarakan oleh Theo Syafe’i yang melihat ada upaya sistematis untuk menghapuskan dwifungsi dengan berbagai cara dan langkah. Beruntung TNI dipimpin oleh Wiranto yang memiliki pandangan cukup jauh ke depan, meski kadang tergagap dengan tawaran kekuasaan yang disodorkan kepadanya. Menurut Wiranto, pada akhirnya TNI harus benar-benar profesional, efektif, dan efesien. Sehingga TNI harus pula melakukan berbagai penyesuaian kebijakan, strategi, dan doktrin serta implementasi operasionalnya, termasuk juga perubahan struktur dan kulturnya dengan koridor sebagai berikut. Pertama, mampu mempertahankan kedaulatan nasional dan integritas bangsa. Kedua, setara dengan kemampuan angkatan bersenjata negara tetangga. Ketiga, mampu berkiprah dalam kerja sama regional. Keempat, mampu bertugas sebagai pasukan pemelihara perdamaian dunia. Kelima, mampu mendorong dan ikut mewujudkan demokrasi dan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan, berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.

Dengan koridor tersebut ABRI mengadakan Seminar Peran ABRI Abad XXI di Sekolah Staf dan Komando (Sesko) ABRI pada akhir September 1998. Hasil seminar inilah yang kemudian dibukukan dengan judul ABRI Abad XXI: Redifinisi, Reposisi, dan Reaktualisasi Peran ABRI dalam Kehidupan Berbangsa yang diterbitkan Oleh Markas Besar ABRI ini mengeluarkan empat butir keputusan untuk menyikapi peran social politik ABRI kedepan. Pertama, ABRI akan merubah posisi dan metodenya untuk tidak selalu harus di depan dan dominatif, sedangkan posisi yang mereka kuasai saat Orde Baru diserahkan pada institusi fungsional yang berkompeten. Kedua, melakukan perubahan konsep dari menduduki menjadi mempengaruhi, dalam artian bahwa posisi ABRI yang dulu menguasai posisi strategis, saat ini harus dibatasi. Ketiga, melakukan perubahan cara mempengaruhi langsung (direct influence) menjadi tidak langsung (indirect influence). Hal ini menjadi penting untuk dilakukan demi menghindari pelibatan ABRI yang berlebihan dalam berbagai kegiatan yang tidak berkaitan dengan tugas utamanya. Keempat, kesediaan untuk melakukan politik kebersamaan dalam pengambilan keputusan penting kenegaraan dan pemerintahan (political and role sharing) dengan komponen bangsa lain.

Demi mewujudkan visi dan perannya, ABRI membuat lima belas langkah implementasi di lapangan dari Paradigma Baru ABRI. Paradima baru tersebut merupakan respon TNI untuk tuntutan reformasi yang banyak disuarakan oleh kelompok masyarakat. Adapun kelima belas langkah implementasi tersebut adalah: pertama, sikap dan pandangan politik ABRI tentang paradigma baru dan peran ABRI di abad ke-21. Sikap dan pandangan ini sejatinya masih dalam tingkat wacana, sehingga implementasi di lapangannya mengalami kesulitan dan penolakan-penolakan. Wiranto sendiri mengakui bahwa sulit dan sakit rasanya mengubah sikap dan pandangan yang telah mendarah daging lebih dari 30 tahun.

Kedua, sikap dan pandangan ABRI tentang peran social dan politik ABRI. Sebagaimana dikemukakan banyak kalangan, upaya ini sangat alot sebab peran militer telah membudaya dalam kehidupan politik di Indonesia. Loren Ryter menambahkan bahwa hal yang lain juga disebabkan karena tingkat kesejahteraan anggota militer masih rendah, sehingga tak heran apabila kalangan militer seringkali tergoda oleh kekuasaan, meski tidak dengan jalan kudeta atau perebutan kekuasaan. Sementara itu Daniel Lev menyadari betul bahwa sikap dan pandangan ABRI tentang peran social dan politik terkait dengan kompensasi apa yang diberikan pada institusi militer tersebut, artinya akan sulit bagi pemerintahan sipil di Indonesia apabila tidak memberikan kompensasi yang jelas bagi pencabutan dwifungsi ABRI dan penarikan ABRI dari wilayah social dan politik. Namun demikian langkah ini dinilai maju, mengingat proses perdebatan apakah peran social politik ABRI masih dalam kerangka lama atau benar-benar dihapus. Di sinilah mungkin peran Wiranto yang cukup signifikan di mana mendorong proses perubahan gradual dalam reformasi internal ABRI sendiri, sebab sebagaimana yang diungkap Wiranto akan banyak benturan dan kemarahan sekaligus kehilangan dari anggota ABRI apabila peran yang dulu melekat di tubuh ABRI tiba-tiba hilang sama sekali.

Ketiga, pemisahan Polri dari tubuh ABRI. Pemisahan ini juga mengandung konsekuensi dan benturan di tingkat bawah, bahkan setelah resmi Polri lepas dari ABRI, benturan di tingkat bawah antara anggota Polri dan ABRI hampir tiap bulan terjadi.
Keempat, penghapusan Dewan Sosial Politik Pusat (Wansospolsus) dan Dewan Sosial Politik Daerah (Wansospolda). Kelima, perubahan staf politik menjadi staf territorial, perubahan ini tidak memakan waktu lama, sebab setelah SB. Yudhoyono diangkat menjadi menteri dalam Kabinet Wahid-Megawati jabatan tersebut hanya sekali lagi dijabat oleh Agus Widjojo setelah itu hanya menjadi jabatan di kalangan internal TNI saja, dengan kata lain tidak lagi memfungsikan diri sebagaimana yang dulu dilakukan oleh kepala Staf Teritorial terdahulu.

Keenam, likuidasi staf karyawan ABRI, Kamtibmas, dan Badan Pembinaan Kekaryaan (Babinkar). Ketujuh, penghapusan Sospoldam, Babinkardam, Sospolrem, dan Sospoldim. Kedelapan, penghapusan kekaryaan ABRI melalui pensiun alih status, langkah ini cukup alot sebab tidak semua perwira yang dikaryakan mau melakukan pensiun dini atau alih status. Perwira yang kemudian memilih tidak melakukan keduanya adalah Hendro Priyono, yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan pada Pemerintahan Habibie. Penolakan Hendro Priyono beralasan mengingat apa yang ditegaskan oleh Wiranto mengundang dilematis; pensiun dini atau menjadi perwira tanpa jabatan di Marakas Besar ABRI di Cilangkap. Meski akhirnya dapat diselesaikan dengan mengembalikannya ke Habibie sebagai presiden, namun terlihat jelas bahwa di kalangan ABRI sendiri masih terjadi pro kontra mengenai pengentasan ABRI dari wilayah social politik.

Kesembilan, pengurangan fraksi ABRI di DPR/DPRD I/II. Pengurangan ini bahkan hanya efektif pada keanggotaan parlemen Pemilu tahun 1999, sebab setelah Sidang Tahunan MPR 2002, kedudukan dan posisi ABRI di parlemen pada Pemilu 2004 sama sekali dihapus. Ketetapan ini sejalan dengan hasil Amandemen keempat UUD 1945, yang berisi tentang komposisi dari Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Kesepuluh, ABRI tidak pernah lagi terlibat dalam politik praktis (day to day politic). Meski pada prakteknya hingga implementasi lapangan mengenai Paradigma baru ABRI ini dimuat dan disebarluaskan, namun para perwira ABRI juga seringkali mengomentari hal-hal yang dalam bahasa sederhananya sebagai politik praktis. Padahal, akan lebih baik apabila perwira-pewira ABRI dapat menjaga jarak dan tidak berkomentar mengenai problematika politik praktis.
Kesebelas, pemutusan hubungan dengan Golkar dan mengambil jarak yang sama dengan semua partai politik. Kedua belas, komitmen dan konsistensi netralitas ABRI dalam Pemilu. Ketiga belas, perubahan paradigma hubungan ABRI dengan Keluarga Besar ABRI. Keempat belas, revisi piranti lunak berbagai doktrin ABRI disesuaikan dengan era reformasi dan peran ABRI abad ke-21. kelima belas, perubahan nama ABRI menjadi TNI

Dari lima belas perubahan tersebut, telah tiga belas yang direalisasikan, antara lain: pertama, Paradigma baru peran Sosial dan politik ABRI. Kedua, perubahan Staf Sosial Politik menjadi Staf Teritorial, kemudian dihapus sama sekali. Ketiga, pemisahaan Polri dari tubuh TNI. Keempat, likuidasi Staf Karyawan (Syawan), Kamtibmas, dan Badan Pembinaa Kekaryaan (Babinkar). Kelima, penghapusan kekaryaan TNI melalui keputusan pensiun dini atau alih status. Keenam, pengurangan jumlah anggota fraksi TNI di DPR/DPRD I/II, yang kemudian dihapus sama sekali pada Pemilu 2004. Ketujuh, pemutusan hubungan secara organisatoris dengan Partai Golkar dan bersifat netral dengan partai lainnya. Kedelapan, komitmen dan netralitas TNI dalam penyelenggaraan Pemilu. Kesembilan, perubahan paradigma TNI dengan Keluarga Besar TNI. Kesepuluh, ABRI tidak terlibat dalam politik praktis (day to day politic). Kesebelas, Penghapusan Wansospolpus dan wansospolda/tingkat I. Kedua belas, penghapusan Sospoldam, babinkardam, Sospolrem, dan Sospoldim. Dan ketiga belas, perubahan nama ABRI menjadi TNI.

Meski demikian, belum semua dapat dilaksanakan dengan baik, sebab perubahan yang terjadi memang bersifat gradual dan bertahap. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi perasaan marah dan tertekan dari sebagian personil di TNI. Sehingga dapat dikatakan bahwa langkah-langkah tersebut walau terkesan reaktif namun sesungguhnya merupakan langkah taktis guna mereduksi semangat Dwi Fungsi TNI yang dulu bersifat dominatif menjadi terlihat bersahabat. Agus Widjojo bahkan menyatakan lebih tegas lagi bahwa organisasi TNI itu dirancang bukan untuk menjalankan fungsi sosial politik, menurutnya fungsi utama dari TNI adalah menjaga keutuhan bangsa dan negara. Bila di masa lalu fungsi sosial politik dapat dilakukan, hal itu karena adanya monopoli unik dari Angkatan 45, memang jamannya ketika itu mendukung.

Tuntutan pengadilan HAM bagi pelanggaran yang dilakukan oleh TNI di masa lalu ikut pula menjadi bagian yang mesti diperhatikan oleh Panglima TNI dan jajarannya. Mulai dari tuduhan pelaggaran HAM pada Peristiwa 30 S/PKI, Peristiwa Tanjung Priok, Nipah, Kedung Ombo, Penculikan para aktivis, hingga Peristiwa Penembakan Mahasiswa Universitas Trisakti serta pelanggran kemanusiaan di Timor-Timur. Tentu saja tak terhitung beberapa kasus yang terjadi di beberapa daerah yang kemudian didokumentasikan sebagai tindakan melanggar HAM oleh TNI kepada masyarakat.

Wiranto melihat bahwa upaya pengadilan HAM bagi TNI telah cukup melukai hati anggota TNI. apalagi tuduhan pelanggaran HAM pada kasus Trisakti, serta penculikan aktivis membuat jenderal bintang empat ini menyatakan bahwa apa yang telah dilakukan sudah maksimal, dalam pengertian bahwa telah dilakukan penyelidikan dan pembentukan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) sebagai upaya untuk menyelesaikannya. Hanya saja sebagaimana yang diungkap oleh Huntington bahwa keberatan militer untuk dihadapkan pada pengadilan pelanggaran HAM sebagaimana tuntutan masyarakat telah diprediksikan sejak awal, sebab institusi tersebut memiliki kekhasan dalam hal organisasional. Sehingga tuntutan tersebut bukan hal yang mudah. Wiranto sendiri beranggapan bahwa pelaku penembakan mahasiswa Trisakti dan pelaku penculikan aktivis cukup dihadapkan ke Mahkamah Militer, sementara mahasiswa dan masyarakat menginginkan pengungkapan pelanggaran HAM ini di pengadilan HAM. Wiranto berkilah bahwa melalui Mahkamah Militer, TNI memiliki mekanisme sendiri untuk menghukum personilnya yang melanggar perintah sebagaimana yang ia lakukan pada Prabowo Subianto yang diberhentikan dengan hormat karena terkait dengan kasus penculikan para aktivis. Menariknya hingga kini TNI masih membiarkan Prabowo bebas. Di sinilah lalu berkembang opini bahwa tidak dihukumnya Prabowo karena terkait dengan banyak perwira yang akan dipanggil dan di sidangkan di Mahkamah Militer. Hal ini pula yang membuat kalangan mahasiswa, dan masyarakat menuntut adanya pengadilan HAM yang mampu bertindak obyektif untuk mengadili pelanggaran HAM dari TNI.

Upaya untuk mengadili pelanggaran HAM dari TNI di pengadilan HAM terinterupsi dengan adanya penyelenggaraan Sidang Umum MPR. Sementara desakan masyarakat dan mahasiswa untuk mendorong terjadinya upaya hukum bagi anggota maupun perwira TNI yang melanggar HAM sedikit banyak terpengaruh oleh semangat untuk mendorong terpilihnya presiden baru. Harapan bagi terbentuknya Pengadilan HAM pada pemerintah baru lebih terbuka, sebab mengadili pelanggaran HAM dari militer sama sulitnya dengan membangun pemerintahan demokratis pasca pemeritahan otoriter. Artinya bahwa peluang untuk mengadili pelanggaran HAM dari militer tergantung dari kebijakan pemerintahan baru, ini juga konsekuensinya memakan waktu yang cukup lama.

IV. Dinamika Reformasi dalam Pemerintahan Wahid dan Megawati

Sebagaimana yang diulas di atas, kemenangan PDI Perjuangan dalam Pemilu 1999 membuat dilematis TNI, sebab kemenangan tersebut di satu sisi memberikan satu alternatif bagi TNI untuk bermitra setelah secara resmi memutuskan hubungan dengan Partai Golkar. Kemitraan ini dilandasi oleh kesamaan platform pada komitmen untuk menjaga tetap utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun di sisi lain, pendulum politik tidak mengarah kepada PDI Perjuangan, faktor Megawati Soekarnoputri, sang Ketua Umum menjadi ganjalan. Apalagi disinyalir partai banteng dalam lingkaran ini juga menampung suara eks anggota PKI.

Nama Megawati Soekarnoputri harus diakui tidak begitu diterima oleh sebagian besar partai-partai yang memperoleh kursi di parlemen, selain karena faktor gender; perempuan, putri pertama Soekarno ini masih dicurigai sebagai pembawa performa dan nilai-nilai yang diajarkan oleh Bung Karno; Marhaenisme. Apalagi ketika laporan peratanggungjawaban Hiabibie ditolak oleh peserta Sidang Umum MPR. Munculnya wacana calon presiden alternatif yang digagas oleh Poros Tengah pimpinan Amien Rais telah membuka kebuntuan semua pihak, terutama kelompok Islam yang kalah pada voting terhadap laporan pertanggungjawaban Habibie, dan TNI. Sebagaimana yang diungkap di atas, kekuatiran naiknya Megawati Soekarnoputri ini telah membuat TNI sepakat dengan memunculkan calon presiden alternatif yang diusung oleh Poros Tengah. Meski SB. Yudhoyono menyatakan bahwa TNI akan patuh pada proses demokrasi.

Secara umum apa yang akan disuarakan oleh Fraksi TNI dan Polri di dalam majelis nanti sama halnya dengan kewajiban anggota fraksi lainnya. Misalnya tentang upaya penyelamatan negara, penentuan garis haluan negara, perbaikan ekonomi, termasuk criteria pimpinan nasional, yang bagi TNI kriteria pimpinan nasional adalah yang sanggup memimpin kita semua dalam melaksanakan tugas nasional. Tapi TNI berharap yang terpilih nanti adalah putra terbaik bangsa.

Perlahan namun pasti Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang dulu menjadi pendukung berat Habibie melompat ke Poros Tengah, dan menjadi motor Poros Tengah bersama Partai Amanat Nasional (PAN). Pindahnya PPP menambah kekuatan koalisi tersebut. Poros Tengah memang menerima tawaran Abdurrahman Wahid untuk dijadikan sebagai calon alternatif. Sejak Pasca Pemilu 1999, Wahid telah melakukan lobi-lobi untuk mencalonkan diri sebagai calon presiden alternatif. Dalam pandangan Wahid, Sidang Umum MPR akan mengalami kebuntuan (deadlock) karena pendukung Megawati dan Habibie akan sama-sama ingin menang, yang akan membuat konflik antar elit menjadi-jadi, sehingga penting adanya calon alternatif.

Upaya Poros Tengah dan kesediaan Wahid menjadi calon presiden alternatif memberikan semacam stimuli bagi TNI untuk menjatuhkan pilihannya kepada Wahid, apalagi bandul politik PDI Perjuangan dan Megawati makin menjauh. Langkah TNI merapat ke Wahid ini dapat dilihat dari pernyataan Syamsul Ma’arif, yang menjadi kapuspen hankam/TNI waktu itu.
Sekarang ini tidak ada mayoritas. Yang ada itu mayoritas relatif. Artinya meski ada yang menang ‘mayoritas’, bila kekuatan yang lain mendukung partai ‘minoritas’, maka yang ‘minoritas’ ini bisa jadi unggul. Jadi yang menang (pemilu) jangan terus merasa bisa mengambil apa saja.

Selain mendukung adanya calon alternatif, TNI juga menyiapkan calon dari kalangan TNI sendiri, yakni Wiranto. Meski masih menantikan ke arah mana bandul politik akan mengarah, TNI dengan representasi Wiranto banyak melakukan pertemuan dengan elit-elit politik. Di samping untuk tetap menjaga agar posisi tawar TNI dengan pemerintahan yang terpilih nanti tetap tinggi, juga untuk menjajaki kemungkinan berperan aktif dalam proses lobi-lobi politik. Langkah ini dianggap oleh Agus Wirahadikusumah sebagai proses yang biasa saja, sebab perwira kritis ini mendapat penegasan bahwa Wiranto tidak punya ambisi ke istana. Sedangkan Sudrajat mengatakan bahwa TNI konsisten untuk menjaga jarak dengan partai-partai politik.

Akan tetapi, Wiranto membantah kalau TNI bermain dalam dinamika politik menjelang Sidang Umum dan Pemilihan Presiden, apalagi keinginan untuk mengambil alih kekuasaan.
Apa pun yang akan terjadi, ABRI akan tetap mengarahkan semua penyelesaian melalui jalur konstitusi dan mekanisme demokrasi. Itulah jaminan saya kepada para politisi dan masyarakat.

Penegasan Wiranto juga tertuang pada tiga keputusan yang diambilnya menjelang Sidang Umum MPR 1999 yakni, pertama, ABRI dalam hal ini Fraksi ABRI tetap akan menggunakan haknya dengan memberikan suara dalam one person one vote. Mengebiri hak tersebut justru bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi yang ingin kita kembangkan. Kedua, keputusan untuk memberikan suaranya kepada siapa tidak diserahkan melalui jalur komando, namun sepenuhnya diserahkan kepada para anggota fraksi. Pimpinan ABRI sangat yakin akan kedewasaan dan kematangan anggota fraksi untuk memilih yang terbaik untuk bangsanya. Ketiga, pimpinan ABRI hanya memberikan kriteria bahwa pimpinan nasional yang diharapkan adalah putra atau putri terbaik bangsa, memiliki kapasitas dan integritas untuk memimpin negara terutama dalam menghadapi krisis, dan mampu melanjutkan reformasi serta pembangunan nasional.

Penegasan tersebut ternyata tidak sesuai dengan dinamika yang terjadi. TNI cenderung melakukan pembacaan situasi politik, pembacaan politik tersebut awalnya mendukung Habibie, namun ketika pertanggungjawaban Habibie ditolak, TNI mengarahkan dukungannya ke Wahid yang disokong oleh Poros Tengah. Wiranto berkilah bahwa dukungan ke Wahid dari TNI tersebut sebagai usaha untuk kepentingan bangsa dan negara. Sehingga dapat ditebak, Wahid melenggang ke kursi kepresidenan dengan selisih 60 angka, mengalahkan Megawati. Secara sistematis begitu pertanggungjawaban Habibie ditolak, para pendukungnya di parlemen mengarahkan suara ke Wahid dengan dukungan Poros Tengah. Yusril Ihza Mahendra, Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) yang menyertai Wahid dan Megawati ikut dalam pemilihan presiden menarik diri untuk memberikan kesempatan ke Wahid. Sementara Wiranto yang sudah pasang kuda-kuda untuk turun digelanggang urung tampil, setelah melihat dukungan ke Wahid melimpah ruah.

Langkah Wahid ini melukai hati pendukung PDI Perjuangan, setidaknya dua kali PDI Perjuangan ditelikung pada saat Sidang Umum MPR 1999. Pertama, janji Wahid dan dukungan PKB kepada Megawati untuk memberikan kesempatan pada putri pertama Bung Karno tersebut untuk berkuasa. Nyatanya Wahid justru melakukan kerja-kerja politik untuk mengangkat dirinya sebagai calon presiden alternatif. Wahid sendiri sesungguhnya telah diingatkan oleh beberapa kiai sepuh Nahdlatul Ulama untuk memberi kesempatan pada Megawati.

“Saya katakan bahwa kehendak teman-teman kalau sampai saya menang jadi presiden, Mbak Mega jadi ketua DPR, ketua DPA, atau ketua umum oposisi. Bisa pilih. Saya sendiri lebih senang kalau sampeyan jadi ketua oposisi karena kita membutuhkan oposisi yang berkualitas tinggi, untuk mengoreksi, mengontrol.”

Kedua , oleh TNI, PDI Perjuangan merasa ditinggalkan oleh langkah TNI yang beralih mendukung ke Wahid, padahal PDI Perjuangan merasa telah mengakomodir keinginan-keinginan TNI, yang kemudian ditegaskan dengan masuknya beberapa purnawirawan jenderal ke partai tersebut. Apalagi Agum Gumelar, Hendropriyono, dan Endriartono Sutarto relatif memiliki kedekatan dengan Megawati dan PDI Perjuangan.

Pramono Anung sendiri merasa bahwa kader-kader PDI Perjuangan di parlemen saat itu belum memiliki kelenturan untuk melakukan lobi-lobi kepada kelompok-kelompok lain yang ada di parlemen, di samping kekuatan yang besar akan figure Megawati yang dipandang sebagai faktor yang tidak bisa dielakkan. Kekalahan Megawati dalam pemilihan presiden tersebut membuat pendukungnya marah, sehingga kerusuhan dan aksi perusakan di Bali, Surakarta, Yogyakarta, Jakarta, serta kota-kota lain membuat elit politik sipil dan TNI di Jakarta harus berpikir ulang untuk benar-benar meminggirkan Megawati dari kekuasaan. Wahid ketika pertama kali terpilih mengajukan wakil presidennya adalah Megawati. Wahid berpendapat bahwa jika membiarkan Megawati di luar kekuasaan, akan membuat bangsa dan negara ini makin tidak jelas. Pernyataan ini memang jauh berubah dari apa yang diucapkannya sebelum menjadi presiden. Pelunakan sikap ini selain disebabkan kondisi daerah yang dilanda kerusakan akibat kekalahan Megawati, juga Wahid ingin menebus janjinya untuk mendudukkan Megawati di kursi kekuasaan, meski bukan jabatan presiden.

Keputusan Wahid ternyata disambut positif oleh elit politik lain yang memenangkan dirinya, Poros Tengah. Tindak lanjut dari keinginan untuk mendudukkan Megawati ke kursi wakil presiden adalah melobi semua komponen yang ada di parlemen, termasuk unsur TNI. Wiranto yang awalnya kukuh untuk maju sebagai calon wakil presiden akhirnya memilih mundur dari gelanggang untuk kembali memberi jalan kepada elit politik sipil untuk duduk sebagai wakil presiden.
Ketika saya bertemu dengan Ibu Megawati, saya sampaikan sikap saya untuk tidak melanjutkan mengikuti proses pemilihan wakil presiden karena bagi saya kekuasaan bukanlah segala-galanya. Apalagi kalau demi mencapainya, saya harus mengorbankan keamanan nasional dan kepentingan rakyat banyak.

Mundurnya Wiranto dari bursa calon wakil presiden membuat dukungan Fraksi TNI/Polri bulat ke Megawati. Sehingga mudah ditebak, Megawati melenggang ke kursi wakil presiden, meski sempat terganjal oleh kukuhnya Hamzah Haz untuk terus maju dalam pemilihan tersebut. Namun Megawati unggul lebih dari 100 angka dari Hamzah Haz. Akan tetapi, ada yang menarik dengan kemunduran Wiranto dari bursa calon wakil presiden, sebab Wiranto memang menginginkan jabatan tersebut sebagai tangga meraih kekuasaan yang lebih tinggi lagi; presiden. Disinyalir ada kesepakatan antara Wahid dengan Wiranto, setidaknya ada dua indikasi. Pertama, ada pertemuan empat mata antara utusan Wahid dengan Wiranto, serta antara Wiranto dengan Megawati di rumah dinas Wiranto. Kedua, diikutsertakannya Wiranto ke dalam tim formatur yang menggodok susunan kabinet.

TNI setidaknya dapat bernafas lega dengan naiknya duet Abdurrahman Wahid-Megawati menjadi presiden-wakil presiden. Kekuatiran TNI pada figure Megawati dapat terkontrol oleh posisi Wahid yang cenderung lebih lunak dan juga dari kalangan Islam tradisional, yang tidak memiliki tradisi radikal, seperti Megawati dengan PDI Perjuangan dan akar nasionalisme yang diturunkan oleh ayahnya. Akan tetapi sejatinya, asumsi TNI tidaklah demikian, justru sebaliknya, Wahid memiliki pemikiran dan kebijakan yang akan menyulitkan TNI dikemudian hari. Hal ini tergambar dari sangat terganggunya Wiranto oleh model kepemimpinan Wahid yang kental dengan tradisi kepesantrenan. Wiranto melihat pola kepemimpinan Wahid yang selalu merasa betul dan tidak boleh dibantah telah menyulitkan posisi TNI, meski usulan Wiranto untuk mendudukkan Prof. Dr. Juwono Sudarsono sebagai menteri pertahanan, dan Laksamana Widodo AS sebagai Panglima TNI disetujui oleh formatur dan Wahid sendiri.

Kejengkelan Wiranto terjadi ketika Wahid menolak usulannya untuk mendudukkan SB Yudhoyono sebagai Kepala Staf TNI AD (Kasad). Menurut wahid, Yudhoyono terlalu kental warna dan pemikiran politiknya. Wiranto kemudian melakukan bargaining position dengan rencana kemundurannya dari jabatan Menkopolkam bila Yudhoyono urung menjadi Kasad, namun langkah tersebut tidak diterima Wahid, justru presiden ke-IV RI tersebut makin kukuh untuk menjadikan Tyasno Sudarto sebagai Kasad. Yudhoyono sendiri diserahi tugas sebagai menteri pertambangan dan energi.

Sebenarnya Wiranto tidak perlu jengkel dengan kebijakan Wahid soal urungnya Yudhoyono menjabat sebagai Kasad, faktanya dalam kabinet yang dibentuk oleh tim formatur yang terdiri dari Wahid, Megawati, Akbar Tanjung, Amien Rais, dan Wiranto sendiri cukup banyak perwira TNI yang memegang jabatan pada kabinet duet Wahid-Megawati. Selain jabatan Menkopolkam yang dijabat dirinya, Panglima TNI, yang dipegang oleh Laksamana Widodo AS, wakil Panglima TNI, fachrul Razi, Menteri Perhubungan dipegang oleh Agum Gumelar, Menteri Pertambangan dan Energi, SB. Yudhoyono, Menteri Negara Pendayaan Aparatur Negara, Freddy Numberi, serta purnawirawan TNI yang menduduki jabatan sebagai Menteri Dalam Negeri, Surjadi Sudirdja. Artinya bahwa Wahid cukup mengakomodir kekuatan TNI sebagai salah satu institusi yang signifikan mempengaruhi perpolitikan di Indonesia. Menurut Wahid kebijakan yang ia lakukan untuk mengangkat menteri dari unsur TNI sebagai salah satu strategi untuk menampung orang-orang TNI yang terlalu berpikiran politis di bidang politik. Sampai Marsilam Simanjuntak, teman lama Wahid di Forum Demokrasi mengatakan bahwa Kabinet Wahid lebih status quo dibandingkan dengan Kabinet yang dipimpin Habibie sekalipun. Meski begitu Wahid tetap membuat kebijakan tersebut, sebab jika tidak dilakukan, TNI akan terlalu memikirkan hal-hal yang berbau politik, bukan di bidang militer. Sedangkan tentang adanya keluhan Wiranto terhadap langkah Wahid yang mengangkat Tyasno Sudarto sebagai Kasad menggambarkan kekuatiran Wiranto akan ekses dari kebijakan yang dibuat Wahid menyangkut depolitisasi TNI.

Kebijakan Wahid yang menempatkan Juwono Sudarsono sebagai Menteri Pertahanan dari sipil dipandang oleh banyak pihak sebagai langkah maju. Penempatan Juwono merupakan langkah awal dari tekad Wahid untuk mendorong reformasi dan profesionalisme di tubuh TNI. Apalagi upaya Wahid sebagai pejuang demokrasi untuk menegakkan nilai-nilai demokrasi membutuhkan pemerintahan sipil yang mampu mengontrol militer. Sebab proses transisi demokrasi membutuhkan pranata politik yang tidak lagi melibatkan militer dalam kehidupan politik secara luas. Kebijakan Wahid untuk mengangkat Juwono sebagai Menteri Pertahanan yang lebih dari 40 tahun dikuasai oleh kalangan militer dinilai sebagai langkah untuk meminimalisir peran politik TNI dan menampilkan wajah sipil di Departemen Pertahanan. Wahid mengatakan bahwa, penempatan Juwono sebagai Menteri Pertahanan diharapkan akan memperkuat konsolidasi sipil dalam transisi demokrasi yang tengah berjalan.

Meski perwajahan sipil yang ditampilkan dengan pengangkatan Juwono sebagai Menteri Pertahanan, namun sejatinya Juwono bukanlah orang baru bagi kalangan TNI. Sebab Juwono relatif dekat dengan para perwira di TNI dan bergaul cukup lama saat menjadi wakil Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas). Sehingga disinyalir bahwa Juwono tidak cukup mampu mengendalikan Departemen Pertahanan dengan perspektif sipil. Simak pernyataan Wiranto yang menyambut baik kenaikan Juwono sebagai Menteri Pertahanan. Juwono dalam pandangan Wiranto dinilai cukup memenuhi syarat dan menguasai penganalisaan dan perencanaan yang berkaitan dengan ancaman keamanan dan pertahanan. Meski diakui oleh Ben Anderson bahwa kebijakan pengangkatan Juwono Sudarsono menjadi Menteri Pertahanan tersebut merupakan sesuatu yang menggembirakan bagi iklim politik di Indonesia yang selama kurun waktu 30 tahun didominasi oleh kultur militeristik.

Dapat ditebak, meski relatif dekat dengan kalangan perwira TNI, Juwono mengalami kesulitan dalam melakukan proses sipilisasi di Departemean Pertahanan. Tak heran apabila Juwono hanyalah menjadi bagian dari upaya sipil untuk mencoba menggeser dominasi militer di Departemen pertahanan. Hal ini dapat dilihat pada minimnya langkah Juwono dalam memberikan warna yang bernuansa sipil dalam memimpin Departemen Pertahanan. Hal ini tercermin dari masih dominannya jabatan eselon satu di Departemen Pertahanan masih diisi oleh perwira aktif TNI, hampir tidak ada pejabat sipil yang mengisi eselon satu. Dapat dipahami kesulitan Juwono karena upaya pembangunan superioritas sipil atas militer di mana pun akan mengalami kesulitan yang sama, sebab TNI cenderung bertahan pada upaya untuk tetap menjaga eksistensinya.

Akan tetapi langkah Wahid dan upaya Juwono untuk membangun pemerintahan sipil yang berwibawa di mata militer patut dihargai, sebab bagaimanapun kebijakan Wahid dan upaya Juwono di Departemen Pertahanan merupakan pondasi bagi transisi demokrasi yang sedang berlangsung di Indonesia. Sehingga tak heran apabila Wahid melanjutkan kebijakan pengangkatan menteri sipil untuk mengisi jabatan Menteri Pertahanan menggantikan Juwono Sudarsono, yakni Machfud MD, Guru Besar Tata Negara dari Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Dalam kepemimpinan Machfud MD, relatif Departemen Pertahanan yang ia pimpin mampu melakukan akselerasi politik yang berujung pada subordinasi sipil atas militer. Salah satu langkah Mahcfud MD yang relatif lebih maju dari Juwono adalah perombakan struktur Organisasi Departemen Pertahanan, yang sepeninggal Juwono masih diduduki oleh pejabat militer, maka Machfud membuat kebijakan dengan mengangkat pejabat sipil mengisi jabatan-jabatan di lingkungan Departemen Pertahanan, khususnya eselon satu. Di samping itu juga, dalam kepemimpinan Machfud MD, Departemen Pertahanan juga menyiapkan materi RUU Pertahanan dengan perwajahan sipil.

Yang patut digarisbawahi adalah pengangkatan Panglima TNI dari matra laut, Laksamana Widodo AS merupakan yang pertama sepanjang Indonesia merdeka, sebab selama ini jabatan Panglima TNI selalu dipegang oleh perwira tinggi dari matra darat. Sehingga pengangkatan Widodo AS dapat dikatakan sebagai langkah progresif dan pemecahan mitos yang selama ini menjadi fatsun bagi proses pengisian jabatan strategis di lingkungan TNI. Di samping itu kebijakan Wahid juga membuka peluang yang sama bagi semua unsur yang ada di TNI untuk menjabat sebagai Panglima TNI secara sehat dan adil. Memang pernah ada pengisian jabatan di luar unsur darat, yakni Laksamana Sudomo yang sempat menjabat sebagai Pangkopkamtib dan Wakil Panglima ABRI (TNI-pen). Namun pengangkatan tersebut bukan karena landasan profesionalisme, tapi karena kedekatan personal Sudomo dengan Soeharto, presiden waktu itu. Sehingga dapat dikatan bahwa pengangkatan Widodo AS merupakan langkah strategis bagi upaya untuk membuka celah profesionalisme dengan pendekatan kompetisi antar angkatan. Indria Samego menegaskan bahwa kebijakan Wahid merupakan upaya pemerataan untuk memberikan kesempatan pada semua matra di TNI, bukan kedekatan personal sebagaimana dalam kasus Sudomo. Hal ini sejalan dengan pemikiran Wahid untuk menerapkan konsep dasar ketahanan nasional tidak lagi tertumpu pada ketahanan teritorial dipuji banyak orang sebagai langkah maju, sehingga Panglima TNI dijabat oleh Widodo sebagai langkah awal untuk menggeser konsep dasar tersebut.

Di samping itu juga, Wahid membuat kebijakan yang tak kalah progresifnya dengan memisahkan jabatan Panglima TNI dengan Menhankam yang selama beberapa tahun digabung dan disatukankekuasaan. Pemisahan ini jelas akan mempengaruhi struktur TNI secara menyeluruh, yang salah satunya adalah pemisahan Polri dari TNI. Wahid pun mengusulkan pemisahan TNI-Polri dan menempatkan TNI dan Polri langsung di bawah presiden. Wahid berpikir bahwa penyatuan antara TNI dengan Polri hanya akan memberikan warna dan citra militeristik di Polri, sehingga pemisahan tersebut adalah upaya untuk membangun Polri yang mampu bertugas sebagai alat pengamanan dengan menampilkan citra sipil. Pemisahan ini ditegaskan dalam Ketetapan MPR/VI/2000 tentang pemisahaan TNI dari Polri. Pasal 1 dari Tap tersebut berbunyi: “Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia secara kelembagaan terpisah sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing”. Pasal 2 memberikan penguatan pada tugas TNI dan Polri masing-masing yang berbunyi, Pasal 1: “TNI salah alat negara yang berperan dalam pertahanan negara”. Ayat 2 berbunyi: “ TNI adalah alat negara yang berperang dalam pertahanan negara”. Ayat 2 berbunyi: “Kepolisian Negara RI adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan”.

Ketetapan tersebut mengandung lima perubahan penting, yakni, pertama, ditegaskan bahwa TNI dan Polri adalah alat negara. Kedua, masing-masing memiliki tugas yang berbeda yaitu TNI dalam bidang pertahanan dan Polri pada bidang keamanan. Ketiga, Panglima TNI diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas persetujuan DPR. Keempat, Polri berada di bawah presiden. Lima pengangkatan dan pemberhentian Kapolri dilakukan oleh presiden dengan persetujuan DPR.
Selain itu Wahid juga mengangkat Ian Perdanakusuma, salah satu perwira tinggi dari TNI AU untuk memimpin Badan Intelejen Strategis (Bais), serta pengangkatan Graito Husodo, juga dari unsur udara untuk memimpin Pusat Penerangan TNI. pengangkatan keduanya dapat dilihat dari dua sisi, dari sisi kepemimpinan sipil diasumsikan untuk meratakan jabatan di lingkungan TNI yang sebelumnya hanya didominasi oleh TNI AD. Sedangkan dari sudut pandang TNI AU dan TNI AL merupakan bentuk kepercayaan yang kembali diraih setelah lebih dari 30 tahun kedua unsur tersebut jarang memegang jabatan strategis di lingkungan TNI, apalagi kedua unsur dalam TNI tersebut disinyalir terkait dalam Pemberontakan G 30 S/PKI tahun 1965.

Upaya Wahid untuk membuka jalan bagi mulusnya transisi demokrasi terus dilakukan, salah satunya adalah penghapusan Bakortanas dan lembaga Litsus yang diketahui merupakan sarana bagi militer untuk melakukan pembungkaman aspirasi dan kemerdekaan masyarakat. Penghapusan Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakortanas) dan Lembaga Penelitian Khusus (Litsus) ini dikeluarkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 38/2000 tanggal 10 Maret 2000. sebagaimana diketahui, kedua lembaga tersebut menjadi instrumen efektif pemerintahan Orde baru untuk membatasi, melarang, menghambat, bahkan melakukan intimidasi suara-suara kritis terhadap pemerintahan Orde Baru yang disuarakan oleh masyarakat, di mana tulang punggung operasionalnya terletak di TNI. Padahal, fungsi sesungguhnya dari Bakortanas sesuai dengan Keppres Nomor 29 tahun 1988 diantaranya adalah mengkoordinasikan upaya departemen dan instansi terkait dalam rangka pemulihan, pemeliharaan dan pemantapan stabilitas nasional dari berbagai hambatan, tantangan, ancaman, dan gangguan, sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Di sinilah pentingnya penghapusan Bakortanas karena telah menyimpang dari tujuan dan fungsi dari pembentukannya. Bakortanas justru berfungsi sebagai pengganti dari Komando Pemeliharaan Keamanan dan Ketertiban (kopkamtib) yang mengurusi segala hal aktivitas masyarakat yang dianggap memiliki kecenderungan mengganggu stabilitas keamanan negara, tak heran apabila Bakortanas sampai mengurisi masalah perburuhan, sangketa tanah hingga permasalahan kemahasiswaan.

Demikian juga dengan pecabutan Keppres Nomor 16 Tahun 1990 tentang Lembaga Penelitian Khusus (Litsus), dengan sendirinya maka segala hal yang berhubungan dengan kegiatan Litsus mengenai ‘pembersihan’ dari ancaman unsur-unsur Partai Komunis Indonesia (PKI) ataupun yang lainnya dapat segera dihentikan. Sebab dalam hukum ada prinsip praduga tak bersalah terhadap semua warga negara. Simak pernyataan Marsilam Simanjuntak yang mengomentari pencabutan dua Keppres No. 29/1988 dan Nomor 16/1990.

“Yang dilakukan oleh pemerintah sekarang adalah berprasangka baik kepada semua orang. Semua dianggap bersih, sebelum dibuktikan kotor. Tidak ada yang dianggap ancaman sampai ancaman itu timbul dan dideteksi oleh intelejen.”

Selain melakukan kebijakan yang membuat pondasi bagi transisi demokrasi di Indonesia, Wahid juga melakukan kebijakan yang lebih intensif dengan melakukan pengangkatan dan pemutasian di lingkungan TNI. Langkah ini sebenarnya bukan hal baru, karena era Soeharto pun juga demikian, namun seperti yang diungkap oleh Sudrajat bahwa apa yang dilakukan selain keluar dari pakem profesionalisme TNI sebagaimana tujuan Wahid, juga memberikan efek psikologis yang besar di kalangan TNI. Meskipun demikian, langkah Wahid untuk meminta mundur Wiranto dari jabatannya banyak didukung oleh masyarakat, sedangkan di kalangan TNI terjadi pro dan kontra terhadap kebijakan tersebut. Wahid sendiri menegaskan bahwa pemberhentian Wiranto adalah sebuah kebijakan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.

“Pemberhentian Pak Wiranto dari jabatannya karena terkait dengan pelanggaran HAM di Timor-Timur. Saya tidak akan membiarkan Pemerintahan yang saya pimpin menjadi ternoda hanya karena kesalahan satu orang. Pokoknya yang bersangkutan pasti akan saya minta mundur dari jabatannya.”

Pemberhentian Wiranto dari Menkopolkam adalah bukti bahwa Wahid serius dalam menangani penegakan hukum, tak peduli apakah Wiranto memiliki pengaruh yang luas di kalangan TNI karena bekas Panglima TNI. Menurut laporan dari KPP HAM dianggap bertanggung jawab dalam kejahatan kemanusiaan di Timor Timur pada saat pembumihangusan Dili dan kota-kota lainnya. Langkah ini dianggap sebagai kemenangan Wahid atas militer. Harold Crouch mengatakan bahwa upaya Wahid makin memberikan keleluasaan bagi pemerintahan Wahid untuk dapat keluar dari krisis dan transisi demokrasi.

Kebijakan ini sebenarnya memang Hak Prerogatif Wahid selaku Presiden, hanya saja Wahid memang mengeksposnya dalam beberapa kesempatan dalam lawatannya ke luar negeri sehingga opini yang terbentuk mampu mengangkat popularitas Wahid, baik dari luar negeri maupun dalam negeri. Sedangkan TNI masih terlibat pro dan kontra menyambut pencopotan Wiranto dari jabatan Menkopolkam. Di kalangan TNI justru yang dipermasalahkan bukan pencopotannya, namun cara Wahid melakukan pencopotan tersebut, yang justru membangun simpati di kalangan perwira TNI, dan para purnawirawan. Salah satu perwira tinggi yang bereaksi mendukung Wiranto dan menentang pencopotan dan rencana pemanggilan KPP HAM adalah Djaja Suparman. Menurut Djaja Suparman langkah pemanggilan dan pemeriksaan para perwira TNI akan membuat prajurit hati dan bersikap membabi buta. Djaja menambahkan pemanggilan KKP HAM merupakan puncak ketidakpuasan prajurit. Sementara mantan Kepala Staf Umum, Soejono menyatakan bahwa langkah Wahid bukan saja tidak etis tapi juga membuat perwira TNI merasa terinjak-injak kehormatannya.

“Bagi tentara kehormatan itu adalah segala-galanya. Bolehlah harta benda tentara habis, tapi kehormatannya tidak habis. (Sehingga) yang saya sayangkan mengapa (pencopotan Wiranto) ini menjadi komoditas, baik oleh Komnas HAM maupun pemerintah untuk mencari bantuan yang lebih besar lagi dari negara asing.”

Sementara itu, menyusul pencopotan Wiranto dari jabatannya, pergantian di tubuh TNI juga terjadi. Soegiono, salah satu perwira tinggi yang lebih cakap dari Fachrul Razi justru tidak dinaikkan menjadi Wakil Panglima TNI. Soegiono hanya menjabat sebagai Sekretaris Departemen Pertahanan menggantikan Fachrul Razi yang menjabat sebagai Wakil Panglima TNI. Kenaikan Fachrul Razi menajadi wakil panglima disinyalir karena kedekatannya dengan Wiranto. Ikrar Nusa Bhakti menungkapkan bahwa ada kejanggalan naiknya Fachrul Razi dan pemutasian perwira di lingkungan TNI.

Kelihatannya pergantian itu keinginan dia (Wiranto-pen) pribadi, dan bukan untuk kepentingan bersama. Keputusan ini sangat mencurigakan, apalagi Panglma TNI saat ini berasal dari TNI AL. Seharusnya Panglima yang menentukan, karena jajaran yang di bawahnya harus dapat bekerja sama dengan pimpinan (Panglima TNI)

Sedangkan J. Kristiadi justru beranggapan bahwa mutasi yang terjadi pada 4 November 1999 tersebut merupakan implimentasi profesionalisme TNI, dengan penempatan perwira yang cakap dalam posisi-posisi kunci dan panglima daerah militer. Kristiadi juga melihat bahwa upaya dari TNI untuk mencoba mengendalikan gejolak yang terjadi di daerah, setidaknya pengangkatan Fachrul Razi yang di mata banyak pengamat telah habis kariernya ketika diposkan menjadi sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan justru dikaitkan dengan daerah asal dari Fachrul Razi yang tengah bergolak. Namun tentu saja penempatan Fachrul Razi tidak serta merta meredakan ketegangan di Aceh, sebab perubahan doktrin TNI menjadi penentu dari upaya penyelesaian gejolak di beberapa daerah, yang melibatkan TNI secara aktif dalam upaya tersebut.

Kebijakan Wahid untuk kembali memutasikan beberapa perwira di lingkungan TNI terjadi pada tanggal 28 Februari 2000 setelah Wiranto dicopot dari jabatannya. Upaya untuk tidak menghubung-hubungkan dengan mutasi yang dilakukan pada awal November 1999 ternyata sulit, sebab mutasi kali ini melibatkan 74 posisi perwira tinggi di lingkungan TNI. Jabatan penting yang biasanya diberikan pada perwira TNI AD jatuh ke perwira tinggi di luar TNI AD, yakni jabatan Kepala Pusat Penerangan (kapuspen) TNI dipegang oleh Graito Husodo. Sementara itu juga, naiknya Agus Wirahadikusumah menjadi Pangkostrad banyak mengundang tanya besar, sebab Agus WK dinilai perwira tinggi yang tidak menampilkan kekompakan di tubuh TNI. namun campur tangan Wahid dalam proses mutasi tersebut dinilai sudah sangat berlebihan Syarwan Hamid, mantan kasospol TNI dan Mendagri mengeluhkan adanya kehendak-kehendak lain di luar TNI yang mempromosikan perwira tinggi yang tidak disiplin akan menjadi preseden buruk bagi pemerintahan (Wahid) di kemudian hari. keluhan Syarwan Hamid memang sudah sangat terasa ketika Suady Marasabessy, kasum TNI menolak dimutasikan ke Komandan Pendidikan dan Latihan (Kodiklat) karena tidak mau menyalip jabatan seniornya. Upaya penolakan tersebut adalah cerminan bahwa internal TNI sudah gerah dengan kebijakn Wahid yang dinilai sudah terlalu dalam. Meski harus diakui bahwa mutasi kali ini merupakan bentuk kemenangan perwira yang reformis terhadap perwira yang konservatif.

Kenyataanya kebijakan Wahid terhadap proses reformasi dan profesionalisme di tubuh TNI sebagaimana yang diungkap di atas telah merubah peta faksi di tubuh TNI. Bila era Soeharto dan Habibie dikenal adanya TNI Hijau dan TNI Merah Putih, maka masa kepemimpinan Wahid berubah menjadi faksi TNI reformis dan TNI konservatif. Faksi TNI Reformis diwakili oleh Agus Wirahadikusumah yang dikenal kritis melihat reformasi yang tengah terjadi di tubuh TNI.
‘Pembusukan’ dalam tubuh militer itu terjadi karena ketidakberesan dalam soal manajemen, khususnya yang menyangkut proses pembinaan karier. Di sini ada orang-orang militer yang tidak tidak profesional dan bukan pada tempat mereka, tetapi bisa naik pangkat dan menduduki jabatan strategis.

Sementara itu faksi TNI konservatif masih berada di seputar Wiranto, sebut saja Pangkostrad, Djaja Suparman. Wahid yang melihat upaya pengkubuan sudah tidak cukup sehat bagi pemerintahannya segera mendatangi kediaman Wiranto guna meredakan ketegangan yang terjadi sebagai akibat dari penggusuran beberapa perwira tinggi dari jabatannya. Meski kemudian sedikit reda, namun upaya para jenderal tersebut untuk menjatuhkan Agus WK dari jabatannya sekarang kembali mengemuka. Perwira tinggi tersebut melihat Agus WK sebagai kerikil dalam sepatu TNI, karena telah ‘menjual’ kehormatan TNI hanya untuk membeli popularitas. Uniknya Widodo AS menampik adanya faksi dan ketegangan di dalam tubuh TNI. Menurutnya apa yang terdengar di luar sebagai perpecahan dan konflik merupakan wacana di internal TNI.

Namun klarifikasi Widodo AS bahwa tidak ada ketegangan dan pengkubuan di tubuh TNI ditampik oleh pernyataan keras Sudrajat, yang kebijakan Wahid cenderung mencampuri terlalu jauh urusan TNI dinilai Sudrajat sebagai langkah yang tidak diatur dalam UUD 1945.

“Presiden hanyalah pemegang kekuasaan tertinggi atas AD, AL, dan AU sebagaimana yang tertera dalam Pasal 10 UUD 1945, presiden tidak berarti mempunyai kekuasaan dalam arti mengatur sampai tingkat keprajuritan seperti mutasi. Kekuasaan Presiden adalah memberikan perintah (in command) kepada AD, AL, dan AU dalam konteks membela negara.”

Pernyataan Sudrajat menjadi salah satu polemik hubungan Wahid dengan TNI. bahkan dapat dikatakan bahwa sikap politik TNI makin terkikis dengan kebijakan Wahid yang cenderung terlalu ke dalam tubuh TNI. Meskipun pernyataan Sudrajat oleh Agus Widjojo dikatakan sebagai pernyataan yang tidak etis, akan tetapi sesungguhnya upaya untuk menarik garis terhadap Wahid makin kuat. Tak heran apabila isu rencana kudeta oleh TNI pun dihembuskan kembali, sampai-sampai Widodo AS bersama jajarannya menghadap Wahid dan meyakinkan bahwa tidak ada rencana kudeta dan pengambilalihan kekuasaan oleh TNI.

Ketika Wahid mengeluarkan pernyataan untuk dimungkinkannya referendum di Aceh, gesekan secara terbuka langsung mengemuka, antara Wahid dengan TNI yang disuarakan oleh Sudrajat. Menurut Sudrajat referendum di Aceh hanya akan memberikan ekses negatif bagi bangsa dan negara, apalagi bila referendum tersebut salah satu pilihannya adalah merdeka, TNI pasti menolaknya. Buntut dari pernyataan tersebut Sudrajat digantikan oleh Graito Husodo. Wiranto sendiri diminta non aktif dan akhirnya dicopot dari jabatannya karena karena tekanan yang kuat dari negara-negara internasional yang melihat Wiranto sebagai simbol Orde Baru yang dianggap sebagai pelaku kejahatan kemanusiaan di Timor Timur, juga tuntutan dari dalam negeri untuk mencopotnya dari jabatan tersebut kebijakan Wahid untuk mencopot Wiranto dalam pandangan J. Kristiadi setengah-setengah, Wahid tidak melakukan kebijakan menyeluruh untuk mengadili dan meminta pertanggungjawaban perwira lain di masa lalu yang diduga memiliki kesalahan.

Pernyataan J. Kristiadi telah menggambarkan kebijakan Wahid yang tidak terarah dan sistematis menyangkut profesionalisme di tubuh TNI. Kebijakan yang dikeluarkan oleh Wahid lebih merupakan eksperimen kekuasaan yang mendekati otoriter, pergantian jabatan karena dinilai tidak layak dan terlibat KKN lebih didorong oleh karena instuisi personal Wahid. Hal ini tercermin pula pada kebijakan yang dibuat untuk internal TNI, seperti pencopotan Rusdihardjo dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia, dan penghapusan posisi wakil panglima TNI, yang otomatis memberhentikan Fachrul Razi. Wahid tidak mengindahkan Tap MPR No. VII/2000 tentang pengangkatan dan pemberhentian Panglima TNI dan kapolri harus dengan persetujuan DPR. Wahid berkilah bahwa perangkat operasionalnya belum ada, sehingga ia masih merujuk ke perangkat lama.

Belum habis kemarahan anggota parlemen terhadap pencopotan Kapolri dan Wakil Panglima TNI. Wahid melempar kembali rencana pergantian panglima TNI dan Kasad . Kali ini Wahid lebih kompromi, dengan melakukan kerja sama dengan DPR, misalnya pengganti Widodo AS, ia mengusulkan nama Hanafie Asnan, Kepala Staf Angkatan Udara (Kasau) sebagai kandidatnya. Sedangkan posisi Kasad, Wahid urung mendorong Agus Wirahadikusuma sebagai Kasad ataupun Wakil Kasad, kandidat yang muncul adalah Indriartono Sutarto. Rencana pergantian kasad karena figure Tyasno Sudarto dinilai Wahid tidak dapat bekerja sama dengan dirinya dalam banyak hal, salah satu langkah Tyasno yang membuat Wahid marah adalah upaya Tyasno untuk ‘mengadili’ Agus Wirahadikusuma karena dinilai telah melanggar kode etik perwira.

Kebijakan Wahid terhadap internal TNI telah makin menjauhkan Wahid dari dukungan TNI. Bahkan Wiranto, mengatakan apabila Wahid mencopot dirinya, maka kerapuhan kabinet yang dipimpinnya mendekati kehancuran. Agaknya inilah tanda bahwa diberhentikannya Wiranto dari jabatannya menjadi titik balik dari penarikan dukungan TNI terhadap kepemimpinan Wahid. Apalagi langkah memberhentikan sejumlah pejabat di lingkungan TNI secara langsung telah pula mengeraskan sikap TNI untuk perlahan meninggalkan Wahid. Langkah kemarahan dan penolakan untuk mengikuti kebijakan Wahid terhadap dinamika yang terjadi di internal TNI menguatkan indikasi bahwa TNI tidak lagi bulat mendukung kepemimpinan Wahid. Apalagi kalangan politisi sipil di parlemen juga telah berulang kali mengingatkan Wahid untuk tidak membuat kebijakan yang tidak disosialisasikan ke DPR, tentu saja langkah Wahid kian berat dengan posisi tersebut. sementara Wahid sebagai seorang berpaham demokrasi memiliki tiga alasan kenapa kebijakan yang ia keluarkan guna mendorong depolitisasi TNI, yakni: Pertama, upaya melakukan depolitisasi tentara merupakan prasyarat bagi percepatan transisi demokrasi di Indonesia. kedua, kuatnya dominasi TNI di wilayah politik, khususnya TNI AD menjadi pengalang bagi proses demokratisasi, dengan salah satunya adalah mengatur penempatan TNI agar tetap patuh dan loyal pada pemerintahan sipil demokrasi yang berkuasa. Ketiga, upaya mendepolitisasi TNI sebagai salah satu titik awal untuk membuka kanal-kanal politik yang selama ini tertutup.

Respon dari kebijakan Wahid adalah penarikan dukungan politik TNI dari Pemerintahan Wahid, setidaknya memiliki empat alasan kenapa TNI perlahan menarik dukungannya dari Pemerintahan Presiden Wahid. Pertama, kebijakan Wahid yang terlalu mencampuri terlalu dalam ke internal TNI, yang membuat mekanisme wanjakti dan jenjang kepangkatan di TNI tidak berjalan, dan menimbulkan keresahan di tubuh TNI. Indikasinya adalah keberadaan Agus Wirahadikusumah, yang dinilai sebagai perwira kritis, namun tidak sejalan dengan kebijakan TNI.

Kedua, proses pergantian sejumlah perwira untuk mengisi jabatan tertentu yang dilakukan langsung oleh Wahid tanpa melalui usulan Mabes TNI menambah keruwetan hierarki angkatan dan kepangkatan yang telah dibenahi oleh Wiranto pasca Soeharto turun.

Ketiga, adanya rencana puluhan jenderal mundur dan penolakan sejumlah jenderal terhadap tawaran yang disodorkan oleh Wahid perihal pergantian dan kebijakan yang menyangkut intenal TNI. keempat, mulai merapatnya sejumlah jenderal dengan politisi sipil di parlemen yang menginginkan kejatuhan Wahid.

Empat alasan tersebut juga menyadarkan TNI bahwa sosok Wahid yang dinilai dapat dikontrol dan cenderung tidak radikal justru memberikan pelajaran yang teramat berharga bagi TNI perihal proses demokrasi yang hendak dijalankan oleh Wahid, namun proses menuju pembangkangan TNI terhadap kepemimpinan Wahid makin nyata setelah politisi sipil di parlemen menginginkan lengsernya Wahid dari kursi kepresidenannya, sehingga kejatuhan Wahid hanya menunggu waktu saja. Artinya kejatuhan Wahid tidak serta merta merupakan usaha murni TNI saja, tapi juga dipercepat oleh pertikaian elit politik sipil yang mengemuka.
Ada perasaan sakit hati yang cukup mendalam dari sebagian perwira tinggi TNI terhadap Wahid, karena kebijakan Wahid yang begitu intervensif terhadap dinamika internal TNI. Bahkan ketegangan terus berlanjut saat hubungan parlemen dengan Wahid juga makin meradang, meski TNI yang ada di parlemen kemudian hanya mengikuti arus besar yang menginginkan kejatuhan Wahid dengan berbagai cara, jika pada Hak Interpelasi, TNI lebih banyak megikuti arus, namun saat keputusan menerima atau menolak hasil Panitia Khusus (Pansus) Buloggate dan Bruneigate TNI yang kemudian menunjukkan sikapnya untuk mendukung dan menerima hasil Panitia Khusus (Pansus) Buloggate dan Bruneigate. Dari 38 anggota Fraksi TNI/Polri semuanya menyatakan mendukung dan menerima hasil Pansus Bulogate dan Bruneigate. Sikap TNI di parlemen ini merupakan pukulan yang telak bagi eksistensi pemerintahan Wahid. Hari Sabarno, yang menjadi Wakil Ketua MPR dari Fraksi TNI/Polri menyangkal bahwa sikap fraksi berlatar belakang kekecewaan terhadap Wahid yang terlalu campur ke dalam urusan internal TNI, khususnya ancaman Wahid yang akan mencopot Endriartono dari jabatan Kasad, yang menolak mendukung pemberlakuan Siaga I di Ibukota. “…Ini konteksnya lain. Kami ada di dalamnya dan sudah bekerja terus-menerus. Kalau cukup layak ya diterima. Ini tidak ada urusan dukung mendukung”. Namun Budi Harsono, Ketua Fraksi TNI/Polri justru menyatakan sebaliknya. Menurut Budi sikap tegas TNI/Polri untuk mendukung dan menerima hasil kerja Pansus Bulogate dan Bruneigate ini terkait oleh dua hal; pertama, adanya indikasi korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dipraktekkan Wahid. Kedua, adanya indikasi pelanggaran sumpah jabatan. Panglima TNI, Widodo AS sendiri cenderung menegaskan bahwa sikap TNI di DPR merupakan implementasi dari proses politik yang konstitusional dan rasional.
Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai alat negara tetap patuh dan loyal kepada Presiden yang punya legitimasi secara konstitusional dan dipilih dengan pemilihan umum (Pemilu) yang sah. Dengan demikian, apa pun yang dilakukan TNI, termasuk sikap Fraksi TNI/Polri terhadap hasil Panitia Khusus Penyelidikan Dana Yayasan Bina Sejahtera dan Dana Bantuan Sultan Brunei, berada dalam koridor konstitusional tersebut.

Pengerasan sikap politik parlemen terhadap Wahid ini terpicu pula oleh hubungan yang mulai retak antara Wahid dengan Megawati. Pengalaman dikhianati oleh Wahid ketika pemilihan presiden pada Sidang Umum MPR 1999 serta dikerjai oleh Poros Tengah telah memberikan pelajaran berharga bagi Megawati dan kalangan PDI Perjuangan untuk lebih berhati-hati. Fraksi Banteng dalam lingkaran ini lebih memilih kata peringatan daripada menggunakan kata memorandum. Penggunaan kata peringatan ini menurut Roy BB Djanis lebih diarahkan untuk menghindari sidang istimewa, menurut Roy PDI Perjuangan lebih memilih penyelesaian kasus Bulogate dan Bruneigate diselesaikan lewat jalur hukum. Oleh karena itu PDI Perjuangan lebih memilih untuk mempertahankan dwitunggal Wahid-Megawati.

Namun, dengan bahasa apapun PDI Perjuangan dinilai telah memiliki sikap yang sama dengan mayoritas anggota parlemen lainnya yang dikomandoi oleh Poros Tengah dan Partai Golkar. Hubungan yang tidak sedekat dulu telah juga ditunjukkan oleh Megawati terhadap Wahid, dalam hal pengambilan kebijakan pemerintahan. Langkah Wahid yang tidak taktis dan cenderung emosional membuat Megawati lebih memilih sikap sendiri.

Naiknya Endriartono Sutarto sebagai Kasad menggantikan Tyasno Sudarto memberikan nafas baru bagi TNI untuk melawan segala bentuk intervensi yang dilakukan oleh Presiden Wahid ke dalam internal TNI. Sutarto yang kental dengan figure perwira lapangan ini dengan sangat tegas menolak apa yang dilakukan oleh Wahid untuk menggolkan Agus Wirahadikusumah, bahkan mantan Danpampres ini melakukan bargaining position dengan niatnya mengundurkan diri apabila Wahid terus memaksakan Agus Wirahadikusumah dijadikan Wakil Kasad. Naiknya Sutarto sebagai Kasad juga diindikasikan untuk mengimbangi langkah Widodo AS, Panglima TNI yang dinilai lamban dalam menyikapi semua langkah Wahid yang terlalu memaksakan kehendak. Tentu saja TNI sendiri berharap ada figure yang mampu membawa TNI berada dalam posisi yang tidak tersubordinat dan terintervensi, dan figure tersebut ada pada diri Sutarto.

Setelah mampu mematahkan keinginan Wahid untuk menjadikan Agus Wirahadikusumah sebagai Kasad atau Wakil Kasad, TNI kembali menolak mendukung rencana Wahid mengeluarkan Dektrit Presiden. Penolakan secara tegas dilakukan oleh Sutarto, Kasad yang berujung pada rencana pergantian dirinya oleh Wahid karena dinilai tidak loyal dan patuh pada pemimpin nasional apalagi dikaitkan dengan rencana kudeta atau pengambilalihan kekuasaan oleh TNI ketika ada penolakan oleh TNI tentang rencana Wahid untuk memberlakukan rencana keadaan darurat.
Gagasan itu (Dekrit Presiden-pen) dikemukakan kembali pada hari minggu itu. Kami memandang kepentingan bangsa dan negara itu harus ditempatkan di atas kepentingan yang lain. Maka kami mencoba agar kebijakan itu tidak diberlakukan. Kalau memang ada kinginan untuk memberlakukan keadaan darurat secara nasional, dilanjutkan dengan pembubaran DPR maupun MPR, TNI melihatnya sebagai sesuatu yang beresiko. Karena itu, Panglima TNI dan kami (TNI AD) memandang itu tidak pas. Itu tidak akan memperbaiki kondisi bangsa, tetapi justru akan memperburuk. TNI tidak mau terjebak.

Keinginan Wahid untuk mengganti Sutarto dari jabatan Kasad ini justru makin mengeraskan sikap politik TNI untuk menarik dukungannya pada presiden ke-IV Indonesia tersebut. Meski Presiden Wahid membantah akan melakukan pemecatan terhadap Sutarto.

“Apa yang terjadi dalam semua angkatan baik TNI maupun Polri adalah, apa katanya kepala staf, apa katanya Panglima, bukan saya (presiden). Itulah cara menegakkan profesionalisme obyektivitas dalam lingkungan TNI. Rusaknya kita dulu, karena kepemimpinan dala angkatan itu diangkat dengan cara suka tidak suka, kenal tidak kenal, bukan karena alasan profesionalisme dan obyektivitas.”

Konflik antara parlemen dengan eksekutif telah membangun isu bahwa TNI akan memanfaatkannya dengan melakukan perebutan kekuasaan. Namun dengan elegan, TNI menyatakan bahwa TNI tidak akan melakukan pengambilalihan kekuasaan, serta menyerahkan sepenuhnya proses pergantian Wahid pada konstitusi yang ada.
Kalau kemudian dalam langkah konstitusi itu keputusan akhirnya adalah Abdurrahman Wahid mundur, itu adalah sesuatu yang memang harus dihormati sejauh itu merupakan keputusan konstitusional. Bahwa kemudian keputusan konstitusional mengatakan bahwa rakyat dalam kaitan ini MPR/DPR masih menghendaki Gus Dur (Abdurrahman Wahid) untuk terus sampai dengan 2004, itu juga kita hormati, karena kita tidak tidak berada pada koridor bermain dan menentukan hal seperti itu.
Sayangnya proses politik pasca Memorandum I tidak sesuai dengan harapan TNI. Watak politisi sipil yang cenderung terburu-buru dan sudah berkeinginan untuk melakukan pembagian kekuasaan pasca Wahid digulingkan membuat suasana makin kisruh, di satu sisi Megawati dan PDI Perjuangannya serta sebagian anggota parlemen dari Partai Golkar menginginkan proses politik yang terjadi mesti konstitusional, serta tidak ingin terburu-buru melakukan pembagian kekuasaan. Di sisi lain, anggota parlemen yang menginginkan Wahid digulingkan dari Partai Golkar, dan Poros Tengah sudah meminta konsesi dari proses politik tersebut serta terburu-buru untuk sesegera mungkin Wahid dijatuhkan.

Menariknya, kekisruhan yang terjadi di kalangan sipil mengenai pembagian kekuasaan dan proses percepatan Sidang Istimewa MPR berimplikasi pada sikap politik TNI secara umum. TNI yang sejak awal telah membentengi diri dari upaya Wahid untuk mengintervensi terhadap dinamika yang ada di dalam tubuh TNI sedikit banyak memperlambat langkahnya untuk mempercepat proses politik terhadap Wahid. Bahkan tersirat ada kegamangan di kalangan perwira TNI sendiri melihat realitas politik yang terjadi, hal ini terlihat dengan bagaimana maju mundurnya sikap TNI terhadap kondisi politik yang tengah berlangsung. Ikrar Nusa Bhakti menyatakan dengan tegas bahwa TNI tidak akan mendukung desakan yang ingin menjatuhkan Presiden Wahid atau cara-cara nonkonstitusional.

Pengamatan Ikrar bisa jadi tidak salah, sebab kegamangan tersebut nampak kentara ketika parlemen merasa tidak puas dengan jawaban Wahid terhadap Memorandum I yang dijatuhkan parlemen atas dugaan keterlibatannya dalam kasus Bulogate dan Bruneigate. TNI yang mengatakan bahwa perubahan dapat saja terjadi apabila memenuhi jalur konstitusional dan ketakutan akan hujatan masyarakat ketika mencoba tampil serta masih terdapatnya faksionalisasi di tubuh TNI membuat lembaga militer tersebut lebih banyak memfungsikan diri sebagai penyebar komitmen terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pada sebagai organisasi militer yang harus menjaga keutuhan bangsa dan negara. Faktanya memang mendukung ke arah itu, sebab selama Wahid menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia ke-IV wilayah konflik meluas, dan nyatanya TNI tidak cukup mampu memadamkannya. Konflik di Maluku, Aceh, Poso, Kalimantan, serta aksi pengeboman di beberapa kota adalah bukti bahwa komitmen tersebut hanya sebatas wacana.

Di kalangan TNI sendiri merasa bahwa kekuatiran akan terjadinya upaya pengambilalihan kekuasaan ditepis oleh para perwira TNI dalam pertemuan 55 Jenderal TNI dalam menyikapi hal tersebut. Pertemuan tersebut menghasilkan tiga kesimpulan. Pertama, sepaham bahwa TNI AD khususnya maupun TNI harus benar-benar solid dan tidak ada lagi faksi dalam tubuh TNI AD. Yang ada TNI AD itu satu walaupun mereka bertugas di mana pun. Dalam soliditas yang ada hendaknya tindakan ataupun tingkah laku apa pun yang di luar itu hendaknya selalu sejalan dengan garis komando yang ada dalam struktural, di mana KSAD selaku pimpinan TNI AD mempunyai tugas juga melakukan pembinaan bagi semua perwira TNI AD aktif. Semua personel TNI AD aktif, apakah dia non-job, apakah dia berada di Dephan, apakah dia berada di Mabes TNI atau di tempat-tempat tugas lain, harus satu kebijakan, dan berada dalam koridor kebijakan tersebut yang digariskan berdasarkan suatu persetujuan bersama, dan semua berjanji untuk tidak melanggar itu.

Kedua, sepakat bahwa dalam situasi politik seperti sekarang, TNI AD tidak memiliki interest politik. TNI AD tidak berambisi di bidang kekuasaan, dan tidak akan pernah punya niat apalagi berupaya dan bertindak untuk melakukan pengambilalihan kekuasaan. Yang ada TNI AD berupaya untuk bisa berbuat yang terbaik untuk menyelesaikan semua permasalahan bangsa ini agar supaya bisa keluar dari krisis yang terjadi, untuk kemudian membangun agar bangsa ini kembali bangsa yang disegani oleh negara-negara lain.
Ketiga, di samping konsep paradigma baru yang terus digulirkan, maka upaya kegiatan ke bawah itu difokuskan pada pembenahan disiplin para prajurit yang diakui sampai sekarang masih banyak di antara prajurit yang belum berdisiplin dengan bagus, sehingga masih ada kasus-kasus baik itu pada tingkah laku sehari-hari maupun di daerah-daerah penugasan. TNI AD akan terus meningkatkan profesionalisme baik itu pada individu prajurit maupun pada satuan-satuan, agar dengan demikian setiap negara atau bangsa ini memerlukan TNI, khususnya TNI AD, maka TNI AD bisa memberikan kontribusi yang terbaik .
Pernyataan yang dibuat oleh 55 jenderal tersebut mensiratkan bahwa TNI tidak ingin memihak kepada dua kubu, baik yang menentang maupun yang mendukung kepemimpinan Presiden Wahid. Namun Ikrar Nusa Bhakti mensinyalir tetap akan ada usaha dari kalangan politisi sipil untuk mengajak TNI dalam proses politik yang dimaksud.

Saya berpandangan bukan mustahil ada juga mungkin kepentingan-kepentingan politik sipil yang akan menarik-narik mereka (TNI-pen) dalam proses yang berjalan. TNI sepakat mereka tidakingin ikut. Mereka harus mencegah supaya kelompok-kelompok dalam militer untuk mendukung salah satu kekuatan politik. Kalau itu terjadi, maka akan terjadi politisasi tentara.
Tak heran apabila pada rencana pemberian Memorandum II untuk Presiden Wahid, TNI menahan diri untuk tidak terprovokasi dan terjebak dalam polemik parlemen dan eksekutif. TNI kembali memilih untuk abstain. Pilihan ini banyak disayangkan oleh sebagian besar anggota parlemen, sikap tersebut membuat TNI dipandang sebagai tidak memiliki sikap yang jelas bagi keselamatan bangsa dan negara. Seorang anggota Fraksi TNI/Polri Taufiequrachman Ruki menyatakan, sikap politik fraksinya dalam sidang paripurna DPR, yang tidak mendukung pemberian memorandum kedua, namun juga tak mendukung Presiden, memang tidak populer. Sikap itu diambil, sebab TNI/Polri ingin kembali pada jatidirinya yang tak ingin terlibat dalam kegiatan politik praktis, termasuk tarik-menarik kepentingan kekuasaan. Taufiequrachman Ruki menegaskan bahwa:

“Fraksi TNI/Polri mendukung pemberian memorandum pertama kepada Presiden, karena itu merupakan peringatan. Ternyata, memorandum pertama itu ditanggapi secara berlebihan, baik oleh yang mengusulkan maupun oleh yang menerima. Misalnya, yang mengusulkan ada yang langsung mencabut dukungannya kepada Presiden dan meminta sidang istimewa (SI) MPR pun dipercepat. Sedangkan dari pihak yang menerima, menanggapinya dengan berlebihan melalui pernyataan atau aksi fisik lain,”

Namun di lain waktu, ketika para elit sipil yang berada di parlemen kembali rukun dan duduk bersama guna merumuskan rencana pasca Wahid, termasuk pola pembagian kekuasaannya, suara TNI kembali keras mendukung proses politik yang terjadi saat itu. Meski Megawati belum menyetujui formula dari rencana pembagian kekuasaan tersebut, namun anggotanya di parlemen telah mampu mencairkan suasana, sehingga rencana penurunan Wahid tetap berjalan dengan syarat yang diajukan oleh Megawati dan kubu banteng gemuk dalam lingkaran tersebut harus sesuai dengan konstitusional. Percepatan Sidang Istimewa dapat terjadi apabila Wahid telah membahayakan keselamatan bangsa dan negara. Endriartono Sutarto, Kasad kembali menegaskan sikapnya yang tidak mendukung kepemimpinan Wahid.

Wacana dan aksi demonstrasi yang menuntut turunnya pemerintah, sepanjang tidak destruktif serta konstitusional, maka kegiatan itu dianggap sah. TNI tidak akan melakukan pemihakan, serta tetap menjungjung tinggi konstitusi, mendukung demokratisasi, yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta bertanggung jawab atas keselamatan bangsa dan negara.
Ancaman Wahid untuk mengeluarkan Dektrit Presiden langsung dikecam oleh Endriartono Sutarto, Kasad yang sejak awal Wahid melontarkan rencana pemberlakukan Dektrit telah menentangnya.
Dektrit Presiden untuk membubarkan DPR hanya akan menempatkan bangsa dalam situasi yang buruk dan menghambat demokrasi. Presiden disarankan untuk tidak mengeluarkan Dektrit Presiden, sebab langkah tersebut akan mengarah ke keadaan yang chaos. Jika Presiden tetap mengeluarkan dektrit, akan lebih memperburuk kondisi bangsa dan dan dapat ‘membunuh’ perjalanan demokrasi. Sebab bila terjadi konflik antara pemerintah dan rakyat, sebagai prajurit TNI, keberpihakan tetap pada rakyat. Sebab yang berdaulat di negara ini adalah rakyat, bukan pemerintah atau TNI.

Penentangan Sutarto telah memberikan sinyal bahwa Dektrit Presiden tak akan berhasil tanpa dukungan tentara. Bila Wahid mereferensi pemberlakukan Dektrit Presiden 5 Juli 1959 jelas berbeda, sebab Bung Karno mengeluarkan Dektrit Presiden secara penuh didukung oleh tentara ketika itu. Langkah Wahid untuk melakukan fait accomply perihal pergantian Kasad tidak membuahkan hasil, semua perwira menolak jabatan tersebut. Ryamizard Ryacudu yang ditawari dan didekati secara personal untuk menggantikan Sutarto menampik tawaran tersebut.

Langkah politik TNI makin jelas condong ke arah kubu yang berbeda dengan Wahid. Sebagaimana yang diungkap oleh Kusnanto Anggoro dalam melihat perubahan sikap politik TNI yang tidak tegas dan cenderung ambigu. Anggoro melihat sikap TNI sesungguhnya telah menyatakan dukungannya terhadap kelompok politik yang berlawanan dengan Wahid. Hal ini ditegaskan oleh Kepala Staf Umum (Kasum) Djamari. Chaniago bahwa loyalitas TNI bukan pada figure kepemimpinan yang berkuasa, tapi pada negara. Pembulatan sikap poitik TNI terhadap kepemimpinan Wahid terjadi hanya kurang dari satu bulan setelah Pangkostrad Ryamizard Raycudu menggelar apel kesetiaan di Silang Monas. Apel kesetiaan ini jelas bukan untuk setia terhadap kepemimpinan Wahid sebab sebelum Apel Kesetiaan tersebut terjadi para perwira di TNI baik secara langsung maupun tidak langsung telah meninggalkan kepemimpinan Wahid untuk perlahan menyokong kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, sebagaimana yang diatur dalam konstitusi bahwa jika presiden berhalangan maka penggantinya adalah wakil presiden. Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Marsekal Muda Graito Usodo menyatakan bahwa segala tindakan TNI akhir-akhir ini, termasuk Apel Kesetiaan Kostrad, mengatakan, hal itu menunjukkan TNI berada dalam kondisi solid. Ia juga menegaskan, kegiatan seperti itu jelas sudah dikomunikasikan kepada Panglima TNI Laksamana Widodo AS.

Adapun Apel Kesetiaan Kostrad tersebut melahirkan lima sikap prajurit Kostrad. Pertama, prajurit Kostrad tetap setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berlandaskanPancasila dan UUD 1945. Kedua, tetap memegang teguh sapta Marga dan Sumpah Prajurit sebagai pedoman dalam bersikap dan bertindak. Ketiga, tetap memegang teguh jati diri sebagai prajurit rakyat, prajurit pejuang, dan prajurit nasional. Keempat, berjuang untuk membela kepentingan rakyat yang menentang segala upaya pihak manapun yang bertujuan memecah belah keutuhan NKRI. Dan kelima, siap mengorbankan jiwa dan raga demi kepentingan bangsa dan negara.

Ketika tembok TNI sulit ditembus, Wahid mengarahkan kembali kebijakannya dengan menonaktifkan pimpinan Polri, Bimantoro dengan mengangkat Chaeruddin Ismail sebagai wakil Kapolri, sebuah jabatan yang telah dihapus sebelumnya. Parlemen telah berkesimpulan bahwa Wahid harus sesegera mungkin di bawa ke Sidang Istimewa, langkah Wahid ini telah memperkeruh hubungan yang sudah sangat panas. Penjadwalan Sidang Istimewa MPR tanggal 1 hingga 7 Agustus 2001 bisa jadi dimajukan dengan berbagai pertimbangan sebagaimana yang dijelaskan di atas.

Sedangkan untuk mengamankan Dektrit Presiden, Wahid mengundang Tyasno Sudarto, Agus Wirahadikusumah, Suarip Kadi, serta Kivlan Zein untuk mem-back up kebijakan tersebut. Namun Agus, Suarip, serta Kivlan secara terang-terangan menolak untuk menyokong langkah presiden tersebut. Sehingga niat Wahid untuk mendapatkan sokongan dari salah satu kelompok yang ada di TNI tidak tercapai. Penolakan terhadap ajakan Wahid ini juga diikuti oleh pengunduran diri Yudhoyono dari jabatannya selaku Menkopolkam karena dinilai gagal dalam mengamankan penerbitan Dektrit Presiden. Agum Gumelar, salah satu anggota TNI yang masih ada di kabinet kemudian diangkat menggantikan Yudhoyono. Mundurnya Yudhoyono sejatinya telah memerosotkan posisi Wahid ke jurang kejatuhannya. Yudhoyono yang dinilai memiliki kecakapan dalam melakukan diplomasi, terutama kepada TNI dan jajarannya dinilai tidak mampu mengendalikan TNI sehingga bersikap menentang terhadap kepemimpinan Wahid. Pengangkatan Agum juga tidak menjamin posisi Wahid akan aman, karena pengerasan sikap parlemen dan juga TNI terhadap kepemimpinan Wahid telah mendekati titik nadir. Langkah Agum untuk meyakinkan Chaeruddin Ismail agar tidak bersedia diangkat sebagai Wakapolri dan Pejabat Sementara kapolri mengalami kegagalan, sehingga Agum bersama Kepala Staf angkatan tidak hadir dalam acara pelantikan tersebut. Tentu saja, pelantikan Chaeruddin oleh Wahid untuk mengamankan pemberlakukan Dektrit Presiden, setelah TNI menolak menyokong kebijakan Wahid yang dinilai telah keluar dari jalur konstitusi yang selama ini menjadi pakem bagi TNI dalam bertindak dan melangkah. Kenyataannya, Chaeruddin yang diharapkan oleh Wahid akan mengamankan langkah Wahid mengeluarkan Dektrit Presiden tidak optimal, semua jalur menghubungi para Kapolda dan perwira ditutup aksesnya. Sehingga Chaeruddin tidak cukup mampu menolong Wahid keluar dari jurang kejatuhannya.

Agum Gumelar, jangkar terakhir TNI dipemerintahan Wahid pun akhirnya menyerah terhadap langkah kontraproduktifnya Wahid dalam menjalankan pemerintahan. Agum mengontak Amien Rais sesaat sebelum Wahid melantik Chaeruddin Ismail sebagai Pejabat sementara (pjs) kapolri dan menyatakan bahwa dirinya serta ketiga Kepala Staf angkatan tidak mendukung pengangkatan tersebut. Pernyataan tersebut cukup bagi Amien Rais dan anggota di parlemen untuk melakukan percepatan pelaksanaan Sidang Istimewa MPR dari jadwal semua di minggu pertama Agustus 2001.

Dapat ditebak, ketika Amien Rais mengetukkan palunya bahwa pelaksanaan Sidang Istimewa MPR dipercepat, TNI dengan segala kelebihan dan kekurangannya langsung menyatakan sikapnya. Mengenai pelaksanaan Sidang Istimewa MPR.
Komando Strategi Angkatan Darat (Kostrad) akan bersikap pada kepemimpinan yangsah menurut rakyat, apabila dalam Sidang Istimewa (SI) MPR mendatang terjadi pergantian kepemimpinan termasuk kemungkinan terjadinya dualisme kepemimpinan atau presien kembar. Apapun hasil SI MPR, kalau memang sah dan mendapat dukungan rakyat, akan didukung TNI.

Sedangkan Fraksi TNI/Polri di parlemen tidak banyak memiliki pilihan kecuali ikut dalam arus besar perubahan yang terjadi di dalam parlemen. Wahid, Presiden ke-IV yang dipilih secara demokratis setelah 32 tahun masa kekuasaan Orde Baru harus diturunkan dengan sebuah coreng hitam politik yang mengiringinya. TNI, salah satu instrumen negara yang ketika Orde Baru berkuasa begitu mendominasi perpolitikan nasional telah berpaling dari dirinya. Berpalingnya TNI dari Wahid bukan hanya sesuatu yang sangat sistematis dirancang untuk menjatuhkannya, melainkan juga skenario besar yang berada di tangan sipil sendiri yang ada di parlemen. Sesungguhnya TNI , adalah institusi yang dilemahkan pasca Orde baru, sehingga dugaan akan melakukan kudeta dan pengambilalihan kekuasaan hanyalah sebuah rumor yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, meski wacana tersebut berkembang di internal TNI sendiri. Artinya bahwa TNI hanya akan mengikuti arus besar perubahan politik yang terjadi di Indonesia. TNI mampu memainkan perannya sebagai institusi yang pada akhirnya tetap dipandang memiliki signifikansi dalam perjalanan sejarah bangsa ini.

Naiknya Megawati ke kursi RI 1 telah mengobati luka yang pernah mencabik-cabik hati putri Presiden RI pertama akibat dikhianati dan dinegasikan sebagai pemimpin partai pemenang Pemilu 1999. TNI yang diawal begitu takut dengan kiprah partai wong cilik tersebut akhirnya menerima dan mendukung kepemimpinan Megawati, sebagai suatu realitas politik. meski dukungan tersebut tak bebas dari konsesi. Ada pertemuan-pertemuan informal, baik yang bersifat rahasia maupun terbuka antara politisi PDI P di parlemen dengan kalangan tentara dari Fraksi TNI/Polri pra kejatuhan Gus Dur dari kursi presiden. Pertemuan itu salah satu agendanya membahas tentang proses kepemimpinan pasca Gus Dur. Salah satu kesepakatan antara politisi PDI P melalui Theo Safe’i dengan TNI akan mendukung kepemimpinan Megawati Soekarnoputri hingga 2004, sebaliknya pemerintahan Megawati memberikan peluang bagi TNI untuk melakukan perbaikan internal, serta tidak terlalu membatasi ruang gerak TNI dalam kehidupan kebangsaan, dan tentunya TNI akan dilibatkan pada pembicaraan mengenai hal-hal yang menyangkut kenegaraan, terutama dalam bidang politik dan pertahanan keamanan.

Jaminan dari kesepakatan ini adalah bahwa tiap penyelasaian kasus keamanan dan pertahanan harus terlebih dahulu mengusahakan pendekatan dialog, bila tidak mencapai kata sepakat, maka pendekatan secara keamanan dapat dilakukan. Sedangkan tentang kejahatan masa lalu yang dibuat oleh TNI, pengadilannya terus berjalan dengan pendekatan hukum, bila terbukti bersalah maka anggota TNI tersebut harus dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku. Artinya opini publik tidak lagi dibutuhkan untuk mendorong anggota TNI terlibat atau tidakdalam kejahatan kemanusiaan.

Sehingga dapat dilihat ada empat alasan kenapa TNI mendukung kepemimpinan Megawati Soekarnoputri . Pertama, arus politik telah berjalan dan deras mengalir menuju pergantian kepemimpinan secara konstitusi yang ada. Sebab TNI mendukung kepemimpinan politik sipiil yang berlandaskan pada konstitusi negara . Di samping itu Wahid telah melakukan blunder politik dengan menerbitkan Dektrit Presiden.

Kedua, keinginan untuk tetap berkiprah di wilayah politik, setidaknya dilibatkan dalam pembicaraan yang menyangkut tentang pemerintahan dan kenegaraan (political role sharing) . Pada masa kepemimpinan Wahid jelas langkah itu sulit diwujudkan mengingat tingkat resistensi Wahid dan pemerintahannya terhadap TNI sangat tinggi. Bahkan hubungan sipil-militer yang bersifat subordinasi niliter oleh sipil menjadi harga mati yang tidak dapat ditawar. Maka ketika proses kejatuhan dirancang oleh para politisi anti Wahid di parlemen, TNI langsung melakukan pendekatan dan pertemuan dengan sejumlah pejabat teras PDI P. apalagi Kasad, Sutarto memiliki kedekatan personal dengan Megawati.

Ketiga, komitmen TNI untuk terus menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memungkinkan TNI untuk mendukung kepemimpinan yang sah secara konstitusional dan diterima oleh rakyat. Apalagi komitmen pemerintahan Megawati Soekarnoputri terhadap tetap utuhnya NKRI tidak perlu diragukan lagi.

Keempat, pengakuan terhadap pemerintahan Megawati Soekarnoputri dengan mendukungnya juga disebabkan TNI secara eksplisit mengakui konsepsi pemerintahan sipil. Sebab pemerintahan Megawati Soekarnoputri juga tidak melakukan intervensi yang berlebihan sebagaimana Wahid dulu. Gaya kepemimpinan Megawati Soekarnoputri yang memberikan kepercayaan pada proses perubahan internal TNI.

Meski di awal pemerintahannya, Indonesia di guncang Bom Bali, akan tetapi dapat ditebak Kepemimpinan Megawati hampir tidak ada gejolak yang berarti antara TNI di satu sisi dengan Pemerintahan Megawati di sisi yang lain. Megawati yang lebih menganut kepemimpinan pasif, dengan lebih mengedepankan penyelesaian hukum, khusus bagi pelanggaran HAM berat yang dijadikan titik penolakan aktivis pro demokrasi menjadikan TNI merasa tidak perlu melakukan ’perlawanan’ sebagaimana ketika Gus Dur memerintah.

Reformasi TNI terus digulirkan dengan mengeluarkan produk hukum dan perundang-undangan yang memberikan rambu-rambu bagi TNI dalam hal tugas-tugas pertahanan negara. Penggodokkan RUU TNI yang menjadi salah satu titik permasalahan ada pada Pasal 19 , di mana kalangan pro demokrasi berbeda pendapat dengan keinginan dari TNI untuk tetap memasukkan ’Pasal Kudeta’ tersebut. Endriartono Sutarto, Panglima TNI beralasan bahwa keberadaan Pasal 19 di RUU TNI tersebut merupakan tuntutan kebutuhan TNI di lapangan untuk mengatasi berbagai keadaan yang mendesak, dan bukan pasal untuk melegitimasi upaya kudeta; ”TNI memerlukan suatu payung (hukum-pen) agar dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawab secara optimal, tanpa harus dianggap melanggar konstitusi. Di lain kesempatan Sutarto juga menegaskan posisi TNI perihal Pasal 19 RUU TNI.
”Kalau Pasal 19 dihubungkan dengan kami mau kudeta, itu salah. TNI tidak perlu menunggu ada UU. Sekarang saya bisa kudeta. Intinya, kalau kami mempunyai kewajiban, berikanlah kami senjata untuk melaksanakan kewajiban tersebut. Agar senjata itu tidak digunakan untuk hal-hal di luar dari apa yang diberikan kewenangan dan kewajiban, ya pakai rambu-rambu.”

Sedangkan dari Matori Abdil Djalil, Menteri Pertahanan Pemerintahan Megawati menegaskan bahwa RUU TNI, khususnya Pasal 19 harus seirama dengan semangat reformasi.

”RUU TNI lebih merupakan turunan dari UU Pertahanan Negara. Karena itu, kita akan mengecek soal penggodokannya dan membicarakan masukan dari TNI apakah benar-benar cocok dengan semangat UU Pertahanan Negara, cocok dengan semangat reformasi atau tidak”

Apa yang diungkap oleh Matori sesungguhnya adalah bentuk ketidakberdayaan dirinya dalam memimpin Departemen Pertahanan dalam mengawal reformasi dan penataan di lingkungan departemen yang dipimpinnya serta di internal Mabes TNI. Pemerintahan Megawati agaknya membiarkan perdebatan Pasal 19 RUU TNI dengan melemparnya kepada publik. Ironisnya, beban untuk mengontrol tersebut kembali dibebankan kembali kepada masyarakat, khususnya kalangan akademis dan peneliti yang tergabung dalam Working Group on Security Sector Reform, yang aktif mengkampanyekan penolakan masyarakat terhadap Pasal 19 RUU TNI tersebut.

Di samping perdebatan Pasal 19 RUU TNI, masalah RUU Intelejen juga menjadi perdebatan yang sengit. Masalah krusial yang mengemuka pada perdebatan RUU Intelejen adalah pada wewenang lembaga intelejen untuk menahan orang dengan pola-pola penculikan. Hal ini sekali lagi tidak disikapi oleh Pemerintahan Megawati dengan serius. Setidaknya bila mengacu pada keterangan Wakil Presiden, Hamzah Haz yang mengaku RUU Intelejen belum pernah dibahas dalam Rapat Kabinet, melainkan langsung di DPR. Hal ini berarti bahwa Pemerintahan Megawati cenderung meminimalisir perdebatan langsung dengan institusi militer dan perangkatnya, semisal lembaga intelejen dan kaitannya dengan pemberantasan terorisme.

Hal lain yang relatif menarik perihal kebijakan Pemerintahan Megawati yang berkaitan dengan reformasi militer adalah pengadilan pelanggaran berat HAM yang dilakukan oleh personil TNI di Timor-Timur. Langkah dan kebijakan Megawati untuk menyelesaikannya secara hukum banyak menuai kriti. Selain dari para mantan personil di TNI sendiri, juga berasal dari kalangan LSM yang menganggap pengadilan tersebut tidak cukup adil, dan bahkan cenderung menguntungkan para personil TNI tersebut. Wiranto adalah salah satu dari mantan petinggi TNI yang terjerat tuduhan pelanggaran HAM di Timor-Timur, sementara dari kalangan LSM yang mengecam proses pengadilan tersebut adalah Kontras, Imparsial, dan lembaga-lembaga yang konserrn terhadap penegakkan HAM dan demokrasi.

Menjelang akhir Pemerintahan Megawati juga dihadapkan pada problematika Bom yang terjadi di Depan Kedutaan Besar Australia, tewasnya Munir, aktivis HAM di Belanda akibat di racun serta masalah netralitas TNI/Polri dalam Pemilu 2004. Permasalahan tewasnya Munir menjadi pekerjaan rumah yang tidak terselesaikan Pemerintahan Megawati, di samping berbagai perangkat undang-undang yang menjadi pondasi bagi mulusnya reformasi di tubuh TNI, masih dalam perdebatan kalangan sipil dengan militer seperti RUU Intelejen, yang hingga saat ini masih menjadi polemik. Harus diakui bahwa meski terkesan pasif dalam upaya mendorong reformasi TNI, namun secara prinsip Pemerintahan Megawati telah membangun pondasi bagi hubungan yang saling menghargai antara pemerintahan sipil di satu sisi, dan kalangan TNI di sisi lain. Sesuatu yang hampir tidak pernah terwujud sepanjang republik ini berdiri. Hanya saja, dalam persfektif hubungan sipil-militer dan reformasi militer, keberadaan sipil harus berada dalam posisi yang mensubordinat militer, dan tenrtu saja, proses reformasi di tubuh militer, tidak akan pernah efektif apabila militer dibiarkan mereformasi dirinya sendiri.