Protes kalangan LSM terhadap pelibatan personil Densus 88 Polri dalam pengawasan Ujian Nasional (UN) agar terbebas dari kecurangan pembocoran disambut oleh mantan Mendikbud, Wardiman, yang mempertanyakan keterlibatan unit anti-teror Polri dalam pengawasan UN. Latar belakang meradangnya para aktivis LSM tersebut karena ada kecenderungan perlakuan Densus 88 terhadap para guru yang disamakan dengan pelaku tindak pidana terorisme.

Sebenarnya protes tersebut merupakan bagian dari lanjutan atas ketidakpuasan masyarakat atas meluasnya kewenangan dari Densus 88, yang awalnya terfokus kepada pemberantasan tindak pidana terorisme, sebagaimana termakhtub dalam Skep.Kapolri No. 30/VI/2003 yang mendasari pembentukan unit khusus anti teror Polri tersebut. Seperti diketahui bersama, selama ini Densus 88 selain dilibatkan dalam pengawasan UN, Densus 88 juga terlibat dalam pengamanan pilkada, penangkapan buronan pembalakan liar, hingga pada tahap penyidikan kriminalitas. Pelibatan anggota Densus 88 dalam berbagai kasus non-teror makin dipertegas dengan adanya kebijakan Kapolri pembentukan Densus 88 tingkat Polda ini. Pembelaan Kapolri terhadap Densus 88 yang juga menjalankan peran penegakan hukum sesungguhnya tidak sepenuhnya salah, sebab Densus 88 berada dibawah Bareskrim Mabes Polri, dan Ditreskrim di tingkat Polda.

Fungsi Melekat Densus 88

Keberadaan Densus 88 merupakan jawaban dari kebutuhan akan adanya unit khusus yang memiliki kewenangan utama dalam melakukan pemberantasan tindak pidana terorisme sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dan peran yang melekat pada Densus 88 ini sesungguhnya mempertegas komitmen Polri, dan pemerintah Indonesia dalam berperan aktif dalam Perang Global melawan Terorisme. Sepanjang empat tahun sejak terbentuknya, peran dan fungsi Densus 88, tidak saja mengharumkan nama kepolisian, tapi juga nama negara didunia internasional. Dan memperluas keorganisasian Densus 88 hingga ke tingkat daerah menjadi penegas bahwa komitmen Polri dalam memberantas tindak pidana terorisme tidak main-main.

Bahkan dalam perjalanannya, Densus 88 juga tidak hanya terfokus pada identifikasi dan pengejaran aksi terror dan bom, tapi juga membantu unit lain di Polri dalam menindak pelaku kejahatan lainnya seperti Illegal Logging, narkotika dan lain sebagainya. Bahkan tak jarang pula Densus 88 AT Polri membantu identifikasi permasalahan kewilayahan sebagaimana yang pernah terjadi pada kasus pengibaran bendera RMS pada acara kenegaraan di Maluku.

Meski terfokus pada pemberantasan tindak pidana terorisme, sesungguhnya Densus 88 AT Polri juga memiliki tiga peran dan fungsi yang melekat lainnya yakni: Pertama, karena Densus 88 berada di Bareskrim Mabes Polri, dan Ditreskrim Polda, maka personil Densus 88 juga merupakan personil dengan kualifikasi seorang reserse criminal yang handal. Sehingga tak heran apabila setiap aktivitas yang melibatkan Bareskrim dan Ditreskrim, hampir selalu menyertakan personil Densus 88 di lapangan, khususnya terkait dengan kejahatan khusus, seperti; narkoba, pembalakan liar, pencurian ikan, dan lain-lain. Salah satu contohnya adalah kasus pembalakan liar di Riau dan Kalimantan Barat yang diduga melibatkan perwira polisi, Densus 88 bersama dengan Brimob Polda melakukan perbantuan kepada Bareskrim Mabes Polri dan Ditreskrim Polda.

Kedua, seorang personil Densus 88 juga merupakan seorang anggota Polri yang memiliki kualifikasi sebagai seorang anggota intelijen keamanan, dalam melakukan pendeteksian, analisis, dan melakukan kontra intelijen. Dalam beberapa kasus keterlibatan anggota Densus 88 dalam kerja-kerja intelijen kepolisian juga secara aktif mampu meningkatkan kinerja dari Mabes Polri ataupun Polda setempat, sebagaimana yang dilakukan Polda-Polda yang wilayahnya melakukan Pilkada dan rawan konflik lainnya.

Ketiga, seorang personil Densun 88 AT Polri juga adalah seorang negoisator yang baik. Seorang negoisator dibutuhkan tidak hanya oleh Densus 88 tapi juga oleh organisasi kepolisian secara umum. Artinya seorang negoisator dibutuhkan untuk meminimalisir jatuhnya korban jiwa yang lebih besar, semisal kasus penyanderaan oleh anggota terorisme, ataupun mengupayakan berbagai langkah agar prosesnya meminimalisir resiko, dengan tetap menegakkan hukum, sebagai pilar utama tugas kepolisian secara umum. Negoisasi sangat pelik sempat dilakukan saat mengepung tempat persembunyian Dr. Azahari dan Noordin M.Top. Meski keduanya tidak dapat ditangkap,karena Dr. Azahari memilih meledakkan diri, dan Noordin M.Top berhasil lolos, namun prosedur dan langkah yang dilakukan oleh negoisator dari Densus 88 relatif berhasil, karena tidak sampai melukai ataupun berdampak negative pada masyarakat sekitarnya.

Dari tiga fungsi yang melekat pada Densus 88, sesungguhnya kita harus memahami bahwa unsur dari Densus merupakan gabungan dari personil-personil terlatih dari berbagai unit yang ada di Polri. Sehingga, bila kemudian masyarakat komplain dengan langkah dan peran yang dilakukan oleh Densus 88 menjadi sangat wajar, karena ketidaktahuan esensi pembentukan dari unit khusus anti teror yang dimiliki Polri ini. Meski begitu protes dari kalangan LSM juga harus dianggap sebagai masukan berharga bagi Polri untuk memperbaiki kinerja organisasi.

Akan tetapi, terlepas bahwa keterlibatan personil Densus 88 secara aktif tidak hanya pada kasus tindak pidana terorisme, melainkan juga kasus-kasus non teror relatif baik dalam persfektif penegakan hukum. Akan tetapi perlu penegasan aturan dan wewenang dari Densus 88 secara jelas dari Kapolri. Sebab, implikasi dari ketidakjelasan aturan dan wewenang Densus 88 tidak hanya berimplikasi kepada masyarakat secara langsung, melainkan juga koordinasi di internal Polri sendiri. Adapun penegasan aturan dan wewenang terhadap Densus 88 terkait pada dua hal, yakni: Pertama, keberadaan Densus 88 di Mabes Polri dan polda-polda hanya difokuskan pada pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme. Sebab, dengan memfokuskan Densus 88 pada kontra-teror, berarti menjaga Densus 88 tetap sebagai unit khusus. Adapun tugas perbantuan dan pengerahan personil Densus 88 hanya pada kasus-kasus yang tidak bisa tertangani oleh unit-unit lain yang ada di Polri.

Kedua, rekruitmen dan jumlah personil Densus 88 harus dibatasi, terutama yang berada di polda-polda. Selama ini jumlah personil Densus 88 polda berkisar antara 50 hingga 75 personil, sehingga tak heran apabila ‘dikaryakan’ dalam tugas-tugas reskrim non-teror karena banyak yang menganggur. Sebagai unit khusus, jumlah tersebut di atas masih terlalu banyak. Idealnya jumlah personil Densus 88 di polda tidak lebih dari 50 personil. Dengan personil yang lebih ramping, Densus 88 akan terfokus pada mengembangkan kemampuan, tidak akan dibebani tugas dan fungsi reskrim non-teror yang banyak menuai protes masyarakat.

Dengan demikian, harapan agar Densus 88 menjadi unit anti teror yang tidak hanya mampu menangkap dan memberantas terorisme. Melainkan juga mampu mengharumkan nama bangsa dengan berbagai keberhasilannya, tanpa harus diprotes oleh masyarakat, karena menjalankan fungsi yang bukan semestinya.