Unjuk rasa puluhan anggota Brimob Polda Sulawesi Selatan beberapa hari lalu di Makassar mengundang keprihatinan kita bersama. Pangkal demonstrasi kesatuan elit Polri tersebut terjadi karena masalah tidak kunjung cairnya Sisa Hasil Usaha (SHU) dari koperasi di lingkungan Polda Sulawesi Selatan tersebut. anggota Brimob tersebut merasa bahwa ada ketidakadilan ketika hak mereka sebagai anggota koperasi tidak diperhatikan oleh pimpinan. Apalagi hak tersebut terkait dengan pemenuhan kesejahteraan anggota Brimob dan keluarganya. Bisa jadi jumlahnya tidak terlalu besar, tapi bila dikaitkan dengan gaji bulanan anggota Polri yang masih jauh dari ideal, maka tuntutan tersebut menjadi rasional dan sangat dipahami.

Namun, harus diakui bahwa sebagai alat negara yang bertanggung jawab terhadap keamanan dalam negeri, langkah puluhan anggota Brimob tersebut jelas menyalahi prosedur. Sebagaimana diketahui bersama, sebagai bagian dari korporasi negara, anggota Polri tidak diperkenankan mengekspresikan ketidakpuasannya dalam bentuk unjuk rasa, dan ekspresi anarkis yang berlawanan dengan hukum positif. Sebagaimana yang termakhtub dalam Pasal 23 UU No.2 Tahun 2002, yang mempertegas posisi anggota Polri untuk menjauhi langkah-langkah yang dapat dikatakan tabu dilakukan oleh anggota penegak hukum seperti Polri. Meski di masa lalu pernah juga terlibat unjuk rasa dan demonstrasi terkait dengan kesejahteraan dan posisi Polri ketika itu sepanjang tahun 1946 hingga Orde Lama runtuh. Unjuk rasa tersebut menjadi langkah terakhir yang diambil manakala pimpinan Polri ketika itu tidak mampu memperjuangkan kepentingan lembaga dan anggotanya.

Agaknya hal itulah yang menginspirasi tujuh puluhan anggota Brimob tersebut untuk menuntut hak-haknya sebagai anggota. Apalagi kasus unjuk rasa anggota polisi di banyak negara juga terjadi intensif, dan lagi-lagi terkait masalah kesejahteraan. Di Meksiko lima tahun yang lalu terjadi unjuk rasa puluhan ribu anggota polisi di ibukota Meksiko,tuntutannya; peningkatan kesejahteraan anggota kepolisian. Di Philipina tahun lalu ribuan anggota polisi menggelar pawai untuk mendukung Aroyo agar tetap menjadi presiden, dan berharap pemerintah meningkatkan pula kesejahteraan anggota kepolisian.
Berbeda dalam konteks historis dan dua kasus di Meksiko dan Philipina,yang menggugat pemerintah karena alpa memperhatikan kesejahteraan, dalam kasus unjuk rasa Brimob di Makassar justru yang digugat adalah internal Polri, dalam hal ini Polda Sulawesi Selatan terkait dengan tidak transparannya pembagian SHU koperasi. Ada aroma ketidakberesan terkait dengan kontrol pimpinan Polri di ke wilayahan terkait dengan pemerataan kesejahteraan. Bisa jadi unjuk rasa ini dapat dilihat sebagai bentuk protes atas tidak meratanya kesejahteraan, khususnya di lingkungan Brimob dengan unit-unit lainnya di Polri.

Sebagai kesatuan elit Polri dengan peran dan fungsi yang tidak ringan, anggota Brimob dihadapkan pada realitas bahwa kesatuan tersebut sangat jauh dari akses ekonomi. Berbeda dengan unit-unit lain yang ada di Polri, yang relatif masih memiliki akses ekonomi untuk menutupi keterbatasan pendapatan yang diterima diluar gaji dan tunjangan. Apalagi pada kenyataannya anggota Brimob juga dipisahkan dari unit lainnya dan jauh dari pusat kota, hal ini makin membuat frustasi anggota Brimob disebabkan oleh keterbatasan-keterbatasan. Tak heran apabila pemasukan dari koperasi semacam SHU ataupun yang terkait dengan profit yayasan dan perseroan yang dikelola oleh Polri menjadi sangat diharapkan.

Anomali Kesejahteraan

Hal yang perlu digarisbawahi bahwa permasalahan masih minimnya tingkat kesejahteraan bukan monopoli Brimob atau Polri semata. Ini juga terjadi di banyak institusi negara, seperti TNI, kejaksaan, dan BIN. Namun, yang patut dipertegas dalam kasus demo Brimob tersebut adalah tingkat konsistensi pimpinan Polri dalam mengembangkan dan memelihara moral kesatuannya agar tetap terjaga. Bahwa Brimob merupakan kesatuan khusus yang dimiliki oleh Polri adalah sebuah realitas. Dengan berbagai keahlian khusus yang menjadi kebanggaan internal Polri, maka seharusnya Brimob diperlakukan lebih khusus oleh pimpinan Polri dengan memperhatikan pemerataan dan keahlian, khususnya dalam meningkatkan kesejahteraan. Dengan kata lain, anggota Brimob juga seharusnya mendapatkan tunjangan keahlian yang sedikit berbeda dengan unit-unit kepolisian lain. Mengingat Brimob adalah kesatuan khusus yang membutuhkan tingkat keahlian yang tidak biasa. Di sinilah berlaku anomali kesejahteraan, di mana selain pemerataan kesejahteraan, juga berlaku pada pemberian insentif kepada kesatuan seperti Brimob dan Densus 88 AT yang memiliki keahlian khusus. Hal ini tidak berlaku bagi unit atau kesatuan lainnya. Di beberapa negara yang memiliki kesatuan polisi paramiliter seperti Brimob dan Densus 88 AT memberlakukan anggotanya dengan respek yang tinggi. Gendarmerie Nationale di Perancis, ataupun Carabinieri di Italia yang memberikan perhatian yang khusus terhadap tingkat kesejahteraan anggotanya.

Ada tiga keuntungan apabila anomali kesejahteraan diberlakukan di lingkungan Polri, yakni: Pertama, secara psikologis, pemberlakukan anomali kesejahteraan akan meningkatkan moral anggota dan kesatuan. Hal ini dikarenakan anggota tidak terganggu lagi pada masalah ‘domestik’ seperti bagaimana memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Kedua, ada perasaan dihargai dan dibutuhkan. Selama ini perasaan dihargai dan dibutuhkan bersifat ‘musiman’alias tidak permanen, hanya saat maraknya konflik dan terror bom. Bisa jadi perasaan dihargai tidak harus bersifat materi, namun kenyataan di lapangan, anggota Gegana ataupun Unit Jibom Brimob terpaksa meminta ‘uang lelah’ kepada pengelola gedung setelah menyisir tempat yang dilaporkan dipasangi bom.

Ketiga, meminimalisir kecemburuan anggota kesatuan khusus di Polri khususnya Brimob terhadap penghasilan’informal’unit lain yang bersumber dari aktivitas operasional seperti Lantas, Reskrim, Intelkam dan lain sebagainya. Dengan pemberlakuan anomali kesejahteraan, anggota Brimob setidaknya merasa mendapatkan penghasilan yang layak sebagai anggota kesatuan khusus Polri.

Dari tiga keuntungan tersebut di atas, setidaknya dapat menjadi cermin bagi pimpinan Polri agar memperlakukan kesatuan khususnya lebih baik lagi. Kasus di Makassar adalah cambuk bagi Polri untuk lebih memperhatikan aspirasi dan kehendak anggotanya terkait dengan keseimbangan antara tugas dan tanggung jawab dengan kesejahteraan keluarga anggotanya. Tanpa keseimbangan tersebut adalah sebuah keniscayaan bahwa unjuk rasa puluhan anggota Brimob di Makassar bukan merupakan yang pertama dan terakhir.