Pro dan kontra tentang akan dilibatkannya TNI dalam pemberantasan terorisme masih terus mengemuka. Bagi yang pro, keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme selain mengupayakan pemberantasan sampai ke akar-akarnya, juga sebagai mitra dan penyeimbang bagi Polri dengan Densus 88 Antiteror agar tidak menjadi aktor yang terlalu dominan dalam perang melawan terorisme tersebut.

Sebaliknya, yang kontra lebih merujuk pada TNI yang didominasi oleh prilaku kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, dan cenderung akan dipraktikkan bila diberi peluang untuk terlibat dalam pemberantasan terorisme. Di samping itu, keberadaan Densus 88 Antiteror dianggap sudah lebih dari cukup dan terbukti ampuh dalam berbagai pengungkapan jaringan dan penangkapan aktor terorisme selama enam tahun terakhir sejak dibentuk tahun 2003.

Hal lain yang agak menarik adalah rujukan hukum yang dipakai yakni Pasal 7 Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI yang menjelaskan operasi militer selain perang yang diemban oleh TNI guna melegitimasi keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme. Sementara rujukan utama dalam pemberantasan terorisme di Indonesia adalah Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme yang mengatur bahwa Polri dengan Densus 88 Antiterornya merupakan institusi utama penanggulangan dan pemberantasan terorisme di Indonesia. TNI dalam konteks ini hanya menjadi pendukung dari proses tersebut.

Merujuk pada literatur yang ada, setidaknya ada tiga model penanggulangan dan pemberantasan terorisme. Pertama, militer adalah aktor utama pemberantasan dan penanggulangan terorisme. Dalam konteks ini terorisme dilihat sebagai ancaman terhadap kedaulatan negara secara meluas. Sehingga militer yang memegang peran dan fungsi dalam penanggulangan dan pemberantasan terorisme, sedangkan polisi dan intelijen menjadi aktor pendukung. Pendekatan combatant ini merupakan pilihan yang tepat dalam meminimalisir ancaman terhadap eksistensi dan kedaulatan negara. Negara yang secara terbuka menggunakan model ini antara lain Srilangka, Thailand, dan sebagainya.

Model kedua, aparat penegakan hukum, dalam hal ini kepolisian menjadi aktor utama dalam penanggulangan dan pemberantasan terorisme. Hal ini karena terorisme dalam perspektif ini lebih didefinisikan sebagai ancaman keselamatan masyarakat dan individu, sehingga penegakan hukum lebih diutamakan. Negara bukan menjadi sasaran utama, melainkan fasilitas publik, dan individu-individu yang dianggap merepresentasikan kebencian dan lain sebagainya. Militer dan intelijen hanya menjadi pendukung dari polisi dalam penanggulangan dan pemberantasan terorisme. Negara yang menganut model ini adalah Filipina dan Indonesia.

Model ketiga adalah gabungan dari dua model tersebut (hybrid). Model ini merupakan kompromi aktor keamanan, khususnya militer dan polisi yang bersama-sama dengan intelijen menjadi bagian utama pemberantasan dan penanggulangan terorisme. Model ketiga ini merupakan model yang ideal, namun membutuhkan prasyarat yang harus terpenuhi, khususnya dalam koordinasi dan wewenang masing-masing institusi. Sebab dalam konteks keamanan, persaingan dan kompetisi antarinstitusi sering menjadi penghalang utama dalam setiap aktivitas penanggulangan dan pemberantasan terorisme. Negara yang menganut model ini adalah Inggris dan Amerika Serikat.

Dalam konteks Indonesia, sebelum Undang-Undang Antiteror No. 15 Tahun 2003 diterbitkan, cenderung menggunakan model pertama, di mana TNI menjadi aktor utama penanggulangan dan pemberantasan terorisme. Tak heran kemudian di setiap matra terdapat unit antiteror yang mumpuni, misalnya Den Gultor atau Detasemen 81 di Kopassus TNI Angkatan Darat, Detasemen Jalamangkara (Denjaka) di Marinir TNI Angkatan Laut, dan Detasemen Bravo (Denbravo) TNI Angkatan Udara.

Pascapenerbitan Undang-Undang Antiteror, praktis model kedua yang dianut oleh Indonesia, dengan mengedepankan penegakan hokum. Polri menjadi aktor utama dengan Densus 88 dalam penanggulangan dan pemberantasan terorisme di Indonesia. Hal yang menarik, pilihan Polri sebagai aktor utama tersebut merupakan bagian dari strategi ketika itu untuk mengembangkan unit antiteror di luar TNI, yang ketika masih terkena embargo persenjataan dan penghentian kerja sama sebagai akibat praktik dugaan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Bahkan pada awal pengembangan Densus 88, pimpinan Polri dilarang merekrut anggota Polri yang pernah ditugaskan di Aceh dan Papua oleh negara donor, khususnya Amerika Serikat dan Australia, karena diduga telah terkontaminasi dengan praktik kekerasan dan pelanggaran kemanusiaan.

Peluang dan Koordinasi

Menurut hemat penulis, pro dan kontra tersebut tidak perlu berlarut-larut mengingat apa yang diperdebatkan kurang subtansial. Sebab, bila merujuk pada dasar hukum pembentukan Densus 88, selain UU No. 15 tahun 2003 serta Surat Keputusan Kapolri No. 30/VI/2003, maka Densus 88 dibentuk untuk menanggulangi kejahatan teror dengan bom, serta terbatas hanya pada penegakan hukum terkait di wilayah Indonesia, dalam konteks keamanan dalam negeri. Hal ini berarti tidak mencakup separatisme, pembajakan pesawat, pembajakan di laut dan sebagainya.

Bila mengacu pada definisi terorisme baru Bruce Hoffman (2006), makna terorisme menjadi sangat luas, sehingga tidak terbatas pada aksi peledakan bom bunuh diri, tapi semua aktivitas yang menggunakan teror. Hal ini berimplikasi pada perluasan aktor dalam penanggulangan dan pemberantasan terorisme. Dengan demikian, sesungguhnya peluang TNI terlibat dalam penanggulangan dan pemberantasan terorisme di Indonesia masih sangat terbuka.

Peluang keterlibatan TNI dalam konteks tersebut harus dilihat sebagai profesionalisme institusi, bukan sebagai intervensi kepada Polri dan Densus 88 sebagai aktor utama. Karenanya wilayah yang menjadi wewenang Polri tidak perlu diutak-atik atau malah diubah dengan usulan merevisi Undang-Undang Antiteror. Sebab, batasan dalam UU Anti Teror serta Surat Keputusan Kapolri sudah sangat jelas. Sehingga yang dibutuhkan hanyalah koordinasi antarunit teror, serta Polri dan ketiga matra.

Langkah ini diasumsikan tidak akan mengganggu esensi penanggulangan dan pemberantasan terorisme di Indonesia dengan pendekatan penegakan hukum. Sebab itu, setiap langkah dan fungsi antiteror yang dipraktikkan oleh ketiga matra, betapa pun tidak terkait langsung dengan fungsi utama Densus 88 dan Polri, perlu tetap dilakukan koordinasi yang efektif.